Kamis, 25 November 2010

'Mencari Penghidupan' di Industri Televisi & Film Peluang & Tantangan


News-The Russian Government

Baru-baru ini, Chairul Tanjung (CT), pemilik TransCorp yang menaungi stasiun televisi Trans7 dan TransTV membeli Carrefour Indonesia, cabang dari salah satu jaringan swalayan terbesar di dunia (!). Pembelian ini menambah panjang jejak rekam kesuksesan CT di dunia bisnis yang sebelumnya telah memiliki beberapa bisnis besar lain seperti kelompok Bank Mega, Bandung Super Mall, taman hiburan ala Disneyland Trans Studio Resort di Makassar, dan seabreg bisnis lainnya. Bahkan rumor beredar, ia juga sudah membeli stasiun televisi yang jauh lebih tua dari 2 stasiun televisi yang dikelolanya, Indosiar. Entah benar entah tidak rumor tersebut, yang jelas CT adalah salah satu konglomerat paling bersinar di negeri ini dalam 10 tahun terakhir. 
Dalam satu kesempatan CT pernah berujar bahwa salah satu penunjang utama keberhasilannya itu adalah kesuksesan TransTV & Trans7. Perlu anda ketahui, TransTV yang usianya masih kurang dari 1 dasawarsa itu sejak awal berdiri selalu menduduki peringkat 5 besar dari 10 stasiun televisi nasional baik dilihat dari rating & sharing maupun dari perolehan keuntungan. Bahkan mantan direktur utama TransTV Ishadi S.K. mengklaim bahwa kalau dilihat dari keuntungan bersih, bisa jadi TransTV menduduki peringkat pertama. 'Adik' TransTV, Trans7 pun secara perlahan namun pasti tumbuh menyusul 'kakak'nya. Jauh melebihi omzet usahanya yang semula saat dibeli dari grup Kompas Gramedia dan masih bernama TV7. Sebuah hal yang bisa dipahami karena bila sebuah program acara televisi sukses, keuntungan dari iklan bisa belasan sampai puluhan kali lipat dari biaya produksinya.

Raam Punjabi dan 'dinasti'nya adalah nama yang berkibar di produksi film dan sinetron. Sudah sejak lama Parkit Film, Multivision Plus & kini MD Entertainment merajai layar bioskop dan televisi negeri ini dengan produksi-produksi karya mereka. Sebagai hasilnya, Raam masuk dalam daftar orang terkaya negeri ini di peringkat ke 105 pada tahun 2007 menurut majalah Globe Asia. Sederet rumah produksi lain seperti Sinemart, Frame Ritz, dan sebagainya perlahan namun pasti mulai mengekor kesuksesan mereka. Belum lagi Miles Production yang fokus di film, yang hampir selalu membukukan jumlah penonton fantastis untuk karya-karya mereka.

Rekan-rekan pembaca, dengan sedikit penjelasan diatas saya bermaksud menegaskan kepada anda semua bahwa; dunia entertainment di Indonesia sedang tumbuh menjadi industri yang sangat menjanjikan. Menyerap banyak (dan akan semakin banyak) tenaga kerja, dan tentunya diharapkan akan mendistribusikan rupiah secara lebih merata dan melimpah kepada semakin banyak masyarakat Indonesia. Disini saya hanya membahas dunia entertainment sebatas lingkup dunia produksi film dan televisi saja. Tentu bukan berarti bahwa bidang hiburan yang lain tidak prospektif. 
Perhitungan kasarnya begini; di Indonesia ada 11 stasiun televisi nasional. Bila masing-masingnya mengudara selama 20 jam saja selama sehari, maka dalam seminggu akan tersedia 1540 jam tayang. Bila 80% dari itu diisi produksi lokal negeri ini, maka sekitar 1200an jam tayang akan tersedia. Angka ini belum termasuk jam tayang televisi lokal yang, walaupun sampai saat ini belum terlalu menggembirakan perkembangannya, tetap tak bisa dikesampingkan keberadaannya. Belum juga menghitung televisi kabel (televisi berbayar). Juga sistem TV Digital yang akan melipatgandakan jumlah kanal siaran televisi(!). 1200-an jam tayang per minggu di televisi itu tentu perlu diisi dengan karya. Dengan hasil produksi: sinetron, film, kuis, siaran berita, talk show, lawak, feature dan sebagainya. Siapa yang akan memproduksi? Tentu masyarakat Indonesia. Dan itu berarti lowongan pekerjaan yang besar, dan berkelanjutan—karena seiring waktu tentu dibutuhkan regenerasi rutin. Untuk industri film, memang tak sebesar televisi peluangnya. Disamping faktor belum berhasilnya pemerintah tuntas memberantas pembajakan, juga dikarenakan belum optimalnya keberanian dan kreativitas para insan film nasional dalam berkarya J, sehingga berakibat belum mapannya industri ini sebagai lahan penghidupan. Belum lagi faktor terbatasnya jumlah bioskop di negeri ini. Untuk negara dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa, rekor pencapaian jumlah penonton film nasional baru sekitar 3 juta orang, yang berarti baru sekitar 1,5% dari penduduk Indonesia. 

Namun begitu, penulis pribadi percaya bahwa industri film nasional akan semakin bersinar dari waktu ke waktu. Insan-insan film yang muda dan idealis seperti Mira Lesmana, Riri Riza, Nia DiNata, Hanung Bramantyo, Rudi Soedjarwo dll., juga insan film 'lawas' seperti Deddy Mizwar dan Chaerul Umam seolah telah menyadarkan para pemilik modal bahwa jutaan penonton dapat ditarik ke gedung-gedung bioskop oleh film-film nasional. Dan ini berarti juga, lowongan untuk berkarya bagi kita anak bangsa.

Rekan-rekan pembaca, berbagai cara bisa dilakukan bagi anda yang tertarik untuk masuk dan menjadikan industri film dan atau televisi sebagai tempat untuk menggantungkan hidup. Bisa dengan bekerja pada stasiun televisi atau rumah produksi (PH), bisa dengan mendirikan PH sendiri. Bila memilih menjadi karyawan, bisa dari jalur Fresh Graduate
program bagi anda lulusan pendidikan tinggi dari semua jurusan, atau jalur profesional bagi anda yang sudah memiliki pengalaman. Juga ada jalur reguler, biasanya bagi anda yang baru lulus kuliah namun berasal dari jurusan yang sesuai dengan industri ini seperti jurusan Broadcasting atau sejenisnya. Lebih bagus lagi bila anda sudah membuat beberapa karya pribadi sebagai portofolio, yang bisa anda tunjukkan kepada perusahaan. Ratusan macam ragam profesi pun bisa anda pilih. Dari pekerjaan kerah putih seperti staf kantor, produser, creative, dsb., semi white-semi blue collar job (maaf kalau persepsi & istilah penulis kurang tepat J ) seperti kamerawan, editor, penata lampu dsb., sampai pekerjaan kerah biru seperti sopir, office boy, cleaning service, ada semua di industri ini. 
Bagaimana dengan imbalan? Juga dengan sistem kerja di industri film dan televisi? Saudara, satu hal yang harus saya sampaikan kepada anda adalah; berhati-hatilah. Ada jenis pekerjaan yang menghasilkan remunerasi yang baik, bahkan sangat baik. Namun ada juga yang berujung pada gaji yang 'biasa saja'/standar, kemungkinan peningkatan gaji yang terbatas, hingga pengangkatan sebagai karyawan tetap yang tak kunjung terjadi. Semua ini tergantung di perusahaan mana anda bekerja, jalur apa yang anda gunakan untuk masuk sebagai karyawan, pada divisi apa anda bekerja, dan tentunya seberapa total anda mengerahkan daya upaya dan kreativitas anda. Gambaran singkat saja untuk di industri televisi (bisa berubah setiap saat, anda harus terus memperluas wawasan), untuk TransTV & Trans 7 dikenal sebagai perusahaan yang sangat selektif memilih karyawan, namun relatif mudah untuk diangkat sebagai karyawan tetap. Beberapa stasiun televisi yang lain cukup selektif menyaring karyawan, namun suka 'menggantung' karyawan pada status karyawan tidak tetap—kendati kabarnya imbalan yang mereka berikan lebih besar ketimbang yang diberikan TransTV dan Trans7. 
Untuk jalur Fresh Graduate Program biasanya relatif lebih mudah untuk diangkat sebagai karyawan tetap dibanding sesama karyawan lulusan baru yang masuk lewat program reguler. Sedangkan untuk divisi yang secara umum memberikan imbalan besar dibanding divisi lain adalah divisi Produksi dan divisi Berita (News). Bila anda di kedua divisi tersebut dan mengembangkan sebuah program acara yang berhasil mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat, biasanya anda akan mendapat bonus. 

Untuk di PH sinetron dan/film tentu sangat tergantung pada kesuksesan karya produksi mereka. Ada yang mengangkat karyawan tetap, namun juga ada yang mempekerjakan karyawan secara sistem freelance/pekerja lepas/pekerja borongan sesuai proyek. Ada yang memberlakukan sistem semacam 'beli-putus', artinya untuk suatu proyek diberi anggaran tertentu tanpa peduli kesuksesan produksi mereka nantinya. Namun ada juga yang memberikan bonus bila karya mereka laris manis di pasaran. Untuk masuk ke sebuah PH gampang-gampang susah. Pengalaman saya sendiri, pernah begitu lulus kuliah dulu saya mengirimkan lamaran untuk puluhan PH selama bertahun-tahun, namun hanya 1-2 yang dipanggil untuk diwawancara (!). Ternyata saya baru tahu alasannya setelah mengobrol dengan seseorang yang pernah bekerja di PH, juga dari pengalaman magang di sebuah PH yang lain; setidaknya ada 2 alasan. Pertama, biasanya seorang sutradara atau pimpro sebuah proyek pembuatan sinetron sudah mempunyai tim mereka sendiri. Jadi PH cuma tahu beres. Sepertinya PH hanya merekrut karyawan tetap untuk level manajemen atas dan staf kantor saja. Kedua, PH biasanya lebih suka mendidik karyawan blue collar mereka ketimbang merekrut karyawan lulusan perguruan tinggi atau profesional, kecuali untuk posisi-posisi kunci. Di sebuah PH yang penulis ketahui, ada beberapa orang yang tadinya adalah pengemudi (driver) atau office boy, beberapa tahun kemudian menjadi kamerawan. Penulis menduga, kemungkinan besar alasannya karena cara seperti itu lebih murah (apa lagi J). Jadi, terserah anda memilih cara yang mana untuk masuk bekerja di PH; apakah berusaha berkenalan dengan sutradara atau orang dalam timnya (semacam nepotisme J), atau berkarir dari posisi blue collar dulu. Bagi anda yang lulusan perguruan tinggi, tentu penulis tidak menyarankan alternatif yang terakhir. 

Cara yang paling 'terhormat' mungkin, semasa kuliah buatlah karya pribadi sebanyak dan sebagus mungkin—bisa film dokumenter, film pendek, iklan, animasi, dsb.—lalu sertakan bersama surat lamaran anda. Syukur bila karya anda itu berhasil memenangkan penghargaan di festival-festival yang kini marak digelar, itu akan menaikkan nilai anda di mata PH yang anda lamar.
Kalau anda ingin berkarir di bidang produksi film namun takut akan prospek masa depan dikarenakan sistem kerja PH dan kondisi dunia film yang belum sepenuhnya pulih, sangat baik bila anda melakukan introspeksi diri terlebih dahulu; apakah niat anda cukup kuat disini? Bila ya, majulah terus dan jadikan segala kondisi itu sebagai tantangan yang harus dimenangkan. Justru ini kesempatan, bisakah kita mengubah film menjadi ladang penghidupan yang membawa kemakmuran? Namun bila niat anda tidak cukup kuat, jangan coba-coba. Bidang ini memerlukan kerja keras dan kemauan kuat, dan itu akan jauh lebih mudah bila anda menyukainya.

Rekan-rekan pembaca, sekelumit penjelasan diatas hanyalah gambaran umum yang penulis ketahui. Hanya bermaksud membagi sedikit informasi kepada rekan semua. Semoga bermanfaat. Singkat kata, do the best dalam apapun yang anda lakukan, dan waspadalah karena kendati sedang 'bersinar' dan nampak glamour, apa yang tampak dari luar di industri produksi film dan televisi tidaklah selalu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Carilah informasi sebanyak mungkin tentang perusahaan yang hendak anda lamar. 

Oke, sampai jumpa di artikel berikutnya… Thanks for reading 🙏😊 

Jakarta, Selasa 20 April 2010.

0 komentar:

Posting Komentar