Sabtu, 15 Mei 2010

MENGENDALIKAN AMBISI


Terdengar aneh ya, judul diatas? Sebagian dari kita mungkin berpikir, ketinggalan zaman. Ya, ditengah zaman yang mendewakan pencapaian atas prestise dan materi seperti sekarang, hal yang paling umum dipercaya orang adalah kebalikan dari pernyataan itu: “biarkan ambisimu berkembang tanpa batas! Lalu, bekerja keraslah untuk mencapainya”. Sebagian orang bahkan merasa perlu menambahinya dengan, “dengan segala cara bila perlu”. Teman, saya tak akan membahas tentang benar tidaknya pernyataan itu sekarang (karena teman pasti bisa menentukan sendiri kan?  ), namun membahas sebuah film yang mengangkat tema tentang pencapaian ambisi ini. Dengan segala cara, sayangnya.
The Other Boleyn Girl
Memang bukan film baru teman, produksi tahun 2008. Maafkan kebiasaan saya yang suka membahas film-film yang lama atau agak lama, disamping film-film terbaru. Alasannya, pertama karena sebuah film bagus adalah tetap film yang bagus, tak peduli baru selesai diproduksi atau sudah beberapa tahun berselang. Kedua, karena saya adalah pengagum berat film-film bersetting masa lalu yang klasik, kaya dengan properti2 dan pakaian2 indah dan sangat detail hasil karya master2 craft dan rancang busana yang sangat ahli.
The Other Boleyn Girl mengangkat intrik perebutan posisi permaisuri raja Henry Tudor di Inggris pada abad pertengahan. Antara kakak beradik keluarga Boleyn, Anne & Mary, dan sang ratu permaisuri yang sah. Alkisah Henry yang rindu akan kehadiran anak lelaki sebagai putra mahkota sedang gundah karena permaisurinya tak kunjung mampu memberikannya. Keadaan itu dilihat sebagai peluang emas oleh Duke of Norrington, seorang pejabat kerajaan yang haus kekuasaan, untuk mengajukan seorang perempuan sebagai selir bagi Henry. Rencananya, bila selir itu sanggup melahirkan anak lelaki, otomatis status kebangsawanan dan kedudukan dirinya akan naik. Perempuan itu tak lain adalah kemenakannya sendiri, Anne Boleyn. Gayung bersambut, Thomas sang kakak menerima rencana itu dengan senang hati. Diperintahkannya Anne untuk menyambut dan melayani Henry saat raja itu bertandang ke rumah mereka, dalam perjalanan berburunya. Benar, Henry tertarik. Namun hati pria yang memang gemar wanita cantik itu ternyata lebih terpesona kepada Mary, adik Anne, yang merawatnya saat mengalami kecelakaan dalam perburuan. Diundanglah Mary ke istana, untuk tinggal disana. Mary yang pengantin baru kontan menolak. Namun desakan keluarganya, dan kepasrahan sang suami, membuatnya ‘terpaksa’ menerima undangan itu.
Anne yang sakit hati memutuskan untuk menikah diam-diam dengan seorang bangsawan, hal yang membuatnya diasingkan sementara ke Perancis oleh sang ayah yang sangat marah. Namun alih-alih terpuruk, Anne justru menggunakan kesempatan itu untuk banyak belajar dari ratu Perancis yang sangat ia kagumi. Anne berubah, menjadi seorang perempuan dewasa yang sangat percaya diri, & ambisius.
Sekembalinya ke Inggris, tak butuh waktu lama bagi Anne untuk merebut Henry dari sang adik. Ia bahkan juga berhasil menyingkirkan ratu permaisuri yang sah. Namun, tak ada kemenangan sejati karena ketamakan. Ternyata nasib Anne tak beda dari ratu yang disingkirkannya itu, dalam hal keturunan; ia keguguran. Dilanda rasa panik berlebihan, Anne yang gelap mata lalu mengajak George sang adik untuk tidur bersama, dengan harapan akan memperoleh anak sebagai pengganti bayinya yang gugur. Untunglah, keduanya sadar sebelum hubungan incest itu benar-benar terjadi. Namun begitu, istri George yang sempat melihat sekilas kejadian itu, beranggapan sebaliknya. Ia laporkan hubungan terlarang yang ia kira sudah terjadi itu kepada Henry. Ditelan api kemarahan yang membara, dijatuhkannya hukuman terberat pada sang istri yang pernah membuatnya mabuk kepayang itu.
Banyak hal yang menjadikan film ini sangat menarik. Pertama tentu jajaran pemainnya; ada Natalie Portman sebagai Anne yang cantik dan ambisius, Scarlett Johansson sebagai Marie yang lembut dan melankolis, juga Eric Bana sebagai Henry yang arogan dan penggila wanita. Masing-masing mampu menjiwai perannya dengan sangat baik. Perhargaan saya terutama untuk Natalie. Karakter Anne Boleyn begitu hidup diperankan olehnya. Dari sejak menjadi gadis desa ‘baik-baik’ yang sangat menyayangi adiknya, sampai menjadi wanita tanpa perasaan yang tega menghancurkan rumah tangga orang lain, bahkan mempengaruhi suaminya untuk memutuskan hubungan kerajaan dengan gereja Katolik (!) yang menentang pernikahan mereka. Setiap kalimat yang terlontar, ekspresi dan gerak-gerik, bahasa tubuhnya begitu pas menampilkan karakternya. Puncaknya tentu pada adegan eksekusi. Ekspresi ketakutan & putus asa begitu jelas tergambar di raut wajah Anne. Seluruh tubuhnya bergetar menahan luapan emosi, tatkala pedang algojo siap terayun menebas lehernya. Sungguh skill akting yang luar biasa..
Kedua, detail bangunan, properti dan tata busana. Seperti umumnya film produksi Hollywood, hal ini ditata dengan sangat baik. Begitu indah, begitu detail, megah, dan sangat mencerminkan keadaan zaman itu (bahkan mungkin lebih indah dari keadaan sebenarnya). Tak terbayang pula bagaimana divisi riset melakukan tugasnya. Hal lain yang tak kalah hebat, tentu cerita dan skenario. Alur cerita mengalir begitu smooth, dengan jalan cerita dan akhirnya ending yang sama sekali tak terduga. Siapa sangka 2 gadis yang diawal film adalah gadis lembut, baik dan saling menyayangi bisa berubah saling bermusuhan demi seorang pria? Siapa sangka Anne yang begitu dewasa dan menarik bisa begitu lepas kendali atas dirinya? Singkat cerita, film ini sangat bagus dan menarik. Sayang untuk dilewatkan.

0 komentar:

Posting Komentar