Skenario adalah dasar atau fondasi dimana bangunan film berdiri. Sebagus apapun eksekusi di lapangan, biasanya sebuah film tak akan berhasil menjadi sebuah karya yang menarik bila mengabaikan penulisan skenario yang baik. Bahkan, film itu jadi saja sudah sebuah hal yang luar biasa.
Salah satu contoh adalah diri saya sendiri, yang terlibat dalam produksi sebuah film pendek karya seorang teman. Teman saya tersebut memiliki ide cerita yang bagus, juga sangat ahli dalam videografi. Tapi ia terbiasa dengan cara berpikir 'bagaimana nanti di lapangan saja'. Terbukti, selama setahun lebih hingga sekarang, film yang mungkin kalau jadi hanya berdurasi sekitar 5 menit tersebut tak juga rampung. Dia bahkan ingin syuting ulang, karena memiliki konsep baru yang menurut pendapatnya lebih bagus. Tidak efektif dan membuang-buang sumber daya bukan? mengingat saat syuting dulu dilakukan juga sudah mengeluarkan energi, biaya dsb. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita para filmmaker wannabe, untuk memahami tentang skenario. Termasuk cara pembuatan/penulisannya.
Tak harus menjadi ahli memang, bila anda tertarik di bidang filmmaking yang lain. Namun akan sangat bermanfaat bila kita minimal mengetahui sedikit seputar cabang ilmu film yang satu ini.
Beragam cara untuk mendapatkan keahlian menulis skenario. Bisa membeli buku, browsing-googling di internet, atau ikutan workshop.
Berikut ini saya menemukan video ilmu yang sangat bermanfaat. Sebuah workshop yang diadakan oleh @america, yang mengundang penulis skenario & sutradara Monty Tiwa.
Tak hanya skenario, juga dibahas hal-hal lain dalam workshop ini, kendati Monty Tiwa lebih dulu dikenal sebagai penulis skenario pada awal karirnya.
So, terima kasih untuk channel Youtube, iLearn@america & bung Monty Tiwa
dan bagi para film mania, selamat menikmati hidangan ilmu yang bermanfaat.. :-)
Kali ini saya ingin menulis tentang sebuah film yang baru
saja saya tonton, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Bukan sebuah review
lengkap, hanya ‘laporan pandangan mata’ berdasarkan penilaian saya saja J. Kekaguman
atas karya besar buya HAMKA yang diadaptasi menjadi film oleh sutradara Sunil Soraya itu, yang membuat saya merasa wajib menuliskan pendapat pribadi, tak
lama sepulangnya saya dari bioskop. Juga perasaan haru, atas kepiawaian mereka
bersama trio penulis skenario dalam melukiskan kisah cinta yang mengharu biru.
Saya
rasa bila melihat dari judulnya, banyak orang yang beranggapan bahwa film ini
adalah Titanic versi Indonesia. Menurut saya, ada benarnya. Kedua film sama-sama
bergenre romance (percintaan), yang melibatkan
peristiwa tenggelamnya sebuah kapal sebagai bagian dari kisah. Bedanya, mungkin
pada porsi dan tingkat kepentingan (importance)
adegan itu dalam keseluruhan cerita. Kalau di film Titanic, tenggelamnya kapal
adalah sebuah adegan krusial yang menentukan jalan cerita sehingga tak
tergantikan, sehingga pengambilan nama kapal sebagai judul film memang pas. Apalagi
bahwa 95% adegan memang terjadi diatas kapal itu. Sementara di film “Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck” ini, adegan itu tidak terlalu krusial dan sangat sedikit.
Sehingga menurut saya, kurang cocok dibuat sebagai judul film. Walaupun bila ditinjau dari sudut pandang
komersial memang cocok, dikarenakan lebih memancing keingin tahuan masyarakat.
Alkisah
negeri Minangkabau masih sangat kental adat istiadatnya. Seorang wanita harus
menikah dengan sesama suku, pria yang seratus persen keturunan Minang. Zainuddin,
seorang pemuda keturunan Minang-Makassar datang pulang ke kampung ayahnya di Batipuh,
Minang, untuk belajar agama. Sebelumnya sejak kecil hingga dewasa ia dibesarkan
oleh keluarga ibunya di Makassar. Tak hanya ilmu agama yang didapatnya,
melainkan juga hati seorang kembang desa: Hayati. Namun tentu saja percintaan
mereka tak berjalan mulus. Para tetua menolak keras hubungan itu. Zainuddin pun
terusir keluar dari Batipuh dan pergi ke Padang Panjang. Namun sebelum
berpisah, janji setia sempat ia ikrarkan bersama Hayati, untuk saling setia
satu sama lain. Suatu saat ada perayaan di Padang Panjang. Kesempatan itu
digunakan Hayati untuk bertandang ke rumah Khadijah sahabatnya di kota itu,
dengan maksud khusus agar bertemu dengan Zainuddin. Namun ternyata tak bisa ia
leluasa menemui Zainuddin. Ada Azis yang ternyata menaruh hati padanya. Azis
adalah kakak Khadijah, seorang pemuda perlente pegawai pemerintah Belanda yang
gemar berfoya-foya dan mempermainkan wanita. Azis tak menunggu lama. Ia segera
meminang Hayati kepada keluarganya. Pihak keluarga Hayati menerimanya, tanpa
menimbang perasaan gadis itu yang merana. Zainuddin patah hati dan dilanda
depresi. Untung ia berhasil bangkit, lalu bersama Muluk sahabatnya merantau ke tanah
Jawa. Tabiat seseorang menentukan nasib hidupnya. Zainuddin menjadi orang yang
berhasil, sebaliknya Azis. Disebabkan tabiatnya yang buruk dan kecanduannya
pada judi, Azis dipecat dari pekerjaannya dan kehilangan hampir seluruh
kekayaannya. Disitulah kemudian pertentangan batin dan ujian sesungguhnya bagi
Zainuddin. Akankah ia menolong Azis yang datang meminta bantuan kepadanya,
ataukah membalas dendam atas perbuatan kejam terhadapnya dulu. Akankah cinta
lama bersemi kembali, atau luka lama kembali terbuka.
Kisah ini senada dengan kisah-kisah
sezamannya yang lebih dulu populer di masyarakat, seperti Sitti Nurbaya karya
Marah Rusli. Kisah kasih tak sampai yang sarat akan kritik sosial atas keadaan
masyarakat pada masa itu, dimana adat istiadat masih sangat kuat berakar, yang
seringkali mengalahkan nilai-nilai agama maupun akal sehat. Sungguh menarik
melihat bagaimana karya seni (dalam hal ini sastra) digunakan untuk melakukan
‘pemberontakan’ terhadap keadaan yang kurang baik. Semakin menarik lagi bahwa novelnya
sendiri ternyata mendapat penerimaan yang sangat baik di masyarakat pada masa
itu, padahal sarat dengan kritik terhadap keadaan di masyarakat itu sendiri. Novel
yang semula adalah kisah bersambung di majalah mingguan Pedoman Masjarakat itu, sudah berkali-kali mengalami cetak ulang,
didalam maupun di luar negeri.
Mungkin hal ini adalah salah satu alasan yang membuat
produser dan sutradara Sunil Soraya tertarik
untuk mengangkat kisah klasik ini ke layar lebar. Kisah asli tentang masyarakat
Indonesia yang memuat banyak nilai keluhuran budi, serta terbukti disukai
masyarakat hingga melintas generasi. Tanpa mempedulikan besarnya tantangan yang
harus dihadapi dalam memfilmkan kisah yang bersetting waktu puluhan tahun lalu,
terjadi di banyak tempat dan melibatkan banyak karakter dan pemeran pendukung
itu. Jangan melupakan juga, adegan tenggelamnya sebuah kapal yang tentu
membutuhkan efek komputer khusus dan mahal.
Setting waktu tahun 30an tergambar
cukup baik di film ini. Lokasi, seperti kampung Batipuh dengan rumah-rumah
tradisional Minang, rumah mewah bak istana tempat kediaman Zainuddin, hotel, sampai
klub tempat Azis menghabiskan malam dengan berjudi, semua sangat meyakinkan.
Barang-barang dan perlengkapannya juga sesuai. Begitupun mobil-mobil lawas dan
kostum yang dirancang oleh Samuel Wattimena. Indah, dan klasik. Sangat
menyempurnakan para pemeran dalam berakting menghidupkan cerita, dalam alam
yang tampil indah ditangan sinematografer Pinky Mirror dan kamerawan YudiDatau.
Herjunot Ali, Pevita Pearce dan RezaRahadian berakting dengan memukau. Tiga tokoh sentral pemeran Zainuddin,
Hayati dan Azis tersebut begitu larut dalam karakter. Junot bekerja keras
sepanjang film dengan dialek Makassar, mengharu biru saat tampil sebagai insan
lemah tak berdaya, anggun berwibawa sebagai eksekutif-seniman muda, dan
menyayat hati kembali saat bermonolog di depan tungku perapian, mengungkapkan
kekecewaan hatinya yang mendalam terhadap Hayati. Jangan lupakan pula adegan
klimaks saat ia meratapi Hayati yang sedang terluka parah. Begitu luluh-lebur
dalam suasana hati yang hancur.
Pevita
dengan kecantikan alaminya, tampil begitu indah sebagai gadis kembang desa yang
terperangkap kedalam kuasa nasib. Begitu menyentuh.
Sedangkan
Reza, kendati tak mendapat porsi sebesar Junot, tampil cemerlang dalam
kata-kata, gesture tubuh sampai hanya
mimik muka. Satu tatapan mata dan ekspresi sinis sudah sangat cukup melukiskan
karakter yang sedang ia bawakan. Membuat kita geram, atau takut. Aktor berbakat ini sama sekali tidak kalah
dengan Junot sang pemeran utama. Keduanya sama-sama unggul pada bidangnya masing-masing.
Satu
pemeran lain yang juga layak diperhatikan adalah Randy Danistha, pemeran Muluk.
Randy yang notabene adalah keyboardis grup band Nidji dan bukan seorang aktor
ini sukses mencuri perhatian lewat aktingnya sebagai sosok yang konyol
sekaligus setia kawan. Sukses mengundang tawa di beberapa adegan, juga tak bisa
diabaikan perannya sebagai tokoh pendukung.
Musik pengiring adegan, termasuk
didalamnya Original Sound Track,
merupakan elemen penting sebuah film. Untuk film ini, grup band Nidji cukup
sukses dalam perannya. Lagu-lagu mereka melebur apik dalam adegan-adegan,
memperkuat suasana yang sedang dibangun.
Kesekian kali terbukti, karya klasik tak selalu harus berlatarkan
ilustrasi musik daerah.
Tak ada karya manusia yang sempurna,
begitupun Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Kendati memukau, ada beberapa hal
yang saya tangkap sebagai kelemahan terdapat di film ini. Diantaranya:
§Animasi yang kurang halus.
Paling terasa terdapat di 3 adegan, yaitu adegan wide di arena pacuan kuda, adegan kapal
yang sedang berlayar dan tentunya, adegan tenggelamnya kapal. Tampilan gambar
jelas menunjukkan bahwa sebagian dari adegan-adegan itu adalah rekayasa
digital. Warnanya kurang halus/kurang menyatu dengan sekitarnya. Pergerakan
kapal diatas lautan terasa kurang wajar, begitupun saat adegan kapal tenggelam
masuk ke air.
§Tak ada established
shot Padang Panjang, Batavia dan Surabaya.
Memang itu bukanlah hal yang vital. Namun alangkah bagusnya
bila lanskap kota Batavia dan Surabaya era 30an ditampilkan. Keindahan film ini
pasti akan lebih terasa.
§Penyebab tenggelamnya kapal yang tidak/kurang
jelas
Seberapapun kurang pentingnya adegan ini dalam cerita, tetap
saja seharusnya ditampilkan walau hanya sekilas. Mungkinkah saya yang kelewatan
memperhatikan?
Tentunya
kritik diatas bukan bermaksud merendahkan kualitas film dan atau meremehkan
kerja keras dan keahlian semua insan pendukung film. Sekedar pendapat yang
mungkin benar, bisa juga salah. Satu keinginan penulis: menyaksikan film
Indonesia semakin baik dan berkualitas dari waktu ke waktu.
Rekan film mania, demikian review
singkat dari saya, atas sebuah film luar biasa karya anak bangsa. Salah satu
film nasional terbaik yang pernah saya tonton sejauh ini. Saya sangat
bergembira dengan film ini, dan berharap penonton berbondong-bondong menonton
film ini di bioskop, dan tidak membeli CD dan DVD bajakannya. Namun sebagai pemungkas
kata; cukup banyak penonton yang terharu dan meneteskan air mata menyaksikan
film ini. Satu keanehan, kenapa saya nyaris tidak merasakannya ya? :-P. Momen
yang paling menyentuh bagi saya hanyalah saat diucapkannya 3 kalimat syahadat
di telinga Hayati. Ah, sudahlah. Karya seni mungkin memang subyektif. Reaksi penikmatnya
sangat tergantung dari selera, pengalaman hidup, tingkat kedewasaan, dan
sebagainya dari sang penikmat itu. Hal yang terpenting mungkin, nikmati film
sebagai film. Ambil yang baik, buang yang kurang baik.
Maju terus perfilman Indonesia! J
TENGGELAMNYA KAPAL
VAN DER WIJCK
Penulis
Novel: HAMKA (Haji Abdul
Malik Karim Amrullah)
Produser: Ram Soraya, Sunil Soraya
Sutradara: Sunil Soraya
Penulis
Skenario: Imam Tantowi, Donny
Dhirgantoro, Riheam Junianti
DOP: Pinky Mirror
Kamerawan: Yudi Datau
Editor : Sastha Sunu
Musik: Andi Ariel Harsya
(Andi Nidji)
Pemeran: Herjunot Ali, Pevita
Pearce, Reza Rahadian, Randy Danistha (Randy Nidji), Gesya Shandy, Arzetti
Bilbina, Kevin Andrean, Jajang C. Noer, Niniek L. Karim.
Studio: Soraya Intercine
Films
Tanggal Rilis :
19 Desember 2013
Berikut ini beberapa Review film "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" dari situs lain: