Sabtu, 15 Mei 2010

MENJADI LEBIH BAIK MELALUI FILM



Hai semua.. hari yang indah hari ini, bukan begitu? J
Kali ini saya mau berbagi sedikit cerita nih. Bukan cerita yang penting sih, tapi sekedar pengalaman menonton sebuah film. Bukan film baru pula, produksi 2006. Tapi sungguh, buat saya film ini buagus banget. Sejujurnya, film dengan pesan moral terkuat & terbaik yang pernah saya tonton. Jadi, cukup menarik rasanya untuk di share dengan rekan semua.
The Pursuit of Happyness, begitu judulnya.

Chris Gardner (diperankan Will Smith) sedang mengalami masa-masa yang kurang membahagiakan dalam kehidupannya. Pekerjaannya sebagai sales alat kesehatan menuntut kerja keras, namun kurang memberikan hasil yang sepadan secara finansial. Pendidikan yang terbatas membuatnya susah mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik. Hidup dalam kondisi demikian ditengah tuntutan biaya hidup yang tinggi di kota besar New York, membuat ekonomi keluarga Chris menjadi morat-marit. Sang istri yang turut bekerja keras menopang ekonomi keluarga, lama kelamaan terkikis rasa cintanya pada sang suami. Ia ingin kehidupan yang lebih baik, sehingga pada akhirnya terpaksa memutuskan meninggalkan Chris dan putra mereka yang masih kecil, Christopher (diperankan oleh putra kandung Will Smith sendiri, Jayden Smith), untuk mengadu nasib ke kota lain.
Secercah harapan muncul saat Chris bertemu dengan seorang muda kaya raya yang datang ke kantornya mengendarai sebuah mobil mewah. Dengan polosnya Chris bertanya kepadanya, pekerjaan apa yang bisa mengantarnya menuju puncak kesuksesan seperti itu. "Aku seorang Stock Brocker", jawab pria itu. Harapan Chris melambung saat pria itu memberitahunya bahwa jenis pekerjaan itu tak membutuhkan gelar sarjana, melainkan hanya kerja keras, keahlian menghitung, dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Mulailah Chris berupaya untuk mendapatkan pekerjaan itu. Namun, masalah demi masalah hidup justru datang semakin gencar pada saat yang bersamaan, silih berganti. Mulai dari diusir pemilik apartemen karena menunggak sewa selama beberapa bulan, alat kesehatan yang ia jual dicuri orang (selama beberapa saat Chris belum bisa melepaskan pekerjaan lamanya, jadi ia melakukan 2 pekerjaan sembari tetap mengasuh Christopher), dipenjara karena menunggak tilang mobil, dsb. Semua seolah menguji daya juang Chris dan kasih sayangnya kepada putra semata wayangnya. Syukurlah, pria tegar yang selalu mampu mengendalikan diri ini akhirnya mampu bertahan sampai akhir dan memenangi pertempuran melawan rentetan nasib buruk itu.

Teman-teman, menonton film ini saya seolah ditampar keras L, mengingat segala kemalasan & kekhilafan hidup yang sering saya lakukan. Dada saya sesak oleh keharuan, menyaksikan bagaimana Chris dan si kecil Christopher harus tidur di toilet stasiun kereta api karena tak kebagian kamar di rumah penampungan. Lengkap bersama berbagai macam tas dan koper pakaian mereka. Bagaimana Chris pontang-panting berlarian diantara kerumunan pekerja kantoran yang necis, dengan berpakaian sekedarnya karena ia baru dilepaskan dari tahanan polisi, demi memenuhi jadwal wawancara kerja yang penting. Bahkan demi menghemat waktu agar bisa mengasuh Christopher, Chris sampai merelakan diri untuk tak banyak minum saat bekerja agar waktunya tak tersita untuk berjalan ke mesin dispenser & ke kamar kecil!

Banyak lagi pengorbanan Chris yang lain. Semuanya menampilkan sosoknya sebagai seorang yang visioner, pekerja keras yang pantang menyerah, mampu membuang gengsi, selalu under control dalam situasi apapun, penyayang keluarga, komunikatif & interaktif.
Sentimentil kedengarannya, ya, ulasan saya ini? Tapi maaf, saya tak peduli apabila memang benar demikian J. Saya terlanjur terpesona dengan segudang pesan moral film ini, yang ternyata diambil dari kisah nyata! Karakter yang diperankan dengan sangat baik oleh komedian Will Smith ini sekarang telah memiliki perusahaan sendiri dan sukses besar.
Teman-teman pembaca, 4 bintang saya berikan untuk film ini. Dari segala aspek, film ini luar biasa. Disamping teladan moral yang indah, setting tahun 80-an yang terbangun dengan cermat juga cukup memanjakan mata. Mungkin temanya klise, bagi sebagian anda menilainya. Seorang yang kepepet situasi, lalu berjuang agar keluar dari situasi itu. Namun pendapat saya, sesuatu yang dianggap klise itu kadang hanya bagi orang yang belum membuktikan dalam kerja nyata. Tapi coba tanyakan langsung ke Chris Gardner, ke Andri Wongso yang tak tamat SD namun jadi motivator nasional, atau Soegiharto yang mantan pembantu rumah tangga namun berhasil jadi direktur perusahaan minyak Medco & menteri negara, & banyak lagi. Pasti mereka tidak menganggap bahwa tema ini—perjuangan untuk meraih hidup yang lebih baik dengan cara yang baik—adalah suatu hal yang klise dalam kehidupan.

Saya sangat merekomendasikan film ini bagi teman-teman semua. Bagi yang sudah pernah menonton pun, tak ada salahnya untuk pergi ke rental video terdekat untuk menontonnya lagi. Dan selanjutnya, lebih tak ada salahnya lagi rasanya kalau kita teladani sifat Chris itu J.


Selain itu satu hal yang tak kalah pentingnya adalah, the
Pursuit of Happyness ini semakin membuktikan kepada diri saya bahwa 

film bisa menjadi media yang sangat ampuh dalam menyebar luaskan pesan kebajikan
Nah, bagi rekan-rekan yang mempunyai mimpi serupa seperti saya untuk menjadi filmmaker profesional, ayo, kita kejar impian itu seperti Chris Gardner mengejar impiannya, dan buat karya-karya yang mencerahkan seperti ini… !

Thanks for reading 😊


MENGENDALIKAN AMBISI


Terdengar aneh ya, judul diatas? Sebagian dari kita mungkin berpikir, ketinggalan zaman. Ya, ditengah zaman yang mendewakan pencapaian atas prestise dan materi seperti sekarang, hal yang paling umum dipercaya orang adalah kebalikan dari pernyataan itu: “biarkan ambisimu berkembang tanpa batas! Lalu, bekerja keraslah untuk mencapainya”. Sebagian orang bahkan merasa perlu menambahinya dengan, “dengan segala cara bila perlu”. Teman, saya tak akan membahas tentang benar tidaknya pernyataan itu sekarang (karena teman pasti bisa menentukan sendiri kan?  ), namun membahas sebuah film yang mengangkat tema tentang pencapaian ambisi ini. Dengan segala cara, sayangnya.
The Other Boleyn Girl
Memang bukan film baru teman, produksi tahun 2008. Maafkan kebiasaan saya yang suka membahas film-film yang lama atau agak lama, disamping film-film terbaru. Alasannya, pertama karena sebuah film bagus adalah tetap film yang bagus, tak peduli baru selesai diproduksi atau sudah beberapa tahun berselang. Kedua, karena saya adalah pengagum berat film-film bersetting masa lalu yang klasik, kaya dengan properti2 dan pakaian2 indah dan sangat detail hasil karya master2 craft dan rancang busana yang sangat ahli.
The Other Boleyn Girl mengangkat intrik perebutan posisi permaisuri raja Henry Tudor di Inggris pada abad pertengahan. Antara kakak beradik keluarga Boleyn, Anne & Mary, dan sang ratu permaisuri yang sah. Alkisah Henry yang rindu akan kehadiran anak lelaki sebagai putra mahkota sedang gundah karena permaisurinya tak kunjung mampu memberikannya. Keadaan itu dilihat sebagai peluang emas oleh Duke of Norrington, seorang pejabat kerajaan yang haus kekuasaan, untuk mengajukan seorang perempuan sebagai selir bagi Henry. Rencananya, bila selir itu sanggup melahirkan anak lelaki, otomatis status kebangsawanan dan kedudukan dirinya akan naik. Perempuan itu tak lain adalah kemenakannya sendiri, Anne Boleyn. Gayung bersambut, Thomas sang kakak menerima rencana itu dengan senang hati. Diperintahkannya Anne untuk menyambut dan melayani Henry saat raja itu bertandang ke rumah mereka, dalam perjalanan berburunya. Benar, Henry tertarik. Namun hati pria yang memang gemar wanita cantik itu ternyata lebih terpesona kepada Mary, adik Anne, yang merawatnya saat mengalami kecelakaan dalam perburuan. Diundanglah Mary ke istana, untuk tinggal disana. Mary yang pengantin baru kontan menolak. Namun desakan keluarganya, dan kepasrahan sang suami, membuatnya ‘terpaksa’ menerima undangan itu.
Anne yang sakit hati memutuskan untuk menikah diam-diam dengan seorang bangsawan, hal yang membuatnya diasingkan sementara ke Perancis oleh sang ayah yang sangat marah. Namun alih-alih terpuruk, Anne justru menggunakan kesempatan itu untuk banyak belajar dari ratu Perancis yang sangat ia kagumi. Anne berubah, menjadi seorang perempuan dewasa yang sangat percaya diri, & ambisius.
Sekembalinya ke Inggris, tak butuh waktu lama bagi Anne untuk merebut Henry dari sang adik. Ia bahkan juga berhasil menyingkirkan ratu permaisuri yang sah. Namun, tak ada kemenangan sejati karena ketamakan. Ternyata nasib Anne tak beda dari ratu yang disingkirkannya itu, dalam hal keturunan; ia keguguran. Dilanda rasa panik berlebihan, Anne yang gelap mata lalu mengajak George sang adik untuk tidur bersama, dengan harapan akan memperoleh anak sebagai pengganti bayinya yang gugur. Untunglah, keduanya sadar sebelum hubungan incest itu benar-benar terjadi. Namun begitu, istri George yang sempat melihat sekilas kejadian itu, beranggapan sebaliknya. Ia laporkan hubungan terlarang yang ia kira sudah terjadi itu kepada Henry. Ditelan api kemarahan yang membara, dijatuhkannya hukuman terberat pada sang istri yang pernah membuatnya mabuk kepayang itu.
Banyak hal yang menjadikan film ini sangat menarik. Pertama tentu jajaran pemainnya; ada Natalie Portman sebagai Anne yang cantik dan ambisius, Scarlett Johansson sebagai Marie yang lembut dan melankolis, juga Eric Bana sebagai Henry yang arogan dan penggila wanita. Masing-masing mampu menjiwai perannya dengan sangat baik. Perhargaan saya terutama untuk Natalie. Karakter Anne Boleyn begitu hidup diperankan olehnya. Dari sejak menjadi gadis desa ‘baik-baik’ yang sangat menyayangi adiknya, sampai menjadi wanita tanpa perasaan yang tega menghancurkan rumah tangga orang lain, bahkan mempengaruhi suaminya untuk memutuskan hubungan kerajaan dengan gereja Katolik (!) yang menentang pernikahan mereka. Setiap kalimat yang terlontar, ekspresi dan gerak-gerik, bahasa tubuhnya begitu pas menampilkan karakternya. Puncaknya tentu pada adegan eksekusi. Ekspresi ketakutan & putus asa begitu jelas tergambar di raut wajah Anne. Seluruh tubuhnya bergetar menahan luapan emosi, tatkala pedang algojo siap terayun menebas lehernya. Sungguh skill akting yang luar biasa..
Kedua, detail bangunan, properti dan tata busana. Seperti umumnya film produksi Hollywood, hal ini ditata dengan sangat baik. Begitu indah, begitu detail, megah, dan sangat mencerminkan keadaan zaman itu (bahkan mungkin lebih indah dari keadaan sebenarnya). Tak terbayang pula bagaimana divisi riset melakukan tugasnya. Hal lain yang tak kalah hebat, tentu cerita dan skenario. Alur cerita mengalir begitu smooth, dengan jalan cerita dan akhirnya ending yang sama sekali tak terduga. Siapa sangka 2 gadis yang diawal film adalah gadis lembut, baik dan saling menyayangi bisa berubah saling bermusuhan demi seorang pria? Siapa sangka Anne yang begitu dewasa dan menarik bisa begitu lepas kendali atas dirinya? Singkat cerita, film ini sangat bagus dan menarik. Sayang untuk dilewatkan.

The First Step...


Hai, salam kenal. Alfha Arsyan (Arsy) disini, peminat film dan tulis menulis. Menulis blog untuk mengekspresikan hobby dan membagi sedikit pengetahuan yang ada pada saya kepada rekan-rekan semua. Silahkan bila ingin memberi kritik atau saran, saya sangat menghargainya. Semoga bermanfaat; menghibur, mencerdaskan dan mencerahkan J.