Minggu, 29 Januari 2012

The Bang-Bang Club ~ Panggilan Nurani di Tengah Konflik

Tragedi kemanusiaan seringkali tak dapat dihindari dalam sejarah hidup manusia. Selalu saja ada pihak-pihak yang tega menindas orang/pihak lain, demi keuntungan dan kepuasan pribadi mereka. Atau, membenci orang yang berbeda dari diri mereka. Walau tiap selesai perang banyak orang mengalami trauma mendalam akan besarnya kerugian & kehilangan yang diakibatkannya, tetapi tetap saja hal itu tidak menjamin 100 persen bahwa perang tidak akan terjadi lagi di masa selanjutnya.
Hal itulah yang pernah terjadi di Afrika Selatan pada awal dasawarsa 90-an. Rezim apartheid yang sekian lama berkuasa & menyengsarakan rakyat, tak rela akan gerakan pembaruan persamaan hak yang dikobarkan oleh Nelson Mandela dengan partai ANC-nya. Bersekutu dengan pergerakan Inkatha dengan ribuan pasukan Zulu-nya, mereka tak segan memerangi saudara sebangsa sendiri dengan kejam. Kekerasan sering terjadi. Dimana saja, kapan saja. Nyawa menjadi sangat murah.


Kejadian nyata inilah yang menjadi latar belakang film The Bang-Bang Club yang diproduksi oleh Foundry Films & Out of Africa Entertainment Production pada 2010 ini. 2010? Ya, maaf terlambat 2 tahun ( ☹ ), tetapi menurut saya tak ada kata terlambat untuk menyaksikan film berkualitas ini. Sebuah film yang dengan nyata & telanjang mengisahkan tentang kekejaman perang, dan sekelumit kisah humanis yang sangat menyentuh dibaliknya.
Film ini mengisahkan petualangan sebuah kelompok yang namanya diangkat menjadi judul film ini, para jurnalis foto yang meliput hari demi hari perang saudara di “benua hitam” itu. Mereka terdiri dari Ken Oosterbroek, Kevin Carter, Joao Silva & Greg Marinovich. Berempat mereka berburu momen-momen berharga di medan perang, dengan sangat berani. Desingan peluru, jenazah-jenazah bergelimpangan di jalanan, air mata para korban, bahkan pembantaian sadis yang secara nyata terjadi didepan mata, menjadi “dunia” mereka. Sebagai manusia, rasa takut, sedih, marah sering mereka rasakan melihat kenyataan itu. Tapi tanpa mereka sadari, sensasi adrenalin saat berburu momen itu menjadi keasyikan tersendiri yang susah untuk ditinggalkan. Apalagi saat Greg & Kevin berhasil mendapat penghargaan Pullitzer , sebuah penghargaan yang sangat prestisius di bidang jurnalistik, atas karya-karya mereka. Greg untuk fotonya yang mengabadikan seorang pria sedang dibantai dengan golok & dibakar, sedangkan Kevin untuk adegan seorang anak kecil yang (nampaknya) sedang meregang nyawa, sementara seorang burung pemakan bangkai sedang menunggu tak jauh dibelakangnya. Untuk sesaat lamanya, kebahagiaan membuat mereka serasa di puncak dunia.
Setelah momen-momen bahagia itu berlalu, ternyata rasa kemanusiaan mengusik nurani mereka. Greg gelisah, karena tak mampu mencegah para korban yang dibantai di depan matanya. Sementara Kevin lebih parah lagi. Atas karyanya ia berpikir, kenapa ia tak mencoba menyelamatkan nyawa anak kecil yang difotonya itu? Betulkah lebih penting foto menarik daripada nyawa manusia? Kegelisahan yang wajar. Menunjukkan bahwa mereka masih seorang manusia yang berakal dan bernurani. Walaupun secara profesional mereka bisa melegakan diri dengan beranggapan bahwa, dengan foto-foto yang mereka buat itu mereka bisa memberitahu dunia akan masalah apa yang sedang terjadi. Selanjutnya, tentu dengan harapan bahwa sebuah usaha akan dilakukan untuk mengatasi permasalahan itu.
Secara umum film ini cukup bagus. Sangat nyata menggambarkan kekejaman perang. Kita seolah-olah sedang menyaksikan sebuah film dokumenter. Bagaimana gentingnya situasi saat 2 kubu berhadap-hadapan dengan senjata terhunus & saling teriak memprovokasi, bagaimana sedihnya menyaksikan kisah seorang bapak tentang pembantaian yang dialami keluarganya, bagaimana mencekamnya menyaksikan seorang pria dibantai & dibakar tanpa ampun, dsb. Ryan Philippe sebagai Greg, tokoh sentral dalam film ini, bersama para pemeran lainnya berperan dengan sangat apik & menyentuh. Setting lokasi juga sangat mendukung, karena kita akan merasa seperti melihat Afrika Selatan pada masa chaos 20an tahun yang lalu itu.
Friends para film-mania, demikian review singkat saya kali ini. Saya merekomendasikan film ini buat anda tonton (disela-sela sinema Korea yang mungkin jadi favorit anda :-) ). Bagus buat referensi kita, bahwa film yang mengisahkan kejadian nyata bisa demikian menarik bila dibuat dengan serius. Tanpa dramatisasi yang berlebihan. Bisa sedemikian menyentuh nurani. Juga bagus sebagai sekelumit bahan renungan, bahwa hidup damai antar sesama manusia, saling menghargai dalam kedewasaan, adalah sesuatu yang sangat—sangat berharga namun seringkali dilupakan orang. Seperti dinegeri kita, dimana kekerasan & konflik mudah terjadi dimana saja, kapan saja, oleh siapa saja. Dari sesama mahasiswa, sesama orang yang mengaku beragama, dsb.. ☹
Sampai jumpa di review berikutnya, & salam berkarya membuat film !

official website

Wikipedia for The Bang-Bang Club