Sabtu, 15 Desember 2012

5 CM: Dahsyatnya Keindahan Alam Indonesia, Agungnya Perjuangan Merengkuh Impian


Sudah lama saya nggak nonton film Indonesia di bioskop.
Terakhir kalau nggak salah, film The Raid. Lebih setengah tahunan yang lalu.
Bukannya nggak cinta produksi negeri sendiri atau nggak mau mendukung berkembangnya perfilman nasional, tetapi karena beberapa kali menonton film lokal di bioskop, saya harus pulang dengan kecewa.
Mungkin sebagian adalah kesalahan saya sendiri, karena membandingkan kualitas film lokal dengan film Hollywood atau Korea yang biasa saya tonton. Secara positif seharusnya menonton film-film produksi luar negeri seperti itu bisa membangkitkan wawasan baru dan semangat untuk membuat karya sekualitas mereka, tetapi secara negatif bisa membuat kita jadi memandang kurang terhadap film karya anak bangsa. Hal terakhir itulah yang nampaknya terjadi pada diri saya selama ini.

Tetapi saya tak ingin terpaku pada pola pikir yang jelas kurang tepat itu. Saya berpikir adalah sombong kalau saya beranggapan semua film nasional pasti jelek. Sebab kalau diingat-ingat, judul-judul seperti Petualangan Sherina, Gie, Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Denias, dsb. adalah karya-karya yang bagus di masa lalu. Hanya memang, tak setiap bulan atau 3 bulan sekali muncul karya baru yang bagus. Kesimpulannya, tak boleh putus asa pergi ke bioskop menonton film nasional. Tak boleh sayang mengeluarkan rupiah untuk menonton film lokal yang direview sebagai karya yang menarik. Jangan putus asa hanya karena beberapa film berkualitas pas-pasan. Sebab PASTI selalu ada insan-insan yang berjibaku menyajikan kualitas yang baik untuk setiap karya mereka, dan itu jelas harus dihargai.

            Saya pertama tahu tentang film 5 cm saat membaca sekilas novelnya di toko buku beberapa bulan yang lalu—dimana ada promosi tentang filmnya di sampulnya, dan menyaksikan bincang-bincang para pemerannya dengan Deddy Corbuzier di acara favorit saya Hitam Putih di Trans7. Saya langsung tertarik untuk mengobati kerinduan akan film nasional. Apalagi saat baliho yang terpampang di sebuah tempat strategis di pusat kota Jakarta secara indah menampilkan siluet 6 orang yang mendaki lereng gunung yang curam, langsung terbayang sebuah film yang dikerjakan secara serius. Bagaimana tidak? Mendaki gunung sendiri adalah sebuah kegiatan yang berat, apalagi membuat film di gunung. Resiko teramat besar dipertaruhkan bila sang filmmaker hanya ingin membuat film yang biasa saja.

Dan, dugaan saya tidak meleset. "5 cm" mungkin adalah film pertama yang secara serius berusaha menampilkan keagungan alam Indonesia yang luar biasa—gunung Semeru, sebagai bagian yang menyatu dengan rangkaian cerita. Alam sebagai sarana para tokohnya untuk memperoleh arti dari perjuangan mereka mencapai tujuan kehidupan. Zafran (Herjunot Ali), Genta (Fedi Nuril), Riani (Raline Shah), Arial (Denny Sumargo) dan Ian (Igor Saykoji) adalah 5 sahabat yang tak terpisahkan selama bertahun-tahun. Saking tak terpisahkannya, tak ada malam minggu yang berlalu tanpa kebersamaan mereka berlima. Saat menyadari bahwa masing-masing mereka nyaris tak punya teman akrab di luar kelompok itu, Genta mengajukan ide agar selama 3 bulan kedepan mereka tak usah bertemu dahulu satu sama lain. Keluar dari kepompong kenyamanan, menyelesaikan permasalahan mereka masing-masing. Tak ada SMS, tak saling bertelepon. Beberapa hari sebelum akhir dari masa 3 bulan itu, baru Genta akan memberi tahu via SMS kapan dan dimana pertemuan mereka. Gayung bersambut, semua setuju walau semula Riani berkeberatan.

Kelima sahabat itu lalu menjalani 3 bulan berikutnya dalam aktivitas-aktivitas yang terpisah. Genta dan Riani sibuk dengan urusan karir, Zafran berkutat dengan puisi-puisi dan usaha pendekatannya ke Arinda (Pevita Pearce) adik Arial, Arial dengan hobby olahraga dan usahanya mendekati seorang gadis, serta Igor yang berjibaku menyelesaikan skripsi. Masa-masa berpisah itu selanjutnya terbukti membuat mereka semakin menghargai arti persahabatan. Akhirnya, tepat tanggal 14 Agustus Genta mengirim SMS pemberitahuan, bahwa tempat pertemuan mereka adalah stasiun Senen.

Tiga perempat film berikutnya menceritakan apa yang disiratkan oleh posternya. 5 sahabat beserta Arinda berkereta api ke Malang, lalu mendaki ke puncak Semeru. Susah payah dan kerjasama selama proses pendakian inilah ternyata inti dari film berdurasi 2 jam ini. Bagaimana 6 orang itu saling bantu, saling melindungi, saling menguatkan, ditengah stamina yang diuji dalam mengarungi lereng gunung yang indah sekaligus berbahaya. Banyak pengalaman dan manfaat yang mereka peroleh, disamping ketakjuban akan alam negeri yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Serta tentunya, romantisme cinta yang menemukan momennya untuk terucapkan.

Melihat nama Rizal Mantovani sebagai sutradara, langsung terbayang gambar-gambar indah ala video klip yang akan mendominasi film. Terlebih setting tempat yang sangat mendukung. Terbukti memang benar. Sutradara video klip selama belasan tahun itu seolah menemukan momen untuk menggali minatnya akan keindahan visual. Dengan kamera berlensa widejimmy jib dan mungkin crane, bahkan menggunakan helikopter atau pesawat udara, Rizal “berfoya-foya” mengabadikan keajaiban lanskap Semeru. Gambar yang jernih dengan angle yang pas jelas menggambarkan keindahan padang rumput, bunga, danau dan bibir kawah gunung tertinggi di Jawa itu. Untuk penceritaan, menurut saya ditampilkan dalam ritme yang pas. Tak terkesan terburu-buru, setiap penggalan kisah ditampilkan sesuai porsinya dalam bangunan cerita keseluruhan. Intinya, menurut saya, hampir tak ada hal yang mengganggu kenyamanan menonton film ini. 2 jam berlalu tanpa terasa.

Namun sebagai kritik konstruktif, jujur memang ada (sangat) sedikit yang saya sayangkan. Pertama, saat para tokoh sampai di pintu masuk taman nasional di lereng Semeru. Diatas jeep mereka bergantian mengucapkan kata-kata puitis pembangkit inspirasi, seraya terpana oleh keindahan gunung. Naturalkah itu? Juga saat sampai di puncak gunung. Akan lebih baik mungkin, bila naskah dan adegan tersebut dibuat lebih ‘santai’. Pasti lebih masuk akal. Kemudian, akting Igor Saykoji. Tidak jelek, hanya nampaknya kurang sepenuh hati di beberapa adegan. Yaitu saat meluapkan kegembiraan. Kurang total, kurang gereget. Misalnya saat diberitahu oleh ayahnya bahwa ia akan disekolahkan ke Inggris, dan saat melonjak gembira karena akhirnya berhasil sidang skripsi. Bila serius berlatih, pasti Igor bisa meningkatkan penampilan aktingnya di film-film berikutnya.

Inspiratif. Kata itulah yang saya pilih untuk mendeskripsikan film ini. Menginspirasi untuk menjadi manusia Indonesia yang lebih bersyukur dengan lebih meningkatkan prestasi demi kebahagiaan diri dan nama baik bangsa. Menginspirasi juga untuk mengeksplor keindahan “zamrud khatulistiwa” karunia Tuhan ini. Di tengah serbuan film Hollywood, di tengah pengaruh kuat K-Pop dan musisi barat, di tengah kekacauan tata kelola sepak bola nasional, di tengah karut marutnya korupsi para pejabat negara, dan segala kemunduran bangsa dan negara ini di hampir segala lini, “5 cm” sangat menyegarkan sebagai sebuah tontonan yang membangkitkan asa dan nasionalisme. Bahwa BILA KITA MAU, KITA BISA MERAIH KEMAJUAN DAN KEBAHAGIAAN.

Terima kasih bung Donnie Dhirgantoro, bung Ram & Sunil Soraya, bung Rizal Mantovani, serta segenap pemain, kru, dan staff produksi dan distribusi. Kerja kalian sungguh bermakna. MAJU TERUS FILM INDONESIA! 


5 CM


Produksi           : Soraya Intercine Films
Produser          : Sunil Soraya
Sutradara         : Rizal Mantovani
Penulis Naskah : Donny Dhirgantoro, Sunil Soraya, Hilman Mutasi
Penulis Novel   : Donny Dhirgantoro
Pemain Utama : Herjunot Ali, Igor Saykoji, Denny Sumargo, Pevita Pearce, Raline Shah, Fedi Nuril.

Selasa, 11 Desember 2012

Handycam bagus untuk produksi film pendek

Hai filmmania..

Masih terus berkarya membuat film kan? Atau minimal mengapresiasi karya film..
Barusan saya membaca artikel Yahoo berikut ini nih, yang saya rasa sangat bagus untuk pengetahuan rekan semua.
Handycam ini cocok dijadikan ‘senjata’ kala berkarya..

Sony Handycam HDR-XR260VE

Hampir semua produk teknologi modern telah dilengkapi kemampuan perekaman video. Tapi tetap saja ada beberapa fungsi dan fitur camcorder yang masih dibutuhkan. Sebagai pemimpin pasar, Sony masih terus mengembangkan jajaran Handycam dan salah satunya adalah Sony Handycam HDR-XR260VE berikut ini.

Konsep dan desain
Sony Handycam HDR-XR260VE memiliki bodi relatif besar namun sangat pas di tangan. Sejumlah tombol navigasi menempel di seluruh bodinya dengan penempatan tombol yang sangat mudah dijangkau. Pada bagian atas tersedia tombol zoom, tombol shutter untuk mengambil foto, tombol mode untuk beralih dari modus video ke foto dan pada bagian belakang tersedia tombol untuk memulai rekam video.

Layar putar yang dimilikinya hadir dalam ukuran 3 inci dan telah dilengkapi dengan teknologi layar sentuh. Berkat layar sentuh tersebut berbagai pengaturan dan pemilihan menu dapat dilakukan dengan lebih mudah tanpa harus direpotkan dengan navigasi memanfaatkan tombol fisik.

Port konektivitas yang dimilikinya juga cukup lengkap. Anda dapat menemukan port HDMI, port audio, DC In, A/V R, dan telah dilengkapi dengan kabel USB langsung yang dapat bersembunyi di bagian tali genggaman. Sementara di bagian bawah, tersedia slot kartu memori yang cukup berguna untuk menambah kapasitas ruang penyimpanan internal yang sebenarnya sudah cukup besar yaitu 160 GB.

Fitur
Sony Handycam HDR-XR260VE memiliki beberapa fitur yang membuatnya lebih baik dari para pesaing sekelas. Pertama kemampuan zoom lensa. Handycam ini sanggup melakukan optical zoom 30x dan 55x extended zoom. Kedua adalah fitur optical Steady Shot dengan Active Mode. Inilah menurut kami keistimewaannya. 

Fitur ini hadir dengan mengusung teknologi 3-Way Shake Cancelling, yang memungkinkan video tetap mulus meski diambil saat pengguna sedang berjalan atau pada posisi zoom maksimal. Untuk membuktikan kedua fitur unggulan yang dimilikinya ini dapat Anda lihat pada video berikut.

Pada contoh video berikut, pengambilan video dilakukan tanpa bantuan tripod. Dapat Anda lihat, pergerakan lensanya dalam melakukan zoom sangat baik dengan pergerakan yang cukup halus. Dari memulai melakukan zoom hingga pada posisi zoom maksimal, HDR-XR260VE dapat menghasilkan rekaman bebas blur akibat pergerakan tangan. Fitur berguna lainnya adalah tersedianya modul GPS yang cukup berguna untuk membantu Anda memberikan informasi tempat pengambilan video dan foto.

Kinerja
Untuk menghasilkan video, Sony Handycam HDR-XR260VE mengandalkan lensa Sony G dengan dukungan prosesor BIONZ andalan Sony untuk memberikan kinerja yang lebih responsif. Sama seperti kamera saku model terkini yang hadir dengan ukuran sensor lebih besar, di atas kertas kinerjanya memang akan lebih baik di kondisi yang minim cahaya. 

Pada video berikut, kondisi ruangan cukup gelap dengan tata lampu yang warna-warni. Dan ternyata Sony Handycam HDR-XR260VE mampu menaklukkan kondisi cahaya tersebut dengan baik. Seperti terlihat pada versi 1080p, hasil video tetap tajam dengan akurasi warna dan eksposur yang terjaga meski banyak efek lampu yang terekam di dalamnya. Hasil rekam suaranya juga cukup baik dengan hasil suara stereo yang jelas terdengar.

Selain dapat mengambil video, Sony Handycam HDR-XR260VE dapat digunakan juga untuk mengambil foto dengan resolusi maksimal 8,9 MP. Meski hasil fotonya tergolong biasa saja dan sangat tergantung kondisi pencahayaan, warna yang dihasilkan cukup akurat. Ditambah dengan dukungan teknologi Pixel Super Resolution yang dimilikinya, Anda juga masih dapat menghasilkan foto pada posisi zoom dengan hasil yang tetap terjaga ketajamannya. Hasil fotonya dapat dilihat di sini.

Kesimpulan

Ukuran yang ringkas, kemampuan rekam video pada format Full HD dan segudang fitur yang dimilikinya cukup membuat handycam ini layak untuk dibeli. Harganya memang tergolong premium (Rp 7.210.000). Namun hal tersebut sebanding dengan kemapuan rekam videonya yang baik, kapasitas ruang penyimpanan 160 GB yang cukup besar dan sejumlah fitur yang tidak akan temukan di kamera video lain sekelasnya.

KELEBIHAN:
+ Bentuk ringkas
+ Mudah digunakan
+ Kapasitas ruang penyimpanan cukup besar
+ Kemampuan zoom sangat baik
+ Hasil video amat baik di segala kondisi.

KEKURANGAN:

- Harga premium
- Tidak dilengkapi lampu LED untuk flash

 dicopy dari artikel Yahoo pada Senin 10 Desember 2012 karya Sdr. Kristian Tjahjono.

Sabtu, 10 November 2012

Skyfall



Hai filmmania..
Kali ini saya ingin berbagi pengalaman menonton “Skyfall”, film terbaru franchise James Bond.

Seru. Menegangkan. Dahsyat!
Rasanya itulah kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan setiap film James Bond sejak film pertama dr.No produksi tahun 1962 sampai Skyfall tahun ini. Setiap film selalu lebih hebat dan menguras adrenalin dibanding film sebelumnya. Aksi lebih “gila”, special efek lebih canggih, cerita lebih kompleks, dan musuh yang lebih “psycho”. Selalu ada kejutan demi kejutan yang mengundang decak kagum dalam setiap elemen film itu.
Seperti di film Bond ke 23 ini. Kali ini Bond (Daniel Craig) harus berhadapan dengan Raoul Silva (Javier Bardem), seorang mantan agen MI6 yang memendam dendam kesumat kepada M (Judi Dench) sang pemimpin MI6 gara-gara merasa telah dikhianati dalam suatu misi bertahun-tahun lampau. Dalam usahanya membalas dendam, Silva mencuri daftar agen-agen yang menyusup ke organisasi-organisasi teroris di seluruh dunia. Secara bertahap para agen itu dieksekusi sebagai bentuk tekanan kepada M, yang dilain pihak menjadi terancam jabatannya karena dianggap gagal mencegah pencurian data rahasia negara tersebut.
Tingkat kejahatan dan keahlian Silva rupanya diatas rata-rata penjahat yang biasa dihadapi MI6. Sistem komputer MI6 yang super canggih berhasil dibobolnya, menyebabkan beberapa orang karyawan MI6 gugur dalam sebuah ledakan yang dirancangnya di markas besar organisasi intelijen itu.
Singkatnya, MI6 benar-benar sedang berada dalam masa kritis. Belum pernah terjadi sebelumnya teroris berhasil masuk ke jantung organisasi, bahkan kemudian melakukan aksinya dari sana.
Sebelumnya dalam upaya merebut harddisk berisi data vital itu, Bond harus terjungkal ke jurang sedalam 91 meter (!) dan dinyatakan hilang dalam tugas. Untunglah ternyata ia diselamatkan oleh warga desa sekitar sungai. Selama beberapa bulan Bond menjalani kehidupan tenang yang jauh dari intrik dunia spionase. Saat melihat organisasinya terancam, barulah Bond memutuskan kembali ke London untuk bertugas. 
Langkah pertama, Bond ke Shanghai demi memburu pencuri harddisk. Tugas berhasil, Bond terbang menuruti petunjuk yang didapat ke kasino mewah di Macau. Disana ia berkenalan dengan primadona kasino yang sangat cantik, Severine (Berenice Marlohe) yang membawanya ke sebuah pulau tak berpenghuni tempat tinggal Silva. Bond sempat berhasil menangkap Silva, dan membawanya ke tahanan di markas besar MI6 yang berpengamanan maksimal.

Minggu, 04 November 2012

Review THE WOMAN IN BLACK


Kisah Hantu Wanita Penebar Teror



Hai filmmania, apa kabar?
Semoga anda semua selalu dalam kebahagiaan dan kesehatan.

Kali ini saya ingin berbagi pengalaman menonton sebuah film kepada anda. Judulnya “Woman In Black”, produksi CBS Films tahun 2012.
Sebuah film horor bersetting Inggris di awal abad ke 20, dibintangi Daniel Radcliffe si ‘Harry Potter’. Disini Radcliffe berperan sebagai Arthur Kipps. Seorang duda beranak satu, pengacara di sebuah biro hukum yang hidup dalam kemuraman setelah kematian istri yang sangat dicintainya. Kemuraman itu berimbas ke karirnya.
Atasannya di biro hukum memberi tugas terakhir kepada Arthur untuk memeriksa dokumen-dokumen di sebuah wisma bernama Eel Marsh House, agar rumah itu bisa dijual. Bila tak mampu menyelesaikannya, maka itu adalah tugas terakhir Arthur di kantor itu.
Berangkatlah Arthur ke rumah yang ternyata terletak di tepi laut itu, menggunakan kereta api. Sebelum pergi Arthur mengizinkan putranya yang baru berusia 4 tahun untuk mengunjunginya beberapa hari kemudian disana.
Sejak pertama memasuki desa dekat Eel Marsh House, Arthur sudah menangkap atmosfer yang misterius, muram dan tak ramah. Pemilik penginapan yang nyaris tak mengizinkannya menginap—padahal jelas kantornya sudah memesan kamar sejak beberapa hari yang lalu, anak-anak yang mengintipnya dari balik jendela dengan ekspresi was-was, kusir kereta yang nyaris tak mau mengantarnya ke wisma, dan sebagainya. Tetapi karena tanggung jawab, Arthur tetap berusaha melaksanakan tugasnya.
Eel Marsh House ternyata sebuah rumah besar yang sudah berubah menjadi onggokan tembok kotor berdebu dan nyaris tenggelam dalam kerimbunan ilalang. Angker, apalagi dengan kompleks pekuburan kecil didekatnya.
Mengabaikan rasa takut, Arthur memeriksa kertas-kertas dokumen yang berserakan didalam rumah itu. Sesekali ada penampakan atau suara-suara aneh yang mengganggunya, tetapi ‘syaraf takut’ seolah dimatikannya, demi pelaksanaan pekerjaan.
Semakin lama bermukim di desa itu, keanehan makin menjadi. Fakta-fakta semakin jelas ditemukan Arthur, bahwa ada hantu kejam yang sudah sekian lama menghantui warga desa. Fakta yang mengerikan adalah, banyak anak-anak yang mati ‘bunuh diri’. Ternyata, anak-anak itu dipengaruhi oleh arwah seorang wanita penghuni Eel Marsh House di masa lalu. Ia memendam dendam kesumat terhadap saudarinya, yang dianggapnya telah mengganggu kebahagiaan rumah tangganya, serta menyebabkan anak lelaki satu-satunya meninggal.
Sedapat mungkin, Arthur berusaha menyelesaikan masalah itu. Dorongan terbesarnya adalah, karena putranya akan segera datang tanpa bisa dicegah. Ia tak mau putra terkasihnya itu ikut menjadi korban.
Arthur berusaha mengambil jasad anak si hantu penebar teror itu dari kedalaman lumpur laut, lalu membaringkannya di dalam peti mati si wanita.
Tetapi, rupanya itu tak membantu. Si hantu bergaun hitam terus menebar teror..

Nuansa dark film ini sangat sesuai dengan tema horor. Warna-warnanya soft dan pucat. Menimbulkan dengan sempurna suasana yang muram, misterius dan menakutkan di sepanjang film. Setting waktu dan tempat, tentu detail dan nyaris sempurna seperti umumnya film produksi perusahaan besar Hollywood atau Eropa. Membuat kita benar-benar seperti menyaksikan kehidupan nyata di pedesaan Inggris satu abad lampau. Terutama bangunan Eel Marsh House dan lingkungannya yang benar-benar terlihat angker, kumuh tak terurus selama bertahun-tahun, dan penuh menyimpan misteri. Entah bagaimana para desainer dan kru artistik serta animator itu membuatnya. Beda sekali dengan misalnya, set sinetron-sinetron bersetting sejarah di televisi kita, yang kelihatan baru dibuat dan terbuat dari kayu dan tripleks. Tak boleh dibandingkan? Mungkin memang ya, tetapi saya haqqul yakin kalau memang ada niat, para sinetron maker itu pasti mampu membuat yang lebih baik dari yang selama ini mereka tampilkan. Pasti. Tinggal masalah niat mau membuat tayangan berkualitas atau tidak..  (eh, kok jadi curhat J )
Kesan horor sudah dimulai sejak adegan pertama. Tiga orang perempuan cilik yang sedang bermain boneka di sebuah ruangan, tiba-tiba terhipnotis berjalan ke jendela, lalu.. terjun bebas. Mengerikan, dan mengkondisikan batin penonton untuk siap menerima kejutan-kejutan menakutkan berikutnya. Akting Radcliffe cukup bagus, juga semua pemeran lainnya. Bagi saya bahkan menimbulkan rasa geregetan, bagaimana mungkin seseorang berani sendirian malam-malam bekerja di rumah dengan kondisi seperti itu? Bahkan, menjelajah ruangan demi ruangan demi mencari dokumen, atau saat merespon suara-suara aneh. Sayangnya karakter Arthur disini, tetap terlihat terlalu muda untuk peran seorang bapak muda. Wajah Radcliffe yang boyish belum pantas memerankan karakter seseorang berusia diatas 25 tahun. Kontras sekali dengan para pemeran dewasa lain yang terlihat matang dan sesuai dengan peran. Mungkin demi kepetingan komersial semata Radcliffe diserahi peran demikian.

Kekuatan utama film ini saya lihat ada pada usaha pemunculan ketakutan di benak pemirsa, bukan pada cerita. Selain atmosfer dark tadi, juga pada tempo lambat yang sengaja dibuat untuk membawa pemirsa merasakan misteri dan kengerian dibalik tembok-tembok tebal yang kotor, boneka-boneka binatang yang lebih terlihat menyeramkan daripada lucu, kursi goyang yang bergerak sendiri, atau wajah-wajah anak-anak yang polos tetapi penuh ketakutan. Tak sekali dua kali kita akan kaget menyaksikan penampakan-penampakan bayangan yang membuat bulu kuduk berdiri. Seperti saat tiba-tiba sesosok tubuh meluncur menggantung di seutas tali. Bukan main menyentak jantung..
Saya pribadi menganggap film yang ceritanya diambil dari novel karya Susan Hill ini secara keseluruhan cukup bagus, kendati kurang puas dengan endingnya. Tetapi, tentu itu subyektif. Jadi bagi rekan filmmania penyuka genre horor, silahkan menyaksikannya. Bisa membeli atau menyewanya dari rental terdekat.  
Jangan beli bajakan/download ilegal ya..

Sekian, dan semoga bermanfaat bagi kita semua..


Sutradara       : James Watkins
Penulis           : Jane Goldman
Diangkat dari novel karya Susan Hill
Produksi         : CBS Films th.2012
Rating menurut produksi film.com: 3 dari 5 bintang






Sabtu, 29 September 2012

Fajar Baru Film (Laga) Indonesia



Hai filmholic..
Kali ini saya ingin menyambung artikel saya “pada kemana aktor-aktor lagaIndonesia?” cukup terlambat bila dikaitkan dengan momen suksesnya The Raid: Redemption, memang. (Mohon maaf, karena saya baru sempat meluangkan waktu untuk menulis saat ini L )

Sobat filmholic,
Cukup banyak perkembangan terjadi dalam industri film kita sejak saya memposting artikel itu. Satu yang sangat menggembirakan—terlalu indah untuk jadi sebuah kenyataan, bahkan—adalah munculnya sebuah film nasional yang sukses di peredarannya di seluruh dunia. The Raid. Serbuan Maut.
Film itu seolah menjadi jawaban atas kerinduan saya untuk menyaksikan para aktor film laga nasional berjaya di layar perak.
Tidak cuma 5-10 fighter, tetapi puluhan!
Tidak cuma 40-50% adegan fighting, tetapi 90%!
Tidak cuma pencak silat, tetapi bermacam ilmu beladiri!
Tidak cuma sukses di tingkat nasional, tetapi internasional!
Tidak cuma para aktornya menjadi idola di masyarakat Indonesia, tetapi langsung bermain di film Hollywood! ...
Luar biasa. Fantastis..

Walau itu bukan 100% karya anak bangsa, tetapi kita tetap boleh berbangga bahwa 95% pemain dan kru adalah sineas dan aktor lokal. Diproduksi di Indonesia, dan menampilkan kehebatan akting, keahlian beladiri dan karya artistik orang Indonesia.

Filmholic, artikel ini saya tulis selain untuk mengapresiasi The Raid, juga untuk mengulik sedikit proses pembuatannya, serta tentunya untuk memotivasi kita semua untuk meniru—tentunya melebihi kalau bisa—kesuksesan produksi film laga fenomenal itu.

Niat yang sungguh-sungguh dan profesionalisme untuk menghasilkan karya film yang hebat dan sukses di pasaran.
Itu penyebab utama kesuksesan The Raid, saya rasa. Bagaimana tidak?
Mengkreasi ide cerita yang out of the box, yang ‘gila’, tentu membutuhkan olah pikir yang ekstra dan keberanian untuk mengeksekusinya nantinya.
Menciptakan koreografi laga yang dahsyat selama 3 bulan, untuk aksi selama 1 jam lebih,
meng-casting 70an fighter,
lalu mengajarkan koreografi tersebut kepada 70an aktor dan fighter, tentu membutuhkan effort yang sangat besar.
Hunting lokasi, lalu menciptakan set & tata artistik yang sesuai kebutuhan cerita dan pengadeganan laga, jelas membutuhkan keahlian khusus.
Lalu memasarkan film itu ke masyarakat Indonesia yang gemar membeli film bajakan, jelas membutuhkan keberanian besar untuk ‘berjudi’ dengan bujet yang telah dikeluarkan.

Namun tak ada sebuah filmpun yang sempurna.
Walaupun mengagumkan, ada beberapa kejanggalan adegan yang sebenarnya cukup mengganggu:
ü  Adegan penembakan brutal terhadap sopir mobil pengangkut pasukan
Nampaknya ini diakibatkan kelengahan pada saat syuting. Bila diperhatikan, ada lalu lintas kendaraan didekat lokasi adegan ini berlangsung. Bagaimana mungkin sebuah pembunuhan brutal dengan suara senapan mesin membahana tidak menarik perhatian pengguna jalan yang berjarak sekitar 20an meter dari TKP?
Selain itu, adegan ini menjadi janggal juga karena pada awal dan akhir film, diperlihatkan bahwa pasukan Raka cs. Masuk dan keluar melalui jalan kecil menuju/ keluar gerbang. Kenapa tidak melompat pagar dari jalanan disampingnya saja? Jelas, ‘kebocoran’ suasana lalu lintas jalan ini seharusnya tidak terjadi.
ü  Adegan perkelahian final
Adegan ini sangat menarik. Adu jotos dan tendangan, bantingan selama beberapa menit nonstop. Tetapi, ini agak diluar nalar. Seandainya ini terjadi di kejadian nyata, pastilah gigi sudah bertebaran kemana-mana. Pastilah sudah ada tulang rusuk yang patah sejak di sepertiga perkelahian. Lalu bagusnya bagaimana? Mungkin intensitas pukulan dengan kepalan tangan bisa dikurangi, diganti dengan sentakan telapak tangan, misalnya. Atau cara yang lain, para ahli beladiri tentu lebih tahu.

Saya pribadi bukan anti film bermuatan adegan kekerasan. Tinggal bagaimana mengemasnya. Tetapi di The Raid, seharusnya kekerasan yang ditampilkan tidak perlu se vulgar itu. Adegan peluru melubangi kepala, senjata tajam merobek tubuh, seharusnya bisa ditampilkan secara lebih estetis. Adegan Tama (Ray Sahetapi) yang menghunjamkan palu ke kepala anak buahnya di awal film, itu contoh yang cukup baik. Gambar diedit dengan pace cepat untuk menghindari adegan palu menghantam kepala, tetapi penonton pasti tahu bahwa maksudnya itu. Menunjukkan kesadisan seseorang, it’s OK. Tetapi bisa secara lebih estetis. Justru disitu tantangannya, menampilkan adegan tanpa terlihat nyata 100%, tetapi penonton tahu maksudnya itu, & terpuaskan visualnya. Ibarat adegan ML tidak harus ditampilkan layaknya film biru, tetapi bisa ditampilkan lewat siluet di dinding misalnya, & kilasan-kilasan si aktor mencium tubuh pasangannya.

Selain itu, ini masalah yang boleh dibilang sepele, tetapi dimata saya sedikit mengurangi kesempurnaan film. Seragam pasukan khusus polos tanpa badge kesatuan. Mungkinkah ada pasukan khusus yang demikian? Saya rasa nggak deh. Saya yakin Mr.Gareth Evans bermaksud untuk tidak menampilkan kesatuan secara spesifik berasal dari mana, mungkin selain masalah perizinan, bisa saja ia khawatir image buruk yang bisa saja disandang kesatuan tersebut mengingat kekerasan-kekerasan hebat yang dilakukan para personilnya di keseluruhan film. Saya mengerti dan menghargai keputusan itu. Tetapi seharusnya, bisa diganti dengan badge “asal”. Maksudnya, diperlihatkan saja ada badge, tetapi gak pernah disorot secara dekat apalagi Close Up. Bentuknya pun gak harus meniru bentuk badge pasukan khusus Indonesia matra apapun.

Semua analisis diatas saya kemukakan tanpa bermaksud sok pintar, tentu saja. Sekedar memberikan sedikit kritik konstruktif semata dari sudut pandang seorang penikmat (dan pemimpi pembuat) film. Apalagi adegan dalam sebuah film memang tak harus sesuai dengan ‘hukum-hukum’ peristiwa di kehidupan nyata.
Berikut ini adalah kisah dibalik layar film ini. Saya ambil dari situs Youtube:

Bagian 1:

Bagian 2

Bagian 3

Bagian 4


Akhirnya, salut dan semua jempol tangan dan kaki saya untuk Mr.Gareth Evans, Yayan Ruhiyan, Iko Uwais dan segenap kru produksi.

Semoga perfilman laga kita, dan secara umum perfilman nasional kita semakin maju dan mendunia.

Semoga kita bisa membuat film yang minimal sama hebat dan suksesnya seperti The Raid suatu saat nanti. Harus bisa!
Makanya, ayo buruan bikin film.. !

situs resmi The Raid.
review The Raid