Sabtu, 20 Desember 2014

Pendekar Tongkat Emas: Turun Gunungnya Para Pendekar Persilatan Ke Kancah Film Nasional



Salam, film mania!
MILES Films kembali menghentak dunia perfilman Indonesia dengan karya berkualitasnya. Duo sineas MiraLesmana-Riri Riza untuk kesekian kalinya membuktikan totalitas mereka dalam menghasilkan karya yang berharga untuk bangsa ini.

Kembali membuktikan, bahwa tak ada yang salah dengan lahir di Indonesia, menjadi anak bangsa Indonesia. Sebab ternyata banyak orang Indonesia termasuk mereka, bisa menghasilkan karya-karya hebat. Apalagi dengan warna lokal Indonesia yang kental. Jadi kalaupun saat ini bangsa & negara ini jatuh dalam keterpurukan, itu karena mental sebagian OKNUM saja; para produser yang mementingkan keuntungan instan tanpa mempedulikan kualitas karya (nggak mau susah2 riset & buat sesuatu yang beda, maunya ikut arus trend), para pembajak & pembeli barang bajakan, para pengkritik yang nyinyir tanpa mau memahami beratnya perjuangan membuat sebuah film, para koruptor, dsb.. dsb..

PENDEKAR TONGKAT EMAS

Tayang pertama kali di bioskop tanggal 18 Desember 2014 yang lalu.
Sebuah film bergenre laga dengan warna budaya & lanskap alam Indonesia yang sangat jarang diangkat ke layar lebar, pulau Sumba.

Pasti sebagian besar dari anda para movie enthusiast, cukup terkejut dengan keputusan Miles mengangkat genre ini.
Mira Lesmana & Riri Riza mengangkat tema laga?
What!?.. Nggak salah tuh?
Bukankah mereka selama ini lekat dengan film-film berkualitas (bahkan sebagian termasuk ‘berat’) macam Ada Apa Dengan Cinta, Gie, Laskar Pelangi, Atambua 39 derajat Celsius, Sokola Rimba, dll..?

Tapi ternyata, memang kita tak salah dengar, tak salah lihat.
Mereka memang memproduksi genre yang sudah ‘mati suri’ selama sekitar 20 tahun itu. Genre yang—maaf—bisa dibilang lekat dengan citra sebagai tontonan kelas B tersebut (film yang hanya mengandalkan ‘otot’, tanpa mengedepankan kualitas cerita & artistik yang baik).

Namun tentunya, dengan KUALITAS. dan IDEALISME.

Di tangan kedua orang ini plus sutradara Ifa Isfansyah yang juga dikenal sebagai sutradara film-film berkualitas, film laga klasik nyaman dinikmati sebagai film yang indah secara artistik, berkualitas secara teknis, & cukup kuat di cerita.

CERITA
Di suatu masa di pulau Sumba, hiduplah Cempaka. Seorang pendekar sakti pemimpin perguruan Tongkat Emas yang sangat disegani di dunia persilatan. Ia memiliki 4 murid: Biru (Reza Rahadian), Dara (Eva Celia), Gerhana (Tara Basro) & Angin (Aria Kusumah). Semua mereka menjadi murid Cempaka karena alasan tertentu. Cempaka memiliki senjata ampuh berupa tongkat emas. Saat tiba saatnya menurunkan tongkat itu, Cempaka ternyata memberikannya kepada Dara. Bukan kepada Biru sang murid tertua. Hal ini memicu kecemburuan Biru & kekasihnya Gerhana, sehingga mereka tega membunuh Cempaka & melarikan tongkat emas. Kisah selanjutnya merupakan perjuangan Dara dibantu Elang (Nicholas Saputra) si pendekar misterius untuk merebut kembali tongkat emas.

Banyak hal yang menarik untuk dinikmati sekaligus dicermati dalam film yang menghabiskan dana 25 Milyar rupiah ini. Ya, 25 M. Membuat Pendekar Tongkat Emas menjadi salah satu film termahal di Indonesia. Diantara hal-hal menarik tersebut adalah: 

Keindahan alam lokasi syuting
Sutradara Ifa bersama Sinematografer/DOP GunnarNimpuno mengeksplor habis keindahan sabana Sumba yang memang luar biasa. Luasnya padang rumput yang kuning keemasan, pepohonan rimbun menghijau, bukit batu yang megah & sungai yang jernih sampai  ke dasar mengundang decak kagum. Kembali menyadarkan kita akan indahnya alam bumi pertiwi. Seolah mengajak para penonton untuk berkunjung, & semakin menyadarkan para sineas bahwa tempat syuting yang menarik tidak hanya Jakarta & Jawa saja. 

Keindahan visual
Keindahan alam hanyalah sebagian faktor pembuat film ini memuaskan mata. Kepiawaian Gunnar Nimpuno menggunakan kamera canggih Red Epic Dragon 6K resolution dalam bermain dengan cahaya, memberikan andil yang sangat besar dalam menghasilkan gambar-gambar yang tak hanya jernih, tapi juga ‘keluar’ warnanya & jelas kedalaman teksturnya. Sebagai seorang filmmaker wannabe, saya sering berpikir; bagaimana ya, menghasilkan gambar seindah itu? Siluet-siluet yang cantik dengan pendar sinar matahari, warna hamparan rumput keemasan bergoyang ditiup angin.. indah sekali..

Akting para pemeran
Salah satu kekuatan film ini. Semua pemeran berperan dengan sangat baik. Masing-masing sepenuh hati beradu akting. Kredit tertinggi saya berikan untuk artis senior Christine Hakim, yang walau hanya tampil beberapa menit saja, namun berhasil menunjukkan kelasnya sebagai pelakon berkharisma kuat. Reza Rahadian & Tara Basro ‘betul-betul jahat’, Eva Celia tampil mempesona walau nyaris tanpa make up. Tidak meremehkan juga akting Nicholas Saputra & nama-nama besar teater seperti Landung Simatupang & Whani Dharmawan.

Koreografi laga
Hebat. Dahsyat. Sangat bagus..
Terutama pada adegan laga final di penghujung film.
Sulit dipercaya bahwa koreografi sedahsyat itu ada di film Indonesia. Tentu saja, sebab Miles meng-hire penata laga asal Hongkong yang mantan pemeran pengganti Jet Li. Xiong Xinxin, veteran koreografer laga dengan pengalaman lebih dari 30 tahun. Memang akhirnya bisa ditebak hasil akhirnya. Pasti kental dengan cita rasa kungfu. Sebenarnya patut disesalkan, mengingat negeri ini punya pencak silat sebagai ilmu beladiri. Tetapi dilain pihak keputusan Mira & Riri ini harus dimaklumi. Sebab untuk menghasilkan adegan laga yang dahsyat, dibutuhkan koreografer & stunt double dengan keahlian sangat tinggi. Sedangkan mau tidak mau harus diakui bahwa untuk urusan koreografi laga, Hongkong memang nomor  1 di DUNIA.
Dengan kata lain, secara ilmu beladiri maupun seni, saya percaya silat tak kalah hebat dibanding kungfu. Tapi dari segi industrialisasi (maaf kalau ngawur istilah ini)/pemanfaatannya di bidang industri hiburan, silat jelas kalah jauh dibanding kungfu. Dalam dunia kungfu berlimpah orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk penggunaan seni ini dalam film maupun panggung pertunjukan. Sementara pencak silat? Film nasional saja baru sekitar 1 dekade yang lalu bangkit setelah cukup lama mati suri. Apalagi film yang bergenre silat. 20 tahunan tak diproduksi.

Keindahan narasi
Seno Gumira Ajidharma yang sastrawan menjadi kunci keindahan kata-kata dalam narasi pengantar cerita, yang disuarakan dengan begitu berkarakter oleh Christine Hakim & Slamet Rahardjo Djarot. Kata-katanya indah puitis, sekaligus bermakna sangat dalam.

Selain hal-hal menarik seperti diatas, sebagian orang memberikan kritik bahwa cerita yang skenarionya ditulis Jujur Prananto ini terkesan dangkal, & klise film silat di masa lalu:
Ada seorang pendekar mumpuni yang memiliki senjata/pusaka hebat > pusaka itu direbut musuh & ia dibunuh > muridnya berlatih keras untuk membalas dendam & merebut pusaka >  murid berhasil.

Saya pikir, ada benarnya juga.
Namun saya pikir-pikir lagi.. so what?
Jalan cerita boleh simple, sepanjang pesan moral yang ditampilkan dalam. Juga dibuat dengan cita rasa seni yang tinggi. Bukankah dalam kehidupan nyata masalah juga jarang datang dalam skala kolosal, namun seringkali memberikan efek yang kolosal di hati & pikiran orang-orang yang mengalaminya?

Sebagai penonton, saya punya subyektifitas.
Kalau boleh mengungkapkan, disamping banyak hal yang saya kagumi dari Pendekar Tongkat Emas, ada juga beberapa hal yang saya kurang suka:

Warna pakaian & set yang kurang cerah
Penata artistik Eros Eflin berusaha maksimal dalam menampilkan unsur budaya lokal Sumba. Rumah, tarian, aksesoris & ‘batik’ Sumba. Bagus, tentu. Namun warna-warnanya kurang ‘berani’, kurang cerah. Sebagian didominasi warna-warna coklat, krem & hitam. Kemungkinan besar, itu memang warna yang banyak dipakai di budaya Sumba. Hanya saja akhirnya, film ini kelihatan suram.

Setting lokasi yang kurang kolosal/kurang megah
Seperti sedikit disinggung diatas, jalan cerita film ini memang cukup sederhana. Salah satu faktor yang membuat set juga menjadi terbilang sederhana. Yang menonjol hanya beberapa rumah kayu & sebuah panggung kayu tempat kompetisi bela diri.

Penampilan Pemandangan Alam Yang Terlalu Banyak
Oke, nampaknya para pembuat film ini ingin mempromosikan tanah Sumba yang memang sangat elok. Namun, apa yang nampak di pengamatan saya, sedikit kebanyakan ditampilkan. Hampir tiap beberapa menit sekali, lanskap padang rumput atau sungai atau perbukitan, dsb. muncul sebagai intercut. Membuat cerita terasa seperti kurang 'padat'.

Adegan ciuman bibir yang terang-terangan
Maaf, boleh katakan saya kuno. Tapi, bagi saya itu penting. Masalahnya kita adalah orang beragama, dimana menurut petunjuk kitab suci kita tak boleh melakukan itu sebelum menikah—sedangkan kedua tokoh yang memerankan itu tidak dalam peran mereka sebagai suami istri.
Sudah selayaknya agama & seni harus bisa kita selaraskan dalam kehidupan, khususnya karena ini adalah media yang sangat besar pengaruhnya dalam mempengaruhi penonton. Jangan sampai hal yang tidak tepat menjadi sesuatu yang lumrah/wajar di masyarakat, okay? :-)

Figuran & Pemain cilik wanita yg kurang menghayati peran
Mungkin ini memang bukan hal yang krusial. Namun tetap saja mengganggu kenikmatan kita menghayati adegan yang sedang ditampilkan. Dikala para pemeran utama terlarut dalam emosi, ekspresi mereka nyaris datar-datar saja. Bisa dimaklumi bahwa para figuran adalah masyarakat lokal yang buta akting, sementara sutradara ingin melibatkan mereka agar film ini tak terkesan sebagai “filmnya orang Jakarta yang syuting di Sumba”, tetapi betul-betul film tentang kehidupan masyarakat di Sumba. Namun saya rasa, di situlah salah satu letak tantangan bagi sutradara.

Segala kritik & pendapat subyektif saya diatas tentu tak sedikitpun bermaksud untuk meremehkan kerja keras seluruh pemeran & kru yang terlibat. Pendekar Tongkat Emas tetaplah sebuah karya anak bangsa yang bagus, & sangat layak untuk disaksikan di bioskop, maupun kelak dalam format DVD original.
Ia membawa pesan moral yang bagus, visual yang menyejukkan mata, & pengetahuan yang bermanfaat.
Juga teladan dari balik layar, disebabkan film ini adalah cerminan totalitas yang harus diapresiasi. 8 bulan para pemeran berlatih bela diri bersimbah peluh, luka & lebam, & mega bujet 25 Milyar! Wow, hebat !!!

Salut untuk siapapun yang terlibat dalam produksi film Pendekar Tongkat Emas, & saya berharap suatu saat dalam waktu dekat ini, bisa bergabung bersama anda semua dalam produksi film-film nasional berkualitas. :-)
Amin!
Berikut saya tampilkan Video Diary / Behind The Scenes dari Pendekar Tongkat Emas. Mudah-mudahan bisa semakin bisa memberikan gambaran lengkap mengenai proses produksi film ini.








Review lain: Dunia Silat Pendekar Tongkat Emas


Pendekar Tongkat Emas (The Golden Cane Warrior)

Produksi  : Miles Films & KG Studio
Sutradara : Ifa Isfansyah
Penulis Skenario : Jujur Prananto, Seno Gumira Ajidarma,
Mira Lesmana, Ifa Isfansyah.
Producer : Mira Lesmana
Co-Producer : Riri Riza

Executive Producers : Agung Adiprasetyo, Bimo Setiawan
Co-Executive Producers : James F. Entong, Niken Rahmad
Associate Producer : Robin Moran

Action Choreographer : Xinxin Xiong
Sinematografi : Gunnar Nimpuno
Penata Artistik : Eros Eflin
Editor : W. Ichwandiardono
Penata Musik : Erwin Gutawa
Penata Suara : Satrio Budiono, Yusuf Patawari
Penata Kostum : Chitra Subiyakto
Penata Rias : Jerry Oktavianus