Kamis, 30 Desember 2010

Teknologi di Balik Pembuatan Film "Avatar"


PENERAPAN teknologi 3 dimensi (3D) paling mutakhir di dunia perfilman serta pemanfaatan kemajuan teknologi storage menjadikan film "Avatar" yang disutradarai oleh James Cameron mampu menampilkan potongan-potongan gambar apik, yang membuat setiap orang begitu tercengang saat melihat hasil gambar yang ditampilkan, boleh dikatakan sangat sempurna.
Jika Anda beranggapan bahwa ras NaVi (makhluk non-manusia penghuni Pandora berwarna biru) yang ada di film ini merupakan aktor atau aktris dengan tata rias yang bagus, Anda harus berpikir ulang. Tokoh-tokoh NaVi yang ada di film ini sepenuhnya merupakan animasi CGI. Efek visual, animasi 3D, dan CGI yang sangat hebat. Film ini diproduksi oleh perusahaan yang berpusat di California, LightStorm Entertainment, bekerja sama dengan Weta Digital asal Selandia Baru. Keduanya berkolaborasi guna memproduksi efek visual dengan menggunakan teknologi CGI (computer-generated imagery).
Untuk memproduksi efek visual serta animasi CGI di film-film terlaris dunia, perusahaan membutuhkan storage dengan kapasitas dan performa yang sangat tinggi. WETA Digital, perusahaan efek visual digital yang bermarkas di Wellington, New Zealand, mengandalkan teknologi storage berperforma tinggi dari Ne-tApp dan Aspera Enterprise Server (AES) untuk menampung dan memproses render farm mereka yang sangat besar. Storage berperforma tinggi dari NetApp mampu mem-feed lebih dari 40.000 CPU Core dengan kapasitas RAM hingga 104 terabytes dan dapat mengoptimalkan backbone jaringan storage 10 GbE (Gigabit Ethernet). Gigabit Ethernet (GbE atau 1 GigE sebenarnya adalah 1,25 Gbps) adalah istilah untuk menjelaskan teknologi transmisiyhime Ethernet di ringkat gigabit per detik, seperti yang ditetapkan . oleh standar IEEE 802,3-2.005.
WETA Digital juga menangani efek visual, animasi, dan CGI untuk film trilogi "Lord of The Rings", "King Kong" (2005), "X-Men The Last Stand" (2006), "District 9" (2009), dan masih banyak lagi film-film top box office lainnya.Selain "Avatar", teknologi storage NetApp juga digunakan untuk mengerjakan film-film animasi dari studio Pixar, seperti "Up" (2009), "Wall-E" (2008), "Cars" (2006), dan "Finding Nemo" (2003). Selain Studio Pixar, film-film animasi besutan studio Dreamworks Animation, seperti "Shrek" (2001), "Shrek 2" (2004), dan "Madagascar" (2005), juga me-mercayakan storage-nya kepada NetApp.
Awal era ti dan Blu-ray
Apa dampak dari film karya James Cameron yang jadi hit di mana-mana bagi dunia hiburan rumahan? "Avatar" yang menelan biaya produksi dan pemasaran mendekati 500 juta dollar AS, menggunakan seni efek teknik tinggi 3 Dimensi untuk menghasilkan sebuah visual menakjubkan dari dunia lain. Latar belakang, bukan alur cerita, adalah titik penting yang dijual. Banyak pengamat menilai, Hollywood akan kebanjiran film bertema serupa yang memanfaatkan teknologi 3D.Dalam beberapa bulan terakhir, industri elektronik telah membangun kerangka guna menjual hiburan 3D untuk hiburan di rumah-rumah. Blu-Ray Disc Association (BDA) telah mengumumkan spesifikasi untuk konten io8op full Blu-Ray.
Sementara produsen TV besar lainnya berharap, TV 3D akan menjadi produk besar berikutnya yang akan dinikmati masyarakat. Sony, misalnya, meramalkan bahwa teknologi 3D akan merambah 30-50 persen dari semua produk TV sampai tahun 2012. Blu-ray yang akan menjadi penggerak dan pelopornya adalah film "Avatar" yang akan menggugah selera konsumen akan hiburan 3D rumahan. Memang, "Avatar" identik dengan 3D, meski sebenarnya film 3D bukanlah hal baru. Teknologi 3D digunakan untuk benar-benar mengubah pengalaman bercerita yang membawa penonton seolah-olah tengah mengunjungi lokasi film. Sementara 3D Blu-ray dapat menciptakan pengalaman mendalam yang sama, dengan totalitas 3D tinggi layaknya seperti "Avatar". Namun, apakah film 3D cukup siap untuk mengadopsi teknologi 3D yang memerlukan investasi dan daya beli konsumen yang signifikan, termasuk untuk HDTV, 3D Blu-ray player, beberapa pasang kacamata 3D, dan speaker surround-sound.
*** Toni Irawan, praktisi IT.
sumber: http://bataviase.co.id/21 Jan 2010

Jumat, 24 Desember 2010

Dari penulis 'Para Pencari Tuhan'

Hai filmmaker mania..

Sebentar browsing malam ini, saya menemukan sebuah artikel yang sangat, sangat menarik.. khususnya bagi rekan yang disamping suka film, suka juga membuat naskah skenario. Sebuah artikel yang ditulis pak Wahyu HS tentang pengalamannya menulis skenario dari serial sinetron yang sangat populer di negeri kita. Membaca artikel dari penulis senior kita ini (mulai terjun sebagai penulis profesional sejak tahun 1994!), saya sungguh merasa kecil. Betapa untuk membuat cerita menjadi menarik, beliau sampai harus memikirkan dengan sangat serius kata-kata apa yang harus/pantas diucapkan seorang tokoh sesuai dengan karakternya & kaitannya dengan jalan cerita, dimana kata-kata itu harus cukup kuat & memorable. Kalimat yang saya cetak tebal dibawah ini adalah hal-hal lain yang saya kagumi dari pemikiran pak Wahyu HS ini, yang semakin menunjukkan hebatnya kreativitas beliau. Sungguh seorang penulis (& seniman) yang sangat berbakat, & layak menjadi contoh bagi kita dalam berkarya.. Berikut artikel itu, saya salin dari situs Write.Inc.

Beberapa rekan penulis bertanya kepada saya, bagaimana dan dari mana saya bisa menuliskan adegan dan dialog-dialog yang, menurut mereka, kuat dan memorable dalam serial "Para Pencari Tuhan". Dengan bercanda saya jawab, "Ya harus bisa, dong. Saya kan penulis." Saya buru-buru minta maaf karena ternyata mereka serius dengan pertanyaan itu. Saya terpaksa mengingat-ingat kembali, bagaimana semuanya itu tertulis di dalam komputer saya. Sebagian besar saya sudah lupa prosesnya, tapi sebagian lagi saya masih ingat. 


Untuk pemilihan tema dan topik, biasanya merupakan hasil diskusi dengan tim kreatif saya (Bang Diding Jacob, HAMBA, Kang Arief, Albert Hakim, Farrel M. Rizqy, Amiruddin Olland, dan Veronica Grensilia), sebagian lagi dari diskusi informal dengan istri, teman, supir taksi, atau kru sinetron, yang bukan bagian dari tim kreatif, sebagian lagi hasil diskusi dengan diri saya sendiri.

Misalnya, pada episode yang memunculkan tokoh Asrul untuk pertama kalinya. Tokoh ini cukup terpelajar tapi tidak trampil mencari uang hingga kesarjanaannya hanya menghasilkan ijazah, bukan uang. Untuk menggambarkan betapa miskinnya tokoh ini, ada beberapa pilihan: banyak hutang, menjadi peminta-minta, atau dilanda kelaparan yang amat sangat. Pilihan-pilihan tersebut menurut saya sangat klise dan tidak menyengat. Lalu, saya tanya, jika kalian jadi orang miskin yang jobless dan nggak punya apa-apa lagi, mau jual apa? Ada yang jawab, jual anak. Menarik, tapi terlalu kejam. Tim kreatif saya mulai capek dan kesal, lalu ada yang nyeletuk, "Jual genteng aja." Saya langsung pilih itu. Maka, jadilah tokoh Asrul yang sudah frustrasi itu menjual dua potong genteng rumahnya sendiri untuk makan keluarganya. Pada momen ini, saya menemukan bahwa tokoh Asrul adalah orang yang tidak kreatif dan cenderung bersikap ekstrim. Logis jika kemudian dia (pada beberapa episode berikutnya) makin ngawur dan menjual imannya demi uang beberapa ratus ribu rupiah saja. Saya melihat tokoh Asrul belum sampai pada titik didih tertingginya dalam menghadapi kemiskinannya. Maka, di episode Nuzulul Qur'an (eps 17), saya arahkan tokoh ini untuk menawari istrinya bercerai dan mencari suami yang lebih baik. Sang istri yang solekhah itu menjawab sambil mengangkat Qur'annya, "Kalau saya tidak berpegang pada kitab ini, sudah saya tinggalkan abang, anak-anak, dan rumah buruk ini."

Tokoh Asrul menjadi kian frustrasi dan menganggap Allah hanya ingin mempermainkan dan mempermalukannya saja hingga terlontarlah ucapan, "Apakah Tuhan telah hilang? Laa illah!" Selebihnya adalah permainan dialektika yang saya sandarkan pada jawaban-jawaban Al Qur'an untuk merespon "gugatan" Asrul kepada Allah, yang diwakili oleh tokoh Bang Jack. Ia antara lain menjawab, "Tuhan tidak pernah hilang. Kitalah yang terpejam. Mata hati kita yang terpejam." Sebuah paksaan untuk melakukan introspeksi.

Ada pula plot menarik yang dipicu oleh keisengan, yakni plot Hansip menemukan bayi. Kami sedang iseng berencana "menjebloskan" Udin sang Hansip ke dalam situasi serius. Berhubung dia hobi mencari peruntungan di jalanan dengan berharap menemukan uang jatuh, maka langsung saja terlontar sebuah ide: Udin menemukan bayi. Muncul pertanyaan, bayi itu kemudian mau kita apakan? Tak butuh waktu lama untuk berpikir … pasangan Ustadz Ferry dan Haifa yang belum dikaruniai anak. Ini akan menawarkan plot tambahan yang menarik di episode-episode mendatang. Namun, momen penemuan bayi itu belum punya dialog yang bisa memperkuat atau memperlucu kesan yang ditimbulkan. Kami sudah punya adegannya, yaitu Hansip disidang oleh pengurus RW ihwal penemuan bayi itu. Alih-alih dipuji, sang Hansip malah seperti dipojokkan karena seharusnya dia tidak lewat jalan itu. Amir, anggota tim kreatif saya, punya jawaban lucu untuk sang Hansip, "Biasanya juga nggak nemu bayi!" Inilah dialog yang saya butuhan. Sederhana kalimatnya, tapi aneh pijakan berpikirnya. Hehehe ….

Tokoh Bonte merupakan ketidaksengajaan ketika "harus" diperpanjang episodenya. Awalnya saya hanya ingin menampilkannya satu episode saja untuk memberi efek tekanan emosional kepada tokoh Asrul dan Hansip dengan ledekannya "Cieee, ciee, cieee." Ternyata, banyak penonton yang menyukai tokoh Bonte. Ya sudahlah, kami perpanjang saja kemunculannya menjadi beberapa episode.

Salah satu plot yang menjadi favorit saya dalam serial "Para Pencari Tuhan" adalah percintaan tokoh Aya dan Azzam. Mereka adalah dua orang yang saling mencintai. Jika mereka berpacaran dengan penuh kasih sayang dan saling pengertian, maka saya akan sangat bosan menulisnya dan mungkin plot mereka hanya bertahan dua-tiga episode saja. Saya harus mendapatkan formula tertentu yang membuat hubungan mereka menjadi unik dan tidak membosankan, khususnya untuk saya sendiri. Apa yang bisa menyatukan mereka? Cinta? Semua orang berpikiran seperti itu dan tidak unik lagi. Hingga suatu saat, tak sengaja saya melihat foto Presiden Cuba, Fidel Castro, di sebuah majalah bekas. Castro adalah musuh bebuyutan para presiden Amerika, begitu pula sebaliknya. Kedua pihak senantiasa bertemu dalam konflik-konflik yang seakan tak berujung. Mereka dipertemukan, bersilaturakhim secara buruk, melalui kebencian, dari jaman ke jaman. Mereka saling serang, saling provokasi, saling benci, dan saling terobsesi. Tak penting lagi siapa yang akan muncul sebagai pemenang, tapi kisah Castro dan para presiden Amerika selalu menarik untuk dinikmati. Lalu, saya teringat pada PR saya tentang plot Aya dan Azzam.

Begitulah … kedua tokoh dalam "Para Pencari Tuhan" ini tampil sebagai dua pecinta yang selalu bertemu untuk saling menyerang, saling menyakiti. Aya dan Azzam dipersatukan bukan oleh cinta, melainkan oleh kebutuhan untuk membenci. Mereka adalah dua pecinta yang berpacaran dengan cara yang aneh. Wawasan agama, kekuatan kepribadian, dan intelektual merekalah yang kemudian membuat hubungan itu menjadi "indah". Sesekali tokoh Aya harus menampar Azzam yang kurang ajar, itu hanyalah alternatif kontak fisik untuk menggantikan adegan berciuman, yang tidak mungkin saya tulis di dalam sinetron-sinetron saya. Level agama dan intelektual yang sama dari kedua tokoh ini membuat mereka seimbang dalam perang dialog. Suatu saat Azzam menang, di saat lain Aya di atas angin. Kalaupun Aya harus membuka rahasia kecil hatinya dengan menangis, dia harus menangis dengan sangat indah. Dia kalah dengan kecantikan yang bertambah. Dalam konsep kreatif saya, tokoh-tokoh pria boleh tunggang-langgang berkubang lumpur porak-poranda dan menjadi sangat jelek, tapi tokoh-tokoh perempuannya harus tetap indah meski terpuruk sama dalamnya.

Menjelang episode-episode terakhir, saya berpikir keras mencarikan cara bagi tokoh Azzam untuk melakukan "pukulan telak" kepada Aya, yang sulit sekali ditaklukkan. Kedua tokoh ini terlanjur kuat dan nyaris sulit saya kendalikan. Jika tokoh Aya dan Azzam tak bisa dikendalikan lagi, maka saya sebagai penulis skenarionya akan tampak sangat tolol. Lewat tengah malam saya pulang kantor dengan tubuh letih dan pikiran kusut. Plot Aya dan Azzam macet dan terancam hambar justru di episode terakhir. Saya tahu, hanya butuh satu dialog kuat untuk mengakhiri plot mereka dengan manis hingga Aya mau mengalah. Tapi, dialog itu sedang jual mahal. Makin dicari, makin ngumpet. Saya jengkel sendiri dan menyandarkan jidat ke kaca jendela taksi dan berpikir iseng. Selama beberapa episode, Aya sudah banyak menangis. "Kalo dikumpulin, mungkin dapet seember. Bisa buat mandi." Saya tersenyum sendiri oleh bersitan dialog itu. Ini lucu, tapi lebih tepat diucapkan oleh tokoh Udin (Hansip). Bukan Azzam. Azzam lebih elegan, lebih berpendidikan, lebih beragama. Jika melihat airmata sebanyak itu, tentunya dia tidak berpikir hanya tentang "mandi". Dia akan berpikir tentang hal lain yang lebih "berarti". Menyiram kembang? Memberi minum anjing kehausan? Berwudlu?
Saya tersentak dan buru-buru menyuruh sopir taksi menghentikan mobil. Dengan perasaan heboh, saya tulis di buku catatan saya dialog terakhir untuk Azzam , yang akan menunjukkan kepada Aya bahwa Azzam sudah melakukan semua yang bisa dilakukan untuk menebus kesalahannya. Tidak layak lagi jika Aya belum mau memaafkan dan melupakan. Maka, dialog itu adalah, "Apalagi yang bisa kulakukan untuk memuaskanmu? Jika syariat membolehkan, akan kupakai airmatamu untuk berwudlu."

Malam itu saya bisa tidur nyenyak dan keesokan harinya selesailah skenario "Para Pencari Tuhan" episode terakhir. Ternyata, belum benar-benar berakhir. Tokoh Bang Jack jadi masalah. Bagaimanapun, Bang Jack adalah tokoh utama. Dialah yang harus mengakhiri serial ini dan saya sudah memutuskan untuk menghindari "a total happy end". Pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan, cerita harus dikembalikan kepada plot utama: Bang Jack dan ketiga muridnya yang mantan narapidana itu: Chelsea, Barong, dan Juki. Maka, Chelsea dijemput oleh utusan mantan istrinya untuk datang dan mendengarkan sebuah keputusan penting. Barong dikabari oleh Linda tentang abangnya yang ditembak polisi. Ia harus pergi menjenguknya ke rumah sakit. Hanya Juki yang berakhir lebih menyenangkan. Dia dipanggil pulang oleh emaknya yang sudah bisa menerimanya. Kepergian ketiga orang ini, bagi Bang Jack, menimbulkan rasa gamang. Ketidakpastian. Akankah mereka kembali setelah menemukan hal yang lebih "berarti" di luar sana? Mana pula seharian tadi mereka ngambek karena Bang Jack, yang sudah dianggap sebagai aba, tak bisa menyediakan hidangan khas lebaran seperti di keluarga normal. Bang Jack tertinggal seorang diri di mushola kecilnya, menata makanan yang sudah seharian tadi diimpikan dan diributkan oleh ketiga muridnya. Lalu lelaki tua itu melangkah ke teras memandang langit malam dan bergumam, "Anak-anak gue pulang nggak, ya?" Deddy Mizwar menambahkan alunan takbir dan membuat ending itu terasa meresap dan syahdu.

It's a wrap! Alhamdulillah ….
Seminggu telah berlalu dari episode terakhir, saya harus mulai menulis sekuel "Para Pencari Tuhan 2". Deg-degan sih, tapi dengan "bismillah" saya harap bisa menyelesaikannya dengan baik. Insya Allah. (WAHYU HS)

Selasa, 14 Desember 2010

SETENGAH HATI

Hai filmmaker mania...

Hari ini saya menemukan artikel bagus karya mas Raya Fahreza yang pas sekali menggambarkan spirit sebagian produser film nasional kita. Silahkan baca, hingga kita bisa mengerti alasan kenapa satu tema/genre film tertentu bisa merajai layar bioskop kita selama bertahun-tahun (!)

Berikut artikelnya:

Alkisah, jagoan kita seorang penulis muda menemui Pak Bos, sang produser eksekutif, untuk mengajukan skenario yang selama ini menjadi obsesinya. Bosan menulis genre yang sudah-sudah, kali ini penulis kita membuat yang beda. Ceritanya ia ingin sekali menunjukkan bahwa ia bukan cuma penulis cerita pocong dan kuntilanak. Dan karena Pak Bos ini kemaren sering bilang, “Ayo dong, kita bikin yang beda, yang baru,” penulis kita jadi merasa nggak terlalu muluk untuk mengajukan sebuah psychological thriller tentang makhluk luar angkasa yang mendarat di Jakarta dalam misi untuk menguasai bumi. Ahem. Oke deh.

Fast forward ke kantor sang produser, penulis kita sudah di sana. Karena mood mungkin sedang bersemangat, bos kita manggut-manggut membaca sinopsis yang diajukan.

“Bagus nih, menarik, belum ada kan film kita tema beginian?”

Ah. Tema beginian. Nggak apa, minimal dia lihat bedanya. Penulis kita tersenyum.

“Pastinya belum ada, Pak. Makanya, kan Bapak minta yang beda, nah ini usulan saya, dan kalau Bapak baca, ini sebetulnya genre psychological thriller, saya pingin seperti film David Lyn-...”

Belum selesai penulis kita bicara, Pak Bos sudah memotong lagi.

“Tapi ini mesti di… Apa tuh namanya, localize gitu, Mas. Penonton kita itu belum biasa kan sama tema alien-alien gini.”

Sudah menduga, penulis kita dengan yakin menyambut masukan Pak Bos.

“Setuju sekali, Pak. Saya kepikiran gitu juga, dan sama temen-temen udah riset tentang hal-hal sekitar UFO atau alien di Indonesia, ternyata banyak Pak, cerita-cerita tentang ini.”
“...intinya kan makhluk jadi-jadian lebih dekat sama budaya kita, tapi kan kamu bisa campurin unsur alien-nya di situ.”


Sambil berlanjut cerita, penulis kita menyerahkan kliping hasil print out keren berbagai artikel tentang UFO di Indonesia hasil browsing di internet. Dari artikel berita, blog, foto, sampai diskusi Kaskus lengkap di kliping itu. Cukup meyakinkan. Pak Bos melihat-lihat tiap lembar, ekspresinya tidak terlalu tertarik, manggut-manggut dan akhirnya mengutarakan pendapatnya.

“Ada juga ya rupanya, Mas. Tapi saya rasa mending kita bikin jadi ada hubungannya ke yang tradisional.”

Tradisional. Penulis kita mikir, lalu sambil tetap tersenyum dan percaya diri bertanya. Pembahasan yang sesungguhnya pun dimulai.

“Tradisional gimana pak? Maksudnya jangan terlalu modern?”
“Ya tradisional, kita bawa ke yang udah akrab sama masyarakat, kan banyak cerita makhluk-makhluk serem yang pernah kedengeran.”
“Ngg… Makhluk serem, tapi bukan klenik kan pak?”
“Yah, apalah namanya istilahnya, intinya kan makhluk jadi-jadian lebih dekat sama budaya kita, tapi kan kamu bisa campurin unsur alien-nya di situ”.
“Nggak malah jadinya horor lagi ya, pak? Saya kira kemaren bapak pengen yang beda.”
“Ooooh, nggak, ini tetep beda, saya suka konsepnya, cuma kita mesti bikin untuk pasar.”

Pasar. Mampus.

Penulis tersenyum manyun karena sudah bisa melihat arahnya ke mana. Mending coba cek dulu, seberapa serius pak bos untuk bikin yang beda. Saatnya bertanya soal budget. Pak Bos juga tahu pasti bakal butuh anggaran lebih untuk special efffects dan segala macemnya. Tapi belum sempat nanya, Pak Bos sudah ngomong duluan.

“Dan karena ini gambling banget, saya juga budgetnya nggak mau gede-gede ya.”

Dengan sigap penulis menyambut. Harus cerdik, bandingkan dengan film besar, supaya nggak terkesan mahal.

“Oh nggak kok Pak, nggak lah, jauh dibanding bikin film kolosal tentang sejarah atau perang kemerdekaan. Ini saya perkirakan cukup enam mil-…”

“Saya maunya kita bikin yang 300 ribu penonton udah aman balik modal. Budget sekitar 2 M lah. Jadi nanti nggak usahlah bikin scene-scene gede, terus efek yang simpel aja, yang penting orang tahu – ooh ini filem orang planet.”

Filem orang planet. Belum mau langsung menyerah, penulis kita masih berusaha. Dikit.

“Mmm… Sayang dong, Pak. Masak kayak efek di sinetron Jin dan Jun, he he he…”
“Nggak segitunya lah. Lagian Mas juga ngerti kan. Lihat kondisi perfilman tahun ini, sekarang dapet 300 ribu penonton aja udah sukur. Sementara ini bukan tie pasar, gambling saya makin gede dong, ya jangan mahal-mahal lah produksinya ya.”.
“Oke… Tapi dari sisi genre psychological thrillernya, Bapak oke ya.”.
“Yang penting bikin banyak adegan yang bikin kaget gitu. Juga sexy dikit.”.

Penulis kita tersenyum. Menunduk sebentar, menarik napas, lalu melanjutkan.

“Gimana kalau judulnya Godaan Alien Jadi-jadian.”.
“Cakep.”.

Yak, kita pun kembali dari nol.


Sumber


Hahaha... saya ngakak abis membaca tulisan ini. Boleh dong, kita percaya sama mas Raya  yang udah terjun langsung sebagai praktisi.. Gimana dunia film kita mau maju ya.. :-(

Bagi para filmmaker mania, terus berjuang yuk, untuk masuk ke dunia professional filmmaking Indonesia.
dan buat layar-layar bioskop kita lebih 'berwarna' dengan beragam genre yang menghibur & membangun. Semangat !!!

Kamis, 02 Desember 2010

PADA KEMANA AKTOR-AKTOR LAGA INDONESIA?

Hai filmholic..

Siapa aktor laga (action) dunia yang kalian kenal? Jackie Chan, Jet Lee, Sylvester Stallone, Arnold Schwarzenegger, Dolph Lundgren, Jean Claude Van Damme, Steven Seagal, Bruce Lee, Donnie Yen, dsb. Benar, nggak sampai sedetik pasti nama-nama diatas langsung melintas di benak kalian. Tapi, siapa aktor laga Indonesia yang kalian ketahui? Barry Prima, Advent Bangun, George Rudy,.. terus, siapa ya?
Ya, ternyata memang jauh lebih mudah menyebut nama aktor laga dunia (Hollywood & Hongkong) daripada aktor laga lokal kita. Dan sekedar mengingatkan, 3 nama yang disebut diatas adalah aktor laga lokal era tahun 70an—awal 90an(!). Pada kemana para aktor laga Indonesia di 15 tahun terakhir? Bertapa di padepokan di puncak gunung, atau menunggu bakat istimewa yang belum dilahirkan? J Memang sih, untuk kelas sinetron sempat muncul beberapa nama seperti Dede Yusuf, sang wakil gubernur Jawa Barat sekarang dengan serial Jendela Rumah Kita & Jalan Makin Membara-nya (kalau tak salah ingat judulnya). Ada juga Henri Hendarto dengan Kucing2 Hitam, Willi Dozan dengan Deru Debu, Ari Wibowo dengan Jackie, Marcellino Lefrandt dengan… & Irwan Chandra dengan Buce Li. Hanya itu seingat saya. Itupun hanya beberapa tahun saja, beberapa puluh episode tayang ditelevisi. Tak cukup eksis untuk membuat mereka disebut aktor laga terkemuka. Ari Wibowo & Marcellino Lefrandt yang potensial menjadi the next Barry Prima & Advent Bangun, malah kemudian beralih ke sinetron2 bergenre drama keluarga. Dede Yusuf jadi birokrat, Willi Dozan seolah larut dengan masalah keluarganya, sementara Irwan Chandra sibuk dengan karir modelling & memimpin sebuah kantor perusahaan asuransi.

Hai para pendekar, dimana dedikasi kalian pada kerajaan film & sinetron laga yang pernah membesarkan kalian..!? Masa kalian rela tanah negeri kalian ‘dijajah’ para pendekar tanah seberang seperti Donnie Yen, Jacky Chan, Jason Statham, dll..!?
Sebelum saya kelepasan mencak2 karena fakta yang memprihatinkan ini (maaf, lebay.. :-) ), mungkin ada baiknya sekilas mengingat kejayaan dunia persilatan perfilman Indonesia. Rekan pembaca, Barry Prima, Advent Bangun & George Rudy selama 15an tahun karir mereka, total telah membintangi 50an judul film & beberapa sinetron. Kalau dirata-rata, 3-4 film setahunnya. Berarti pukul rata, sekitar 6 film laga yang diproduksi dalam kurun waktu tahun 1975—1990, mengingat tak selalu 3 aktor itu bermain bersama dalam 1 film. Bayangkan teman, 6 film laga dalam setahun, hebat bukan!? Untuk lebih membuat rekan2 pembaca salut, artikel ini rinci menjelaskannya.
Oh ya, hampir lupa menyebut Saur Sepuh. Film yang diangkat dari serial sandiwara radio terpopuler era 80-an karya Niki Kosasih ini sempat membuat para pemain pendukungnya seperti Fendi Pradana, Candy Satrio & Murti Sari Dewi begitu terkenal. Namun sayang

masa popularitas mereka tak berlangsung lama. Serial drama radio lain yang juga hampir sama fenomenalnya, Misteri Gunung Merapi, juga pernah mempopulerkan nama pemerannya (lagi) yaitu Fendi Pradana dalam versi film & untuk sinetron, Marcellino. Namun lagi-lagi, tak bertahan lama difavoritkan pemirsa.
Nampaknya saya harus memperluas cakupan pembahasan ini menjadi tidak sekedar mengenai aktor yang mayoritas filmnya bergenre laga, tetapi juga aktor yang sering memerankan adegan perkelahian di film2 non laga. Rano Karno, nama yang cukup menonjol di ‘kelas’ ini. Mantan bintang cilik yang menjadi idola remaja dimasa mudanya ini kerap memainkan adegan perkelahian di film2nya, dalam peran yang biasanya menghadapi para pesaing dalam memperjuangkan cinta seorang gadis. Saya ingat dulu saat masih kecil, sangat senang kalau program Film Cerita Akhir Pekan di TVRI menayangkan film-film sang wakil bupati Tangerang ini. Saya bela-belain menontonnya demi aksi berantem-nya itu, tak menghiraukan saran nenek untuk jangan tidur malam-malam :-)

Rumah produksi (PH) PT Diwangkara & PT Genta Buana Paramita sempat konsisten membuat sinetron2 laga semacam Mahabharata, Karmapala, Angling Dharma, dsb. pada awal tahun 2000an & mengorbitkan aktor2 yang piawai beradegan laga. Namun, walaupun sempat disukai pemirsa, saya ragu bahwa banyak pemirsa yang masih hafal nama2 para aktor itu. Tanpa bermaksud merendahkan kualitas sinetron hasil produksi PH2 tersebut, secara obyektif cukup banyak pemirsa yang berpendapat bahwa adegan2 laga yang ditampilkan dalam sinetron2 itu kurang original (terlalu banyak special effect & pergerakan kamera) sehingga kurang memuaskan untuk ditonton. Kurang ditunjang pula oleh penggarapan cerita & skenario yang baik. Mungkin itu salah satu faktor yang membuat para aktor2 laga pendukungnya kurang memorable dalam benak pemirsa.

Merantau, ini dia gebrakan yang ditunggu-tunggu. Sebuah film laga yang ditangani dengan serius, juga melibatkan aktor utama yang asli juara pencak silat nasional, Iko Uwais. Tak heran, film yang disutradarai sineas Inggris Gareth Evans ini begitu sukses menjaring penonton di tahun 2009. Saya sempat berharap, kesuksesan ini segera diikuti oleh film2 sejenis. Tapi, mengapa tidak terbukti?
Rekan-rekan pembaca, mungkin ada baiknya kita coba analisis sedikit tentang alasan dibalik kemunduran produksi film & sinetron bergenre laga dalam 2 dekade terakhir ini, khususnya yang berkualitas baik & disukai pemirsa :

  • Pertama, pasti disebabkan oleh sempat mati surinya dunia perfilman Indonesia pada dekade 90an. Kenyataan yang bisa dibilang sebagai tragedi ini menghantam dunia perfilman nasional secara umum sehingga jumlah produksi film merosot drastis, misalnya dari 115 film di tahun 1990 menjadi hanya 37 di tahun 1993. Munculnya stasiun televisi swasta, kualitas film import (Hollywood & Hongkong) yang semakin baik, maraknya pembajakan yang tak tertanggulangi oleh pemerintah & semakin beredar luasnya peralatan pemutar video rumahan ditengarai menjadi faktor2 utama penyebab malasnya masyarakat kita pergi ke bioskop menonton film nasional. Seharusnya, media televisi yang menampung hijrahnya para filmmaker layar lebar ke sinetron, memberi kesempatan pada para insan berbakat itu untuk membuat tema sinetron yang bervariasi genre-nya, sama seperti film di masa jayanya. Namun terbukti, opera sabun & komedi ringan ala Multivision Plus yang merajalela di masa itu. Sesekali ada sinetron laga, namun tak bertahan lama.
  • Kedua, Lack of Creativity & Courage dari para produser film & penyelenggara televisi swasta. Kurangnya kreatifitas & keberanian untuk menciptakan sesuatu yang berbeda karena takut tidak laku dijual. Mohon maaf, mungkin tajam kritik ini, tapi saya rasa memang begitu keadaannya. Kita lihat saja di televisi, bagaimana acara sejenis reality show, komedi tradisional, atau pencarian bakat dsb. memenuhi layar kaca serempak di hampir semua kanal, di suatu masa tertentu. Di layar lebar, bagaimana kesuksesan genre religius seperti Ayat2 Cinta segera diikuti oleh film2 sejenis. Para insan industri ini mudah larut dalam arus trend, kurang berani membuat sesuatu yang berbeda. Padahal terbukti, siapapun yang berani membuat sesuatu yang berbeda—sepanjang itu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya—hampir selalu menuai sukses besar. Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, Ayat2 Cinta & Merantau contohnya. Si Doel Anak Sekolahan untuk sinetron. Nanti deh, rekan pembaca lihat, sekali ada sinetron laga yang sukses besar, pasti langsung diikuti produksi sejenis.. 
Rekan pembaca, sebenarnya saya pribadi yakin bahwa film laga bisa bertahan, lebih dari genre lain bahkan. Alasannya, karena pemirsa pasti lebih suka nonton film laga di bioskop daripada nonton CD-DVD bajakan di DVD player di rumah. Selain itu, genre yang tak memerlukan konflik yang njlimet atau akting pemain yang luar biasa untuk membuatnya menjadi menarik ini relatif lebih mudah dipasarkan karena bisa dinikmati semua kalangan; dari anak SMP sampai kaum manula, dari para pekerja kerah biru sampai kerah putih. Sepanjang unsur sadistis diminimalisir, namun tanpa mengurangi kehebatan aksi laganya. Apa bisa film laga memuat unsur sadistis yang minimal? Bisa! Justru disitulah tantangan kreativitasnya.

Oleh sebab itu, saya punya saran buat para insan industri perfilman kita:

  • Bagi bapak2/ibu2 para produser, beranilah berinovasi. Mohon, jangan cuma mencari profit (instan?) lewat film2 low budget seperti komedi & horor sex. 
  • Bagi para calon aktor, bekali diri dengan skill bela diri agar siap main di genre laga, 
  • dan bagi the haves (kaum berpunya) agar mau melirik bidang usaha ini dengan mengajak sutradara & PH yang capable untuk memproduksi film laga. Nggak usah yang mahal dulu, buat saja yang semi drama dengan 4-5 pemain laga profesional (susah mendapatkannya?, ada komunitasnya kok di internet). Lalu, sewa aktor2 kita yang sehat & mau dilatih laga selama beberapa minggu sebelum syuting. 
Memang, membuat film/sinetron laga mungkin membutuhkan keribetan lebih dibanding genre lain, tapi ingat bahwa sepanjang dibuat dengan kualitas sekaligus tema yang beragam, penggemar genre ini akan selalu ada. Pernah dengar film2nya Jacky Chan rugi? Ya, kualitas & keragaman tema, itu kuncinya. Toh walaupun butuh skill khusus, ada juga sisi kemudahan dibanding menggarap genre lain: kualitas akting. Bukan saya menyepelekan pentingnya kualitas akting para pemeran, akting bagus selalu HARUS dalam setiap produksi film. Namun maksud saya, tidak harus meng-hire aktor papan atas seperti Acha Septriasa, misalnya. Atau Christine Hakim, Nicholas Saputra, Dian Sastro, dsb. Cukup, misalnya, para pemenang kontes kecantikan atau kebugaran yang berbakat & sedang mencari jalan untuk masuk ke industri hiburan, beri training akting, lalu.. jadi deh, aktor/aktris pembantu dari tokoh utama. Syukur2 kalau sudah memiliki dasar ilmu beladiri. Dengan catatan, aktor pemeran sudah kuat imagenya sebagai aktor laga papan atas.
Ayo, bikin film laga. Masyarakat Indonesia sudah merindukan aksi baku hantam yang khas Indonesia!

Berikut dibawah ini adalah daftar sebagian aktor laga yang pernah sangat populer di negeri kita, minimal aktor yang pernah beberapa kali beradegan laga, berikut sebagian film laga atau ‘bernuansa’ laga yang pernah mereka bintangi.
Aktor laga (berikut film2nya):
§ Ratno Timur : Si Buta dari Gua Hantu, dsb.
§ Dicky Zulkarnaen : Si Pitung van Batavia, dsb.
§ Rano Karno : Gita Cinta dari SMA, Anak2 Malam, dsb.
§ Barry Prima : Menumpas Teroris, 
Pasukan Berani Mati, dsb.
§ Advent Bangun : Rajawali Sakti, Si Buta Lawan Jaka Sembung, dsb.
§ George Rudy : Lebak Membara, Serigala Terakhir, 
dsb.
§ Johan Saimima: Ganesha, Komando Samber Nyawa, dsb.
§ Teddy Purba: Gundala Putra Petir, Jaka Tingkir, dsb.
§ Benny G. Rahardja: Lara Jonggrang, Tutur Tinular, dsb.
§ Fendy Pradana : Saur Sepuh, Misteri Gunung Merapi, dsb.
§ Candy Satrio : Saur Sepuh, Panther, dsb.
§ Dede Yusuf : Jalan Makin Membara, Reinkarnasi, dsb.
§ Henri Hendarto : Jalan Makin Membara, Kucing-Kucing Hitam, dsb.
§ Willi Dozan : Deru Debu(sinetron), dsb.
§ Ari Wibowo : Jacky (sinetron), dsb.
§ Marcellino Lefrand : Jackie, Jaclyn 1 & 2, Deru Debu, 
dsb.
§ Irwan Chandra : Buce Li (sinetron)
§ Roger Danuarta : Preman Kampus, Pengorbanan Anggun, 
dsb.
§ Marcellino : Misteri Gunung Merapi, dsb.
§ Iko Uwais : Merantau, dsb.

§ Yayan Ruhian: Merantau, The Raid, The Raid 2
§ Al Fathir Muchtar & Vino G. Bastian: Serigala Terakhir, dsb.
§ Ayuni Sukarman

Mohon maaf bila banyak yang terlewatkan. Untuk lengkapnya bisa mengunjungi IMDB.com, Wikipedia, kapanlagi.com atau situs2 lainnya.

Terima kasih.. sampai jumpa di artikel berikutnya..

bersambung ke Fajar Baru Film (Laga) Indonesia

Kamis, 25 November 2010

'Mencari Penghidupan' di Industri Televisi & Film Peluang & Tantangan


News-The Russian Government

Baru-baru ini, Chairul Tanjung (CT), pemilik TransCorp yang menaungi stasiun televisi Trans7 dan TransTV membeli Carrefour Indonesia, cabang dari salah satu jaringan swalayan terbesar di dunia (!). Pembelian ini menambah panjang jejak rekam kesuksesan CT di dunia bisnis yang sebelumnya telah memiliki beberapa bisnis besar lain seperti kelompok Bank Mega, Bandung Super Mall, taman hiburan ala Disneyland Trans Studio Resort di Makassar, dan seabreg bisnis lainnya. Bahkan rumor beredar, ia juga sudah membeli stasiun televisi yang jauh lebih tua dari 2 stasiun televisi yang dikelolanya, Indosiar. Entah benar entah tidak rumor tersebut, yang jelas CT adalah salah satu konglomerat paling bersinar di negeri ini dalam 10 tahun terakhir. 
Dalam satu kesempatan CT pernah berujar bahwa salah satu penunjang utama keberhasilannya itu adalah kesuksesan TransTV & Trans7. Perlu anda ketahui, TransTV yang usianya masih kurang dari 1 dasawarsa itu sejak awal berdiri selalu menduduki peringkat 5 besar dari 10 stasiun televisi nasional baik dilihat dari rating & sharing maupun dari perolehan keuntungan. Bahkan mantan direktur utama TransTV Ishadi S.K. mengklaim bahwa kalau dilihat dari keuntungan bersih, bisa jadi TransTV menduduki peringkat pertama. 'Adik' TransTV, Trans7 pun secara perlahan namun pasti tumbuh menyusul 'kakak'nya. Jauh melebihi omzet usahanya yang semula saat dibeli dari grup Kompas Gramedia dan masih bernama TV7. Sebuah hal yang bisa dipahami karena bila sebuah program acara televisi sukses, keuntungan dari iklan bisa belasan sampai puluhan kali lipat dari biaya produksinya.

Raam Punjabi dan 'dinasti'nya adalah nama yang berkibar di produksi film dan sinetron. Sudah sejak lama Parkit Film, Multivision Plus & kini MD Entertainment merajai layar bioskop dan televisi negeri ini dengan produksi-produksi karya mereka. Sebagai hasilnya, Raam masuk dalam daftar orang terkaya negeri ini di peringkat ke 105 pada tahun 2007 menurut majalah Globe Asia. Sederet rumah produksi lain seperti Sinemart, Frame Ritz, dan sebagainya perlahan namun pasti mulai mengekor kesuksesan mereka. Belum lagi Miles Production yang fokus di film, yang hampir selalu membukukan jumlah penonton fantastis untuk karya-karya mereka.

Rekan-rekan pembaca, dengan sedikit penjelasan diatas saya bermaksud menegaskan kepada anda semua bahwa; dunia entertainment di Indonesia sedang tumbuh menjadi industri yang sangat menjanjikan. Menyerap banyak (dan akan semakin banyak) tenaga kerja, dan tentunya diharapkan akan mendistribusikan rupiah secara lebih merata dan melimpah kepada semakin banyak masyarakat Indonesia. Disini saya hanya membahas dunia entertainment sebatas lingkup dunia produksi film dan televisi saja. Tentu bukan berarti bahwa bidang hiburan yang lain tidak prospektif. 
Perhitungan kasarnya begini; di Indonesia ada 11 stasiun televisi nasional. Bila masing-masingnya mengudara selama 20 jam saja selama sehari, maka dalam seminggu akan tersedia 1540 jam tayang. Bila 80% dari itu diisi produksi lokal negeri ini, maka sekitar 1200an jam tayang akan tersedia. Angka ini belum termasuk jam tayang televisi lokal yang, walaupun sampai saat ini belum terlalu menggembirakan perkembangannya, tetap tak bisa dikesampingkan keberadaannya. Belum juga menghitung televisi kabel (televisi berbayar). Juga sistem TV Digital yang akan melipatgandakan jumlah kanal siaran televisi(!). 1200-an jam tayang per minggu di televisi itu tentu perlu diisi dengan karya. Dengan hasil produksi: sinetron, film, kuis, siaran berita, talk show, lawak, feature dan sebagainya. Siapa yang akan memproduksi? Tentu masyarakat Indonesia. Dan itu berarti lowongan pekerjaan yang besar, dan berkelanjutan—karena seiring waktu tentu dibutuhkan regenerasi rutin. Untuk industri film, memang tak sebesar televisi peluangnya. Disamping faktor belum berhasilnya pemerintah tuntas memberantas pembajakan, juga dikarenakan belum optimalnya keberanian dan kreativitas para insan film nasional dalam berkarya J, sehingga berakibat belum mapannya industri ini sebagai lahan penghidupan. Belum lagi faktor terbatasnya jumlah bioskop di negeri ini. Untuk negara dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa, rekor pencapaian jumlah penonton film nasional baru sekitar 3 juta orang, yang berarti baru sekitar 1,5% dari penduduk Indonesia. 

Namun begitu, penulis pribadi percaya bahwa industri film nasional akan semakin bersinar dari waktu ke waktu. Insan-insan film yang muda dan idealis seperti Mira Lesmana, Riri Riza, Nia DiNata, Hanung Bramantyo, Rudi Soedjarwo dll., juga insan film 'lawas' seperti Deddy Mizwar dan Chaerul Umam seolah telah menyadarkan para pemilik modal bahwa jutaan penonton dapat ditarik ke gedung-gedung bioskop oleh film-film nasional. Dan ini berarti juga, lowongan untuk berkarya bagi kita anak bangsa.

Rekan-rekan pembaca, berbagai cara bisa dilakukan bagi anda yang tertarik untuk masuk dan menjadikan industri film dan atau televisi sebagai tempat untuk menggantungkan hidup. Bisa dengan bekerja pada stasiun televisi atau rumah produksi (PH), bisa dengan mendirikan PH sendiri. Bila memilih menjadi karyawan, bisa dari jalur Fresh Graduate
program bagi anda lulusan pendidikan tinggi dari semua jurusan, atau jalur profesional bagi anda yang sudah memiliki pengalaman. Juga ada jalur reguler, biasanya bagi anda yang baru lulus kuliah namun berasal dari jurusan yang sesuai dengan industri ini seperti jurusan Broadcasting atau sejenisnya. Lebih bagus lagi bila anda sudah membuat beberapa karya pribadi sebagai portofolio, yang bisa anda tunjukkan kepada perusahaan. Ratusan macam ragam profesi pun bisa anda pilih. Dari pekerjaan kerah putih seperti staf kantor, produser, creative, dsb., semi white-semi blue collar job (maaf kalau persepsi & istilah penulis kurang tepat J ) seperti kamerawan, editor, penata lampu dsb., sampai pekerjaan kerah biru seperti sopir, office boy, cleaning service, ada semua di industri ini. 
Bagaimana dengan imbalan? Juga dengan sistem kerja di industri film dan televisi? Saudara, satu hal yang harus saya sampaikan kepada anda adalah; berhati-hatilah. Ada jenis pekerjaan yang menghasilkan remunerasi yang baik, bahkan sangat baik. Namun ada juga yang berujung pada gaji yang 'biasa saja'/standar, kemungkinan peningkatan gaji yang terbatas, hingga pengangkatan sebagai karyawan tetap yang tak kunjung terjadi. Semua ini tergantung di perusahaan mana anda bekerja, jalur apa yang anda gunakan untuk masuk sebagai karyawan, pada divisi apa anda bekerja, dan tentunya seberapa total anda mengerahkan daya upaya dan kreativitas anda. Gambaran singkat saja untuk di industri televisi (bisa berubah setiap saat, anda harus terus memperluas wawasan), untuk TransTV & Trans 7 dikenal sebagai perusahaan yang sangat selektif memilih karyawan, namun relatif mudah untuk diangkat sebagai karyawan tetap. Beberapa stasiun televisi yang lain cukup selektif menyaring karyawan, namun suka 'menggantung' karyawan pada status karyawan tidak tetap—kendati kabarnya imbalan yang mereka berikan lebih besar ketimbang yang diberikan TransTV dan Trans7. 
Untuk jalur Fresh Graduate Program biasanya relatif lebih mudah untuk diangkat sebagai karyawan tetap dibanding sesama karyawan lulusan baru yang masuk lewat program reguler. Sedangkan untuk divisi yang secara umum memberikan imbalan besar dibanding divisi lain adalah divisi Produksi dan divisi Berita (News). Bila anda di kedua divisi tersebut dan mengembangkan sebuah program acara yang berhasil mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat, biasanya anda akan mendapat bonus. 

Untuk di PH sinetron dan/film tentu sangat tergantung pada kesuksesan karya produksi mereka. Ada yang mengangkat karyawan tetap, namun juga ada yang mempekerjakan karyawan secara sistem freelance/pekerja lepas/pekerja borongan sesuai proyek. Ada yang memberlakukan sistem semacam 'beli-putus', artinya untuk suatu proyek diberi anggaran tertentu tanpa peduli kesuksesan produksi mereka nantinya. Namun ada juga yang memberikan bonus bila karya mereka laris manis di pasaran. Untuk masuk ke sebuah PH gampang-gampang susah. Pengalaman saya sendiri, pernah begitu lulus kuliah dulu saya mengirimkan lamaran untuk puluhan PH selama bertahun-tahun, namun hanya 1-2 yang dipanggil untuk diwawancara (!). Ternyata saya baru tahu alasannya setelah mengobrol dengan seseorang yang pernah bekerja di PH, juga dari pengalaman magang di sebuah PH yang lain; setidaknya ada 2 alasan. Pertama, biasanya seorang sutradara atau pimpro sebuah proyek pembuatan sinetron sudah mempunyai tim mereka sendiri. Jadi PH cuma tahu beres. Sepertinya PH hanya merekrut karyawan tetap untuk level manajemen atas dan staf kantor saja. Kedua, PH biasanya lebih suka mendidik karyawan blue collar mereka ketimbang merekrut karyawan lulusan perguruan tinggi atau profesional, kecuali untuk posisi-posisi kunci. Di sebuah PH yang penulis ketahui, ada beberapa orang yang tadinya adalah pengemudi (driver) atau office boy, beberapa tahun kemudian menjadi kamerawan. Penulis menduga, kemungkinan besar alasannya karena cara seperti itu lebih murah (apa lagi J). Jadi, terserah anda memilih cara yang mana untuk masuk bekerja di PH; apakah berusaha berkenalan dengan sutradara atau orang dalam timnya (semacam nepotisme J), atau berkarir dari posisi blue collar dulu. Bagi anda yang lulusan perguruan tinggi, tentu penulis tidak menyarankan alternatif yang terakhir. 

Cara yang paling 'terhormat' mungkin, semasa kuliah buatlah karya pribadi sebanyak dan sebagus mungkin—bisa film dokumenter, film pendek, iklan, animasi, dsb.—lalu sertakan bersama surat lamaran anda. Syukur bila karya anda itu berhasil memenangkan penghargaan di festival-festival yang kini marak digelar, itu akan menaikkan nilai anda di mata PH yang anda lamar.
Kalau anda ingin berkarir di bidang produksi film namun takut akan prospek masa depan dikarenakan sistem kerja PH dan kondisi dunia film yang belum sepenuhnya pulih, sangat baik bila anda melakukan introspeksi diri terlebih dahulu; apakah niat anda cukup kuat disini? Bila ya, majulah terus dan jadikan segala kondisi itu sebagai tantangan yang harus dimenangkan. Justru ini kesempatan, bisakah kita mengubah film menjadi ladang penghidupan yang membawa kemakmuran? Namun bila niat anda tidak cukup kuat, jangan coba-coba. Bidang ini memerlukan kerja keras dan kemauan kuat, dan itu akan jauh lebih mudah bila anda menyukainya.

Rekan-rekan pembaca, sekelumit penjelasan diatas hanyalah gambaran umum yang penulis ketahui. Hanya bermaksud membagi sedikit informasi kepada rekan semua. Semoga bermanfaat. Singkat kata, do the best dalam apapun yang anda lakukan, dan waspadalah karena kendati sedang 'bersinar' dan nampak glamour, apa yang tampak dari luar di industri produksi film dan televisi tidaklah selalu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Carilah informasi sebanyak mungkin tentang perusahaan yang hendak anda lamar. 

Oke, sampai jumpa di artikel berikutnya… Thanks for reading 🙏😊 

Jakarta, Selasa 20 April 2010.

Jakarta Miliki Gedung Teater Bertaraf Internasional

Beritajakarta.id

Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), resmi dibuka pada Sabtu malam pekan lalu. "Keberadaan gedung teater ini diharapkan dapat mengembalikan kharisma TIM dan Jakarta dalam peta budaya dunia," ujar Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo saat meresmikan pembukaan.

Gedung Teater Jakarta memiliki dua ruang pertunjukan, yaitu teater besar dan teater kecil. Bangunan gedung teater bergaya modern itu memiliki fasilitas bertaraf internasional. Pada panggung pertunjukan teater besar dilengkapi mesin hidrolik untuk efek pertunjukan. Lalu, efek visual dan sound yang modern melengkapi keberadaan dua ruang pertunjukan tersebut.

Selain itu, di belakang panggung dilengkapi dengan 10 ruang ganti artis dengan toilet, wardrobe, dan make up station, yang mampu menampung 10 orang sekaligus. Gedung juga dilengkapi dengan fasilitas khusus penderita cacat dengan adanya akses dan toilet khusus.

tamanismailmarzuki.jakarta.go.id
Kapasitas penonton di ruang teater besar mencapai 1.200 kursi. Jauh lebih besar dari kapasitas Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) yang hanya bisa menampung sebanyak 500 pengunjung. Sedangkan teater kecil bisa menampung 200 hingga 300 penonton. Kedua ruang pertunjukan itu dilengkapi dengan kursi mewah yang tertata membentuk anak tangga di depan panggung dan balkon.

tamanismailmarzuki.jakarta.go.id

Acara peresmian itu ditandai dengan pergelaran tari kontemporer Langkah, Bumi, dan Matahari yang bertempat di teater besar. Karya sutradara Tom Ibnur ini bercerita tentang kumpulan sketsa kehidupan manusia dan alam. Penampil khusus pada pergelaran itu, antara lain Wiwiek Sipala, Putu Wijaya, Ubiet, Maya Hasan, Gambang Kromong, dan penyanyi pop Titi DJ. Sebelumnya, terdapat beberapa pertunjukan musik perkusi dan instalasi menarik yang digelar di depan gedung tersebut.

Sastrawan Putu Wijaya menyatakan dunia seni Indonesia butuh pihak yang memiliki komitmen untuk menjual pertunjukan. Tak hanya mencari profit, tapi juga manajemen kesenian yang baik. Ia khawatir dengan banyaknya gedung pertunjukan dengan fasilitas memadai itu tidak menyerap jumlah penonton yang signifikan. "Tentu pertunjukan berkualitas bisa terus ada, tetapi kalau apresiasi penonton kurang, akan sama saja," ujar Putu seusai pembukaan. ISMI WAHID



sumber: Koran Tempo & www.jakarta.go.id

Selasa, 23 November 2010

Dibalik layar pembuatan film, bersama editor Walter Murch.

imdb.com

Dalam dunia pembuatan film, aktor dan sutradara mendominasi sorotan media. Namun demikian, sebenarnya banyak profesi lain yang tak kalah penting artinya dalam menghasilkan sebuah karya film, seperti misalnya DOP (Director of Photography), Production Designer, Editor dll. Saat ini saya ingin menampilkan salah seorang Editor film terbaik yang dimiliki Hollywood, Walter Murch.
Murch telah memenangkan tiga piala Oscar. Dia telah dinominasikan dalam kategori tata suara dan atau pengeditan sebanyak 8 kali. Film2nya meliputi Apocalypse Now, trilogi Godfather, The English Patient, The Unbearable Lightness of Being, Ghost, The Talented Mr Ripley, Jarhead & Cold Mountain.
Murch adalah seseorang dengan banyak minat. Dia mencipta karya musik, menerjemahkan puisi Itali disela-sela waktu senggangnya, & jika kita berbicara cukup lama dengannya, kemungkinan kita akan sering mendengar kutipan filsuf Perancis darinya. Tetapi definisi tentang apa yang dia lakukan adalah sederhana:
"Pekerjaan saya sebagai editor adalah untuk secara lembut mengarahkan perhatian penonton untuk melihat berbagai bagian dari frame," katanya.
imdb.com

"Dan aku melakukannya dengan memanipulasi, oleh bagaimana dan dimana saya memotong gambar kerja saya."

Suara sama pentingnya untuk bekerja Murch. Itu adalah "sebuah pengaruh yang besar pada perhatian orang," katanya.

Untuk mendemonstrasikannya, Murch berpaling ke komputernya, klik mouse beberapa kali dan langsung menarik sebuah adegan dari Jarhead. Jarhead, dibuat berdasarkan buku laris tentang kisah mantan anggota marinir Amerika Anthony Swofford, tentang perang gurun Persia. Karakter Swofford's, diperankan oleh Jake Gyllenhaal, yang maju kedalam pertempuran untuk pertama kalinya dimana terjadi sebuah serangan artileri. Semua orang mencari perlindungan, tapi ia berdiri. Kamera bergerak lebih dekat kepadanya. Kemudian di kejauhan, ada ledakan teredam diikuti oleh keheningan mati.

Keheningan ini sekilas merupakan momen emas bagi seorang editor - kesempatan untuk menempatkan penonton di sana, di medan perang. Sutradara film ini, Sam Mendes, awalnya ingin agar keheningan itu dibiarkan selama beberapa detik. Tapi Murch datang dengan ide yang lebih baik.

Potongan dari debu & pasir dari ledakan menerpa wajah aktor dalam gerakan lambat. Kemudian Anda mendengar suara dari partikel2 itu saat menerpa wajahnya. "Pertempuran saya telah dimulai," kata si karakter.

Murch mengatakan suara terkecil dapat membantu menciptakan rasa hening di film. "Dengan memanipulasi apa yang Anda dengar dan bagaimana Anda mendengar itu - dan hal-hal lain yang tidak anda dengar - Anda tidak hanya dapat membantu bercerita, Anda dapat membantu penonton masuk ke dalam pikiran karakter," kata Murch.

Ironisnya, Murch memulai proses editing dalam suasana hening (suara dimatikan).

"Kalau saya mendengar suara, itu akan cenderung untuk menyita semua perhatian saya ..." katanya. "Ini akan memancing kemungkinan munculnya suara lain Dan hanya setelah adegan telah menemukan bentuknya, maka aku menyalakan speaker dan membiarkan suara masuk Dan sering akan ada dua suara yang datang bersama-sama, dua baris dialog. dan saya akan berpikir, itu adalah sesuatu yang bagus, bahwa itu terjadi secara tidak sengaja. "

Proses editing adalah pekerjaan yang sebenarnya membosankan - melihat rekaman dengan durasi berjam-jam, kemudian merakitnya menjadi sebuah kesatuan. "Saya suka berpikir ini adalah semacam persilangan antara juru masak yang memasak hidangan berdurasi singkat (short-order cook) & seorang ahli bedah otak," kata Murch. "Kadang-kadang Anda melakukan hal-hal yang sangat halus. Dua frame yang berbeda akan berarti apakah film ini sukses atau tidak. ..."

Walter Murch mempunyai beberapa cara bekerja hingga orang2 menganggapnya unik. Selain tanpa suara di awal pengeditan seperti diatas, Murch suka bekerja sambil berdiri. “seperti dokter bedah yang sedang mengoperasi”, katanya. Deretan frame ia cetak & tempel didinding ruang kerjanya, untuk memudahkannya menentukan frame mana yang akan ia tempatkan sesudah frame yang sudah ia tempatkan di timeline software editing.


Penulisan ulang & terjemahan bebas dari karya Michele Norris & Steve Lickteig.

Senin, 08 November 2010

3 FILM MAHAKARYA


Halo friends..

Di hari yang indah ini saya ingin sekedar berbagi mengenai film-film yang ‘menyentuh’ saya. Sebagai movie freak, sesungguhnya cukup banyak film favorit saya. Dari bermacam genre. Namun, 3 film berikut saya rasa mempunyai pesan moral luar biasa yang membuatnya unggul diatas kebanyakan film lain. Menonton film ini, semakin yakin diri saya bahwa film memang bisa menjadi media yang ampuh untuk menyuarakan ide-ide kemanusiaan, & bahkan mendorong siapapun untuk membuat perubahan yang nyata.
The Pursuit of Happyness, 3 Idiots & My name is Khan. Itulah karya-karya besar terfavorit saya.

The Pursuit of Happyness, mengisahkan perjuangan seorang lelaki bernama Chris Gardner (Will Smith) dalam mengangkat kehidupannya & keluarganya dari lembah kemiskinan. Alkisah Chris yang memiliki seorang istri & anak kecil adalah seorang pekerja kelas bawah San Fransisco yang setiap hari harus berkutat dengan penghasilan minim yang tak cukup untuk menghidupi keluarganya. Sang istri yang membantunya mencari nafkah lambat laun bosan dengan segala keterbatasan yang dialami, hingga memutuskan untuk meninggalkan suami & putranya untuk mengadu nasib ke kota lain. Sejak itu, mulailah perjuangan Chris yang semakin berat. Mulai dari diusir dari apartemennya karena tak mampu membayar sewa, berpeluh menjajakan alat-alat kesehatan ke seantero kota, setiap hari berpacu dengan waktu agar mendapat tempat istirahat di ruang penampungan, dsb. Pembaca, cobalah untuk menghayati perasaan Chris saat terpaksa harus tidur di toilet stasiun kereta api bersama putra kecilnya, saat menyaksikan kesialan demi kesialan Chris dalam bekerja, saat hanya berpakaian seadanya saat menghadiri wawancara kerja gara-gara harus tidur di sel kepolisian malam sebelumnya, dst.

Saya jamin, air mata anda akan menetes haru. Akan terkesan anda dengan keteguhan hati seorang Chris yang hampir selalu bisa mengendalikan dirinya menghadapi masalah demi masalah yang datang bertubi-tubi. Dan akhirnya, di akhir film ini pasti rasa haru anda akan semakin membuncah menyaksikan ekspresi Chris yang kesulitan menahan gejolak emosinya tatkala akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaan impiannya.

3 idiots. Mengisahkan kisah persahabatan 3 mahasiswa sebuah institut teknik bergengsi di India; Farhan Qureshi, Raju Rastogi & Ranchoddas Chanchad. 2 dari mereka, yaitu Farhan & Raju adalah korban dari mimpi orang tua mereka yang menginginkan anaknya menjadi insinyur, sebuah profesi yang sangat terhormat di India. Padahal, keduanya tak memiliki minat di bidang itu. Jadilah, hari-hari mereka dilalui dengan setengah hati, mengakibatkan nilai-nilai kuliah yang jeblok. Namun sebaliknya, Ranccho adalah pribadi yang cerdas & kreatif. Langganan ia memperoleh juara pertama setiap akhir semester. Dengan banyak cara Rancho membantu teman-temannya mengatasi banyak masalah. Bertiga mereka kompak memusuhi rektor ‘killer’, Viru S. yang kolot. Waktu berlalu, semua itu tak bisa bertahan lama. Akibat sebuah penyusupan yang kurang ajar ke rumah sang rektor (kebetulan Rancho jatuh cinta dengan putri Viru), mereka bertiga terancam di DO. Raju yang menjadi tumpuan keluarganya yang miskin, putus asa & mencoba bunuh diri. Sekuat tenaga 2 rekannya menyelamatkan Raju. Sebuah proses yang berat, yang mengakibatkan keduanya melakukan hal-hal yang membawa pemahaman kepada mereka tentang arti hidup, persahabatan & cinta. Pola flashback menjadikan film ini semakin menarik, terlebih karena penonton diajak untuk mencari keberadaan Rancho yang hilang bak ditelan bumi 10 tahun setelah mereka lulus. Pembaca, bagi anda yang sudah antipati dengan film India karena mungkin merasa jenuh dengan melodrama berlebihan, tontonlah film ini. Pastilah, film ini akan membuat anda sangat terhibur, tertawa, sekaligus terharu & mengubah pandangan stereotip anda akan film-film negara Mahatma Gandhi ini.

Dan akhirnya, My Name Is Khan. Film yang menuai kesuksesan komersial luar biasa ini, memang benar sangat layak untuk ditonton & dikoleksi. Mengisahkan perjalanan seorang penderita autis bernama Rizwan Khan dalam menemui presiden Amerika, demi menenangkan hati istrinya tercinta yang sedang terguncang akibat meninggalnya anak mereka satu-satunya. Alkisah Rizwan Khan semula hidup bahagia bersama istri & anak tirinya itu di sebuah kota di Amerika. Istrinya yang Hindu dengan ikhlas menerimanya yang seorang muslim & mengidap autis. Namun, peristiwa pengeboman WTC menghancurkan kebahagiaan itu. Warga sekitar sontak menjauhi mereka, seiring rasa antipati mereka terhadap semua hal yang berbau Islam. Puncaknya, penganiayaan yang diterima oleh sang anak. Mandira sang istri shock berat, & menyesali keputusannya dulu menikahi seorang muslim. Perjalanan yang dilakukan Khan meneguhkan dirinya sebagai seorang muslim sejati yang anti kekerasan. Khan menebar benih kebaikan di diri setiap orang disetiap tempat yang disinggahinya, membuatnya menjadi sumber inspirasi seluruh negeri. Pemirsa, sebuah cerita yang brilian. Salah satu hal yang mengagumkan saya adalah, kepandaian pembuat film ini dalam menampilkan pesan perdamaian & cinta kasih dalam semua agama. Kata ibu Khan; hanya ada 2 jenis manusia di dunia ini, yaitu manusia baik & manusia jahat.

Pembaca, menurut penilaian saya belum ada film Indonesia yang menyemai ‘derajat’ ketiga masterpiece ini :-(. Padahal menurut saya, para filmmaker kita pasti bisa asalkan menaruh perhatian mendalam pada hal-hal krusial dalam hidup seperti moralitas & agama seperti yang dilakukan para begawan film Hollywood & India diatas. Mungkinkah ini cerminan masyarakat kita yang dari ke hari semakin larut dengan formalitas agama yang seringkali semu tanpa pemahaman & pengamalan yang sungguh-sungguh dari kitab suci? Entahlah. Semoga tidak.

Diatas telah saya katakan bahwa film bisa membuat perubahan yang nyata ke arah perbaikan hidup. Mungkin sebagian teman beranggapan pendapat ini berlebihan, namun pengalaman menonton ini memang sesuatu yang subyektif sifatnya. Jadi, terserah apa pun pendapat anda. Saya pribadi beranggapan itu benar adanya. Alasannya adalah, karena saya mengalaminya sendiri. Sehabis menonton 3 film diatas, saya makin termotivasi untuk menjalani hidup dengan ‘benar’ & untuk kelak membuat film-film sejenis :-). Mohon maaf, mungkin terdengar sok ya. Saya tidak bermaksud demikian, tentu. Tapi jujur, menyaksikan perjuangan para tokoh itu dalam menempuh kehidupannya membuat saya seperti tertampar akan segala kebodohan yang telah saya lakukan dalam menyia-nyiakan hidup dimasa lalu. Bahwa hidup itu memang indah, bilamana kita siap berjuang dengan ikhlas & penuh syukur. Pembaca, saya merekomendasikan dengan sangat 3 film diatas untuk anda semua. Jangan pedulikan tahun pembuatan—bagi anda yang new release mania, karena pesan moral yang terkandung disana akan abadi sepanjang waktu.

See you movie lovers..


Sabtu, 06 November 2010

MEMBUAT FILM VIDEO SENDIRI


Hai sobat filmmaker..
Kali ini saya ingin membagi sedikit pengetahuan yang ada pada saya tentang cara membuat film. ‘Cara membuat film’? emang udah pernah bikin film apa aja, trus, berapa yang box office?. Duh, jangan bertanya begitu dulu ya pembaca. Tentu, saya masih amat sangat jauh dibanding Hanung Bramantyo atau Riri Riza yang sudah malang melintang belasan tahun di dunia professional filmmaking. Saya tak lebih hanyalah seorang ‘professional filmmaker wannabe’ yang masih harus bergulat mengatasi rintangan-rintangan menuju cita-cita mulia itu. Maksud saya berbagi disini hanyalah sekedar demi mencari amal, teman, kepuasan batin sekaligus pahala dari Tuhan. Oleh karena itu bila kurang lengkap, silahkan ditambahi. Bila kurang sempurna, silahkan disempurnakan. Toh jelek-jelek begini & belum pernah bikin film bioskop, saya sudah ikut banyak workshop, kursus, sudah nonton ratusan film & 4 tahun kerja jadi editor di sebuah TV swasta nasional (eh, belum layak dibanggain ya? :-( )
Teman-teman, karena banyaknya hal berkaitan dengan tema ini, maka saya akan membaginya kedalam minimal 2 sub tema. Yaitu, membuat film sebagai hobi & membuat film sebagai karir profesional.

Membuat film sebagai hobi (video “rumahan”)
Puluhan tahun kamera foto still menjadi andalan masyarakat untuk merekam momen-momen berharga mereka. Dari yang semula hanya mampu menghasilkan gambar hitam putih, lalu berkembang menjadi dapat menghasilkan gambar berwarna. Dari yang semula menggunakan klise yang harus dicuci-cetak, sampai berkembang menggunakan hard disk sebagai penyimpan gambar. Seiring perkembangan zaman, kamera perekam gambar bergerak (kamera video)pun ditemukan. Sekarang,momen-momen indah bisa diputar kembali dibanding sekedar sebuah gambar diam.
Kamera perekam gambar bergerak sebenarnya ditemukan tak lama sesudah kamera foto, namun popularitasnya di masyarakat kalah jauh dikarenakan kamera video semula jauh lebih mahal harganya dibanding kamera still photo, sehingga tak terjangkau masyarakat luas. Baru sekitar dekade 80-an, kamera video mulai dibuat untuk keperluan home use.
Saat ini, dekade 2000an, kamera video rumahan semakin murah dan mudah didapat di pasaran. Dengan modal hanya 2 jutaan saja, kita sudah bisa mendapatkan kamera video yang cukup untuk sekedar mengabadikan momen-momen keluarga, misalnya. Bahkan perangkat telepon genggam pun sudah sangat umum dilengkapi dengan kamera video.
Seiring makin membudayanya kamera video, timbul kesadaran untuk menggunakan benda itu secara lebih efektif agar dihasilkan kualitas video yang lebih baik. Bila sekedar untuk merekam momen keluarga, misalnya, bagaimana caranya agar video itu dapat menghibur dan membangkitkan kenangan dengan baik bila suatu saat nanti diputar kembali. Sedangkan bila digunakan untuk membuat film, bagaimana agar film itu nantinya dapat dinikmati sebagai serangkaian gambar yang menampilkan cerita secara utuh layaknya film profesional.
Teman-teman pembaca, berikut beberapa tips agar rekaman video enak ditonton:

1. Buatlah cerita yang pendek & sederhana
Tentukan/rencanakan sebelum syuting, peristiwa penting apa & obyek apa yang mau direkam. Jadi, prioritaskan mengambil gambar itu, walaupun bisa jadi akan banyak improvisasi sesuai situasi & kondisi nantinya. Selain itu, jangan pernah merekam sebuah obyek yang sama lebih dari 2 menit, karena akan membosankan. Menggunakan banyak klip video pendek berdurasi 10-20 detik akan lebih efektif.
2. Perhatikan lokasi sekitar
Ambil suasana, gedung atau bangunan alami yang bisa bercerita tentang lokasi anda. Jadi, sesuatu yang khas lokai itu. Contoh bila hendak menggambarkan adegan romantis di Bali, perlihatkan pantai Kuta. Atau bila hendak menggambarkan kesemrawutan Jakarta, ambil gambar kemacetan pada jam kantor & orang-orang yang ramai berjalan.
3. Hindari zoom berlebihan
Banyak orang terpesona dengan fasilitas digital zoom camcorder digital yang sampai ratusan kali (200x, 700x), lalu berlebihan memakainya. Hal ini dapat mengakibatkan kepala pusing saat menyaksikan penggunaan zoom yang membesar & mengecil secara berlebihan & cepat. Jadi, gunakan zoom secukupnya saja, & perlahan.
4. Pergunakan Tripod (kaki tiga penyangga kamera)
Pengambilan gambar yang goyang tentu sangat mengurangi keindahannya. Walaupun hampir semua camcorder sudah dilengkapi image stabilizer, namun sebuah goyangan yang kuat tetap akan mengganggu. Cara mengatasinya, pakailah Tripod. Harga dipasaran cukup bervariasi, dari 200an ribu—jutaan rupiah. Bila tak ada, cobalah untuk bersandar ke sesuatu seperti dinding, atau meletakkan siku ke meja.
5. Pakai mikropon
Setiap camcorder sudah dilengkapi internal mikropon. Namun bila ingin hasil yang lebih baik, pakailah mikropon tambahan. Tancapkan jack dari kabel mikropon ke port in mic di camcorder. Namun, tidak semua camcorder dilengkapi port ini. Untuk menyiasatinya, pakailah perangkat clip on (mikropon tanpa kabel yang ditempelkan di pakaian aktor/pemeran) yang bisa disewa dari rental.
6. Perhatikan pencahayaan
Menyewa lampu untuk syuting tidak mahal. Paling-paling 50an ribu untuk 1 lampu Unomatt atau Red Hat, misalnya. Jadi, gunakan lampu bila memungkinkan. Namun bila terpaksa tidak ada, pakailah lampu camcorder. Tips penting, gunakan pencahayaan dari belakang anda untuk menerangi obyek yang direkam. Untuk rekaman saat matahari terbit, misalnya, pastikan matahari menyinari obyek yang anda rekam, & bukan lensa camcorder anda (karena akan menyilaukan mata pemirsa). Tips lain, mintalah lampu cadangan bila menyewa lampu, karena lampu seperti Unomatt rentan pecah.
7. Ubah sudut pandang
Jangan merekam hanya dari 1 sudut, agar ada variasi gambar. Dekati & bidik dari semua sudut. Bisa dari belakang, atas atau sembarang sudut yang menarik.
8. Hemat baterai
Jangan sampai kehabisaan baterai! Bawa cadangan paling tidak 2 baterai ekstra. Juga charger untuk mengisi ulang baterai bila memungkinkan. Lebih bagus lagi bila membawa juga perlengkapan untuk koneksi kamera ke sumber listrik rumah (PLN), jadi bisa menghemat baterai, bila syuting dekat sumber listrik.
9. Dimulai dari akhir
Trik lain agar rekaman menarik adalah, gunakan akhir cerita untuk memulai rekaman video. Saat membuat video pernikahan, misalnya, anda bisa memulainya dengan mewawancarai pasangan yang sedang berbahagia di pesta pernikahan. Baru kemudian kembali ke saat kapan mereka bertemu, bagaimana menjaga hubungan saat pacaran, dst.
10. Belajar dari film yang ada.
Saat menonton film, biasanya kita menikmati tayangan tanpa memikirkan pikiran sutradara. Coba perhatikan lebih kritis alur, cara merekam, pengambilan sudut, dll. Bisa jadi anda akan kaget melihat begitu banyak yang bisa dipelajari dari film.

Teman-teman pembaca, begitulah artikel singkat ini, semoga berguna. Bila ingin mendapat panduan yang jauh lebih lengkap dalam pembuatan video atau bahkan film, produk2 disamping bisa dicoba. Terima kasih..

Sumber: pengalaman pribadi & tabloid Digital Living.


Selasa, 26 Oktober 2010

Bagaimana menembus persaingan untuk menjadi aktor sukses.

Creech Air Force Base

Jika Anda memiliki mimpi untuk sukses menjadi aktor, dan Anda yakin bahwa Anda memiliki bakat untuk itu, ada cara untuk memulai dalam bisnis yang akan mengurangi risiko kegagalan.Setiap hari orang berangkatdari rumah dengan harapan akan menemukan keberuntungan di layar perak, namun mereka kurang pengalaman, bakat, dan pengetahuan tentang cara untuk mencapai kesuksesan itu.Mereka yang telah melakukan banyak kerja keras dan mendapat pengalaman yang dibutuhkan untuk sukses adalah orang-orang yang paling mungkin berhasil. Mendapatkan pengalaman sebelum Anda ditemukan sebagai bintang masa depan bisa jadi sulit, tetapi jika Anda punya rencana dan Anda tahu di mana untuk memulai, itu bukanlah hal yang mustahil. Berikut ini adalah tips dari Stewart Wrighter, tentang hal-hal yang harus dilakukan untuk menjadi aktor yang berhasil di industri film:

Pertama, terutama jika Anda tinggal di kota besar seperti Jakarta, adalah kontak agensi model terpercaya. Agensi yang baik dapat membantu Anda menampilkan citra yang ingin anda tampilkan, dan mungkin memiliki tips tentang memulai dalam industri. Biasanya, juga jaringan kerja yang luas dengan PH dan stasiun televisi. Banyak model telah sukses dengan foto-foto dan mengubahnya menjadi karir dalam bertindak.
Untuk benar-benar bisa merasakan akting, Anda harus banyak menghabiskan waktu untuk berlatih. Berpartisipasi dalam pertunjukan teater tidak persis sama dengan karya film, tetapi banyak membantu untuk berlatih. Ketika membuat film, Anda bisa mengulang hal-hal yang salah, namun tidak selama pertunjukan live. Bertindak dalam pertunjukan teater memberi Anda kesempatan untuk belajar bagaimana untuk menghafal dialog, memahami interaksi dengan sesama artis, dan mengerti bagaimana latihan dan penyutradaraan lapangan.

Salah satu cara yang paling populer yang banyak dilakukan bintang film sukses dalam memulai karir mereka adalah, terlibat dalam iklan. Banyak aktor terkenal saat ini pernah di iklan, dan banyak dari mereka terus melanjutkannya setelah terkenal. Ini akan membuat wajah anda banyak dikenal pencari bakat dan casting director, sembari menunggu kesempatan bermain di film/sinetron.


Ketika datang ke agen, keberhasilan Anda tergantung pada seberapa agresif agen Anda. Anda menginginkan seseorang yang berpengalaman dan profesional, tapi ingat Anda akan harus bekerja keras untuk bekerja dengan agen terbaik. Biasanya, membayar agen Anda adalah berdasarkan persentase dari penghasilan Anda, jadi ini adalah motivasi bagi mereka untuk bekerja sekeras yang mereka bisa untuk membuat Anda sukses.
Akhirnya, cara terbaik untuk menemukan keberhasilan dalam industri film adalah membuat diri anda seahli dan se’berharga’ mungkin. Aktor yang fleksibel dan yang dapat melakukan lebih dari sekedar terlihat baik pada layar memiliki peluang paling besar. Jika Anda bisa menyanyi, menari, berbicara beberapa bahasa, atau berbicara dengan aksen meyakinkan, pastikan direktur casting mengetahui hal ini. Bila Anda audisi, tunjukkan semua bakat Anda itu dan minta agen Anda mencari peluang di film2/sinetron2 dengan berbagai genre.Fleksibilitas diperlukan untuk membangun sukses di industri film & sinetron.

Dirangkum dari tulisan Stewart Wrighter di Ezine.

Rabu, 20 Oktober 2010

BOLLYWOOD

Potret Kemapanan Industri Hiburan


Hollywood Reporter

Bagi anda penggemar drama televisi atau film, pasti tak asing lagi dengan sinema yang berasal dari negara produsen film terbesar di dunia ini: film India. Beberapa tahun yang lalu malah semua saluran televisi negeri kita ini seolah berebut menayangkan film-film dari “bangsa penari” tersebut. Setiap pagi kita disuguhi kisah-kisah cinta romantis diselingi aksi-aksi laga, berbalut nyanyian-nyanyian merdu mengharu biru dan tarian “rampak” puluhan penari, nonstop selama 3 jam-an. Saat Shahrukh Khan, seorang bintang besar India datang ke Jakarta, luar biasa kehebohan yang dibuat oleh para fansnya. Ya, di samping si raksasa Hollywood yang menguasai dunia hiburan dengan film-film berbujet ekstra besarnya, “pabrik-pabrik” film di India—lazim disebut Bollywod—juga terus tumbuh menghasilkan seribuan judul film per tahun, memikat jutaan penggemarnya di seluruh duinia. Tulisan berikut bermaksud sedikit mengulas kebesaran industri film negeri asal Mahatma Gandhi itu.

Profil Hanung Bramantyo

gemintang.com

Hanung Bramantyo adalah seorang sutradara muda yang termasuk jajaran filmmaker terkemuka negeri ini. Lewat karya-karyanya seperti Brownies, Jomblo, Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Menembus Impian, Get Married 1 & 2 & Sang Pencerah Hanung membuktikan eksistensinya sebagai sutradara yang piawai membesut tema-tema cinta, idealisme, perjuangan hidup bahkan agama secara populer, inspiratif dan mudah dipahami semua kalangan, tanpa terjebak membuat film menjadi terasa ‘berat’ oleh pesan moral.


Berbicara tentang tema film-film Hanung, nampaknya hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh atmosfer religius yang cukup kental di lingkungan tempatnya dibesarkan, yang membentuk pola pikir dan kepedulian Hanung akan berbagai realitas sosial yang perlu dikritik dan diambil inspirasi untuk berubah dari padanya. Sebagai contoh pada film Menembus Impian, Hanung menampilkan tokoh seorang gadis yang berjuang untuk keluar dari kungkungan kemiskinan dan nasib buruk yang mendera keluarganya dengan cara menjadi distributor sebuah perusahaan Multi Level Marketing. Sebuah cara yang pada dunia nyata memang cukup berhasil mengangkat ribuan orang menuju perbaikan taraf hidup, dari kondisi yang terlihat sangat tidak mungkin sekalipun. Dengan penuh cinta pada ibunya yang sakit, tokoh yang diperankan oleh Acha Septriasa itu menghadapi segala tantangan hidup yang berat, yang memang nyata di masyarakat kita. Atau bisa dilihat juga di Sang Pencerah. Film yang mengisahkan tentang Ahmad Dahlan sang pendiri Muhammadiyah itu begitu kental dengan nilai-nilai positif tentang kemanusiaan dan perjuangan menegakkan idealisme, dalam bingkai agama (Islam).

Hanung, kelahiran Yogyakarta 1 Oktober 1975, mulai banyak dikenal publik setelah terlibat dalam pembuatan serial “Anak Seribu Pulau” bersama yayasan SET pimpinan Garin Nugroho. Selain karya-karya yang telah disebutkan diatas, “anak emas” almarhum Teguh Karya ini juga telah banyak membuat karya lain, baik sebagai sutradara maupun sekalian menulis skenarionya. Diantaranya:

- Film pendek : Ketika, Surya Menggapai Maharani, Tlutur, Topeng Kekasih, Islam itu apa?dsb.

- Sinetron & FTV : Gelas-Gelas Berdenting, Sahabat Malam, Malam Pertama (8 episode),

Kidung, dsb.

- Doku drama : profil Soekarno, Sutan Syahrir & Jusuf Kalla

Mengenai penghargaan, sudah banyak yang diterima oleh sineas lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini. Satu yang paling terkenal mungkin sebagai Sutradara terbaik pada Festival Film Indonesia 2005 lewat film Brownies.

Hanung menikah dengan aktris Zaskia Addya Mecca, memiliki 2 anak, dan sampai saat ini terus berkarya memproduksi film.

Minggu, 17 Oktober 2010

PROFESIONALITAS KERJA ALA INDUSTRI FILM TELEVISI AMERIKA

Foto diambil pada tgl 9 Maret 2007 di Burbank, California, USA. Di kompleks ini Warner Bros Studios sebelah menyebelah dengan Universal Studios, Walt Disney Studios, & stasiun televisi ABC.


          Dunia pertelevisian di seluruh dunia adalah sebuah dunia yang sangat dinamis. Padat kerja, padat modal, dan padat teknologi. Beragam acara ditampilkan stasiun-stasiun televisi selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu nyaris tanpa henti. Diantara semua acara tersebut, salah satu yang tak pernah absen adalah tayangan sinetron atau serial drama televisi. Tak peduli trend apa yang sedang berlaku atau kejadian seheboh apapun yang sedang terjadi di masyarakat yang menyita jam tayang, serial drama tetap tak pernah absen mengisi layar kaca. Selain karena lumayan efektif dalam mengisi slot waktu siaran disebabkan durasinya yang cukup panjang, tayangan jenis ini begitu digemari masyarakat pemirsa. Sejujurnya, salah satu andalan stasiun televisi untuk‘mengikat’ pemirsa secara emosional agar tetap menonton setiap hari, karena jalinan cerita drama yang umumnya bersambung.
Waktu 24 jam sehari, setiap hari, jelas membutuhkan pasokan acara yang kontinyu/berkelanjutan. Terlebih karena industri ini banyak berhubungan dengan bidang industri lain seperti periklanan, show-biz, dsb. Untuk itu, kerapihan manajemen adalah sesuatu yang mutlak dituntut dari semua pihak yang terlibat, baik dari stasiun televisi itu sendiri maupun dari para pemasok acara seperti rumah-rumah produksi pembuat serial drama. Misalnya, sekali saja terjadi missed dalam produksi 1 episode drama—sehingga mungkin menyebabkan penayangan ulang episode sebelumnya—kerugian sudah pasti akan dialami stasiun televisi disebabkan para pemasang iklan yang complaint dan mungkin meminta potongan harga atas penempatan iklan mereka.
        Berbicara mengenai kerapihan manajemen dan kualitas karya, sangat baik kiranya bila kita sedikit mengintip dapur produksi serial TV Amerika yang berkelas dunia. Perusahaan Warner Bros misalnya, produsen serial-serial ternama macam Emergency Room (ER) dan The West Wing. Sejak di gerbang masuk, atmosfer profesionalisme dapat langsung terasa. Para pekerja datang sebelum pukul 8 pagi, dan harus menunjukkan tanda pengenal mereka untuk bisa masuk. Tanpa kecuali. Sesampainya didalam, sudah siap angkutan bus untuk membawa mereka ke tempat kerja. Harap maklum, kompleks studio Warner Bros itu begitu luas, kira-kira seluas kompleks olahraga Senayan, Jakarta Pusat. Didalam kompleks itu berdiri puluhan bangunan besar mirip hanggar, yang diberi nomor urut. Didalam bangunan-bangunan itulah, dibangun set untuk produksi serial-serial TV. Misalnya, ‘hanggar’ 1 untuk produksi serial ER, ‘hanggar’ 2 untuk produksi serial The West Wing, dan seterusnya. Set-set itu berikut segala pernak-pernik perabotannya sangat mirip dengan kondisi aslinya. Misalnya set untuk serial ER, begitu mirip dengan ruangan-ruangan rumah sakit dari kamar operasi, kamar rawat sampai ruang kerja paramedisnya. Begitupun saat masuk set serial The West Wing yang berkisah seputar kehidupan seorang presiden Amerika (diperankan oleh Marthen Sheen), kita akan merasa seolah-olah sedang berada di Gedung Putih.
Serial-serial sukses Amerika bisa bertahan selama bertahun-tahun di televisi. ER bahkan sampai belasan tahun (!) Lebih mengagumkan lagi mengingat bahwa lingkup penjualannya tidak hanya di dalam negeri Amerika—yang tentu mencerminkan kehidupan sehari-hari warga Amerika—tetapi juga ke banyak negeri lain, yang sebagian besar tentu jauh secara budaya dan bahasa Amerika.
Semua hal itu tak mungkin dilakukan tanpa dukungan para pekerja yang profesional. Seperti para pekerja Warner Bros ini, yang bekerja dalam ritme kerja yang teratur 8 jam-an sehari, 5 hari seminggu, dan tentunya dibayar dengan sangat layak. Dibelakang mereka ada organisasi persatuan karyawan yang solid & selalu siap sedia membantu mereka dalam mendapatkan hak-haknya (perlu diketahui bahwa hampir setiap profesi di Amerika telah memiliki Asosiasi/Persatuan profesionalnya masing-masing, yang kuat dan dihargai oleh industri).
Ada lagi indikasi lain profesionalisme industri ini, berupa diselenggarakannya festival tahunan Emmy Award secara rutin, yang memacu setiap pelaku industri televisi untuk bisa menghasilkan karya-karya terbaik mereka.
        Kurang afdol rasanya bila tak membandingkan dengan industri serupa di negeri kita tercinta, walaupun secara umum. Di Indonesia, yang geliat pertumbuhan industri film serialnya—atau yang populer disini sebagai sinetron—sudah terasa sejak 20 tahun yang lalu seiring bermunculannya stasiun televisi swasta, kondisinya bisa dibilang masih jauh dari mapan. Indikasi yang paling kentara mungkin bisa dilihat pada sistem kejar tayang yang masih ‘dianut’ beberapa produsen sinetron kita. Bagaimana demi memenuhi target tayang harian, 1 sinetron durasi 48 menit bisa dikerjakan dalam waktu hanya 3 hari kerja (!) dan naskah skenario bisa tiba-tiba berubah di lapangan karena berbagai alasan, sebagai konsekuensi dari sistem ‘kejar setoran itu’. Sangat mudah ditebak, pastilah sebuah karya seapik dan sebrilian ER dan The West Wing tidak mungkin dikerjakan dengan sistem seperti itu. Indikasi lain yang juga dapat dilihat antara lain adalah:
  • Lenyapnya ajang penghargaan Festival Sinetron Indonesia sejak lama.
  • Nyaris tak adanya tema yang cukup ‘dalam’, kebanyakan hanya berkisar pada konflik keluarga yang tak jauh dari perebutan harta warisan, persaingan cinta dengan saling menyakiti secara fisik, amnesia, dll. Nyaris tak ada tema yang menuntut riset mendalam, yang pada akhirnya bisa memberikan pendidikan/pengetahuan kepada masyarakat. Para produser cenderung bermain aman dengan mengikuti arus pasar, dan malas atau takut dalam membuat terobosan kreatif. Sekedar wawasan, sinema Korea Hotelier adalah contoh yang cukup baik bagaimana memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang sebuah bidang industri (perhotelan), yang bersinergi dengan manis dengan jalan cerita.
  • Jarang sekali serial sinetron yang bertahan lebih dari 3 tahun.
  • Hampir tidak ada kompleks studio yang dirancang dengan baik dengan fasilitas lengkap untuk mengakomodasi keperluan syuting.
  • Kurang optimalnya peran persatuan karyawan televisi dan film. Kiprahnya nyaris tak terdengar dalam memperjuangkan hak para anggotanya. Rata-rata karyawan rumah produksi bekerja dengan sistem kontrak per project, yang tentu tak menjamin penuh hak-hak mereka sebagai pekerja.
        Itulah sekelumit gambaran tentang profesionalisme kerja ala industri film serial televisi Amerika, dengan sedikit perbandingan dengan kondisi serupa di Indonesia. Sebuah gambaran mekanisme kerja yang amat rapi, perwujudan dari dedikasi penuh para manusia yang terlibat didalamnya pada tugas dan tanggung jawabnya, yang berujung pada tingginya kualitas dan penghargaan dunia akan hasil karya mereka. Dan pada akhirnya, uang. Kemakmuran yang didapat.
Sebuah introspeksi seharusnya kita lakukan, meniru bahkan melebihi yang para sineas Hollywood itu lakukan, agar kualitas karya dan kemakmuran yang bisa mereka capai, bisa juga kita rasakan.

* Laporan tentang studio Warner Bros diatas mengutip reportase dari Bre Redana, wartawan Kompas.