Minggu, 30 Juni 2019

Film Pendek Horor 'JAHIL'



Setelah sekian lama vakum dari produksi film pendek karena berbagai kesibukan, kami akhirnya bikin film lagi. Yeay.. alhamdulillah 😊

Bukan film yang bagus, melainkan hanya sekedar film amatir menggunakan kamera Hp dengan bujet 0 rupiah 😋.
Namun begitu, bagi kami film ini berharga.
Kendati kualitasnya sangat pas-pasan, ini penting untuk mendongkrak semangat untuk kembali berkarya, mengejar passion di bidang filmmaking.


Entah akan tercapai atau tidak profesi impian itu. Tapi paling tidak, berekspresi dan mensyukuri bakat & minat karunia Tuhan.
Bukankah berekspresi dan bersyukur itu tak harus menghasilkan karya yang 'wah' secara kualitas, serta tak harus pula sukses di industri?
Kami rasa, 'cukup' dengan berkarya saja, secara rutin dan meningkatkan kualitas secara terus menerus, sudah merupakan upaya untuk bersyukur dan berekspresi.
Membahagiakan diri sendiri, orang lain (walau tak banyak jumlahnya), sekaligus meniti jalan mencapai cita-cita.

So.. selamat menikmati, dan mohon maaf sebelumnya atas kualitas yang pas-pasan.
Kami akan mengembangkan skill secara konsisten dan terus menerus.

Terima kasih sobat pembaca! 😊

Kamis, 16 Mei 2019

PROFESI PENTING DI DUNIA FILM YANG JARANG DIHARGAI


Banyak sebenarnya, profesi di dalam proses pembuatan film yang tidak populer, tetapi sebenarnya sangat penting dan tak sadar dinikmati hasil kerjanya oleh kita penonton. Cara mudah untuk mengetahuinya adalah dengan melihat tulisan credit title di akhir sebuah film. Ada nama-nama profesi seperti grip, key grip, gaffer, focus puller, second unit, greensman, sound designer, dll. Ada bayangan nggak, apa yang mereka kerjakan?
Salah satu sosok yang menggeluti profesi tak terkenal itu adalah Khikmawan Santosa. Seorang sound designer yang baru saja wafat 11 Mei kemarin akibat kecelakaan lalu lintas. Khikmawan adalah salah satu sound designer terbaik negeri ini, dan menjadi langganan meraih piala Citra. Namanya pun mudah kita temukan di poster-poster film nasional. Ya, saking kurang dikenalnya profesi sound engineer, jumlah pemain lokal di profesi ini memang sangat kurang sehingga pemainnya nyaris itu-itu saja.

Kali ini kami coba membahas profesi tersebut; sound designer.
Bagi kalian yang awam pada dunia filmmaking, mungkin beranggapan bahwa merekam suara di film itu simple ya. Cukup dengan memasang mikrofon saat syuting, beres. Faktanya, tidak demikian. Cukup panjang dan rumit jalan untuk menghasilkan suara jernih dan detail yang bisa kita dengarkan dengan nyaman saat menonton film. Suara decit pintu pagar saat digeser, suara langkah kaki di tanah, suara kerumunan dan lalu lalang orang di tempat umum, hingga suara binatang, dsb.. itu semua tidak bisa ditangkap secara detail bersamaan dengan dialog para tokoh. Ya, microfon paling canggih sekalipun belum (dan mungkin nggak akan pernah) mampu menyamai telinga kita dalam menangkap suara sesuai komposisi volumenya dengan tepat. Analoginya, sama seperti kamera yang nggak mampu menyamai mata dalam menangkap gambar/visual. Buktinya, setiap pindah syuting dari indoor ke outdoor atau sebaliknya, kamera harus di white balance dulu.
Jadi, kita harus ekstra bersyukur dikaruniai banyak piranti yang sangat canggih di tubuh kita. 😉

Kembali ke perekaman suara, karena keterbatasan microfon tadi, banyak suara-suara pendukung yang harus direkayasa dengan bermacam cara, menggunakan bermacam benda. Misal suara atmosfir pasar, direkayasa memanfaatkan beberapa orang yang bersuara khas orng-orang di pasar. Ada yang menawarkan dagangan, ada yang ngobrol seputar harga, dsb., yang nantinya oleh sound designer dipadukan dengan suara-suara pendukung yang lain semisal suara bajaj, suara motor, klakson motor, dsb.  
Kasus lain, suara binatang yang sudah punah seperti dinosaurus, misalnya. Bagaimana kita tahu suara asli dinosaurus yang telah punah jutaan tahun lalu itu? Inilah sisi kreatifitas sound designer diuji. Bagaimana ia harus bisa mencari suara yang bisa diyakini penonton sebagai suara seekor dinosaurus. Untuk film Jurassic Park, sound designer Gary Rydstrom menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk ‘berburu’ suara dari berbagai macam binatang. Akhirnya ia memutuskan, menggunakan suara dari kura-kura yang sedang-maaf-kawin, untuk suara Velociraptor (salah satu jenis dinosaurus). Lalu untuk suara si ‘Blue’, dinosaurus setengah jinak hasil training Chris Pratt di Jurassic World: Fallen Kingdom, sound designer Al Nelson mengambil suara dari penguin yang kemudian dinaikkan pitch-nya di studio rekaman. Nggak nyangka kan? Well, itulah hasil kerja hebat dari para perancang suara ahli.


Intinya, profesi sound designer bertanggung jawab untuk menyediakan suara apa pun yang diperlukan untuk melengkapi elemen visual sebuah film. Mereka menambahkan efek suara setelah pembuatan film selama proses pengeditan untuk memberikan film rasa lokasi’ yang khas atau periode yang otentik, atau untuk memberikan suasana tertentu. Mereka bekerja sama dengan production mixer, sound supervisor, editor, dan sutradara untuk menciptakan suara yang tak hanya membuat film lebih menarik, tetapi bisa mencapai tujuan yang ingin disampaikan kepada penonton. Sound designer dapat bekerja dengan sutradara untuk membuat suara di keseluruhan film, atau disewa hanya untuk membuat satu jenis efek saja.

Sound designer dapat dipekerjakan oleh rumah pasca produksi audio, atau bekerja secara freelance di studio audio digital mereka sendiri. Mereka juga cenderung memiliki peralatan rekaman sendiri.

Dibutuhkan keterampilan komunikasi yang baik, bersama dengan imajinasi dan bakat kreatif untuk menghasilkan elemen dan efek suara yang terbaik untuk film. Sound designer harus memiliki pemahaman yang baik tentang akustik, dan pengetahuan ahli tentang rekaman suara dan teknik pengeditan analog dan digital.

Untuk menjadi seorang sound designer yang baik, sangat bagus bila dimulai dengan pendidikan yang tepat. Almarhum Khikmawan Santosa sendiri adalah alumnus FFTV Institut Kesenian Jakarta. Selain IKJ, di Indonesia ada beberapa sekolah film yang bagus. Sebagian diantaranya dapat kalian baca disini.

Rabu, 15 Mei 2019

Fakta-Fakta Keren ALADDIN, Film Disney Terbaru April 2019


 Film Aladdin siap tayang beberapa hari lagi. Yeaay!..

Ya, kabar menyenangkan memang buat kita yang menyukai kisah romantic fantasy klasik dari Timur Tengah ini. Baik yang sudah pernah nonton versi kartunnya yang sukses besar di tahun 1992, maupun yang baru sebatas pernah mendengar atau membacanya dari buku-buku cerita.

Bagi kalian yang belum menonton film kartunnya, kami sarankan nonton dulu deh.
Soalnya, itu adalah film fenomenal pada zamannya, yang pertama kali menggambarkan dengan sangat indah tentang petualangan Aladdin.  
Karya sutradara Ron Clements & John Musker itu sangat kreatif menampilkan karakter-karakternya seperti jin yang kocak dan usil serta bisa merubah diri menjadi bentuk apapun. Para binatang yang bisa berbicara dan bertingkah tak kalah kocaknya. Karpet yang seolah memiliki nyawa, bisa berjalan, menari bahkan mengigil ketakutan, bukan sekedar benda mati yang kaku saat dinaiki. Serta tentunya Aladdin dan putri Jasmine yang mengharu biru dengan kisah petualangan dan percintaan mereka. Diperindah oleh soundtrack ‘A Whole New World’ oleh Brad Kane & Lea Salonga serta Peabo Bryson & Regina Belle, Aladdin sukses menjadi film box office yang legendaris. Salah satu dari fim animasi terlaris pada tahun 1992.

Tetapi, menonton versi kartun itu tentu bukan syarat wajib ya, untuk menyaksikan film versi live action-nya yang dijadwalkan tayang pada 24 Mei 2019 esok. Sebab film terbaru ini adalah sebuah reboot, alias menceritakan kisah dari awal. Sama ceritanya seperti versi kartun, tetapi dengan visi kreatif yang berbeda.
Aladdin 2019 disutradarai Guy Ritchie, menampilkan improvisasi yang fresh, dengan para pemeran utama yang juga fresh seperti Mena Massoud (27 tahun, sebagai Aladdin) dan Naomi Scott (26 tahun, sebagai Jasmine). 



Hal yang membuat film ini semakin layak untuk ditunggu adalah tampilnya aktor senior serba bisa Will Smith sebagai jin biru penghuni lampu. Sebuah penantian yang nampaknya akan terbayar tuntas dan memuaskan, seperti yang telah nampak di trailernya sendiri yang sudah diluncurkan Disney pada 12 Maret 2019 lalu. Will tampil begitu jenaka, kreatif namun sekaligus usil, di trailer yang sukses mendulang view sebanyak 29 juta kali hingga Mei ini. 😲

Untuk lebih mempersiapkan kalian untuk menonton film Aladdin, berikut ini kami rangkumkan beberapa fakta menarik seputar film ini:

Susah Mencari Pemeran Yang Tepat

Aladdin adalah film musikal. Jadi salah satu tantangan utama bagi Disney adalah menemukan aktor yang bisa bernyanyi.
Casting adalah perjuangan besar dan alasan mengapa produksi film ini mengalami beberapa penundaan. Agen casting menjelajahi dunia dan dilaporkan mengadakan audisi yang menyeleksi lebih dari 2000 aktor dan aktris untuk peran Aladdin dan Jasmine.

Mena Massoud, aktor Amerika kelahiran Mesir, akhirnya terpilih memainkan Aladdin. Sedangkan Noami Scott, pemeran Power Ranger pink pada film Power Rangers (2017) yang akan memainkan Jasmine.

Soundtrack dinyanyikan Zayn Malik
Alih-alih dipercaya sebagai pemeran Aladdin, Zayn Malik ditunjuk menjadi penyanyi soundtrack film ini, bersama Zhavia Ward. Sebagaimana kita tahu, Zayn adalah mantan personel boyband One Direction, sementara Zhavia adalah penyanyi yang dikenal publik saat mengikuti reality show kompetisi menyanyi The Four: Battle of Stardom. Soundtrack dimaksud adalah soundtrack film versi 1992, yaitu ‘A Whole New World’ karya Tom Rice dan Alan Menken yang telah ditayangkan di Youtube sejak 9 Mei lalu.

Syuting di Yordania
Syuting Aladdin dilakukan dari September 2017 sampai Januari 2018. Ada beberapa lokasi yang dipilih Disney, antara lain adalah Longcross Studios di Surrey, Inggris, serta lembah eksotis di Yordania bernama Wadi Rum dan Wadi Disi. Di lokasi-lokasi inilah dibangun kota Agrabah, kota tempat Aladdin tinggal yang luasnya sekitar 2x lapangan sepakbola. Proses pembangunannya berlangsung selama 15 minggu. Ahli di belakang itu tidak main-main. Dialah Gemma Jackson, desainer produksi serial Game of Thrones yang memenangkan Emmy Awards atas desainnya.

Menggunakan Properti Yang Detail dan Megah


Kota Agrabah dibangun dengan tingkat detail yang tinggi. Pola desain merujuk pada budaya Marrakesh (sebuah kota di Maroko), diantaranya pada style bangunan, bentuk ukiran, kain dan tekstil, sampai jenis buah dan sayuran.
Begitupun bangunan-bangunan kios-kios pasar, gang-gang sempit, dan atap-atap yang berantakan. Semuanya selain mengacu pada style tradisional kota Marrakesh, juga dirancang untuk mengakomodasi adegan-adegan action para tokoh film, serta dalam adegan musikal "One Jump Ahead" dan "Prince Ali."
Dibangun juga replika unta setinggi 30 kaki (sekitar 9,1 meter) yang terbuat dari bunga. Yaitu 37.000 kepala bunga, dan dibangun di atas kerangka logam dengan roda. Dibutuhkan waktu tiga minggu dan dikerjakan oleh 15 orang untuk membangun properti ini..

Make Up dan Kostum Yang Spektakuler
Untuk film kolosal berlatar budaya tradisional ini, kebayang ya betapa ribet sekaligus betapa harus-mirip-aslinya, segala detail termasuk pakaian dan penampilan para aktor. Semua pakaian dan penampilan merujuk pada budaya Timur Tengah kuno, yang dipelajari dengan seksama oleh tim departemen Wardrobe dan Production Design. Michael Wilkinson sang desainer kostum, sampai membuat 200 kostum berbeda hanya untuk para pemain tambahan.   
Navid Negahban sebagai pemeran karakter Sultan, bahkan memiliki penata rambut sendiri. Beda rambut, beda pula wig, jenggot dan kumis. Untuk yang terakhir ini dipercayakan kepada Christine Blundell, yang merancang semua itu untuk mewujudkan penampilan khas Sultan yang berwibawa. Wig, jenggot, dan kumis tersebut dibuat sesuai dengan warna asli di versi animasi dan memakan waktu selama 45 menit setiap hari untuk memakaikannya ke Navid.
Seperti versi kartunnya, ada beberapa adegan musikal di film Aladdin 2019 ini. Salah satunya adalah adegan musikal yang memutarkan lagu “Prince Ali”, yaitu saat Aladdin masuk Agrabah sbagai seorang pangeran. Tak kurang ada 250 penari dan 200 pemain ekstra yang terlibat. Wow.. luar biasa ya.

Menggunakan Peralatan Canggih
Semua film kolosal pasti tak luput dari penggunaan peralatan canggih dalam proses produksinya. Begitupun Aladdin. Misalnya untuk pembuatan karpet terbang. Visual effects supervisor Chas Jarrett membuat karpet yang dilengkapi platform hidrolik 6-sumbu. Untuk adegan duduk di atas karpet terbang, Mena Massoud dan Naomi Scott harus duduk di atas rig (alat pengebor). Berlatar green-screen, device ini lalu digerakan dengan sentuhan tangan untuk bergerak naik, turun dan menyamping sehingga terlihat benar-benar seperti karpet yang bergerak terbang.

Selain itu, untuk menangkap gambar agar lebih realistik, sempat pula dipasangkan kamera GoPro di pinggang Mena Masood sebagai Aladdin. Dengan gambar dari GoPro ini adegan yang ditangkap akan lebih membawa penonton ke sensasi pacu adrenalin yang tinggi, ikut terbawa pengalaman si Aladdin.

Dalam sebuah adegan parade, dikabarkan digunakan sampai 7 kamera secara bersamaan, untuk menangkap momen sepenuhnya.

Wah.. benar-benar totalitas ya, untuk membawa Aladdin ke ‘kehidupan nyata’. 😊



Senin, 13 Mei 2019

IMAX, Teknologi Yang Membuat Pengalaman Menonton Menjadi Luar Biasa


Salam filmmania..
Pernah menonton film di bioskop IMAX?
Pasti lebih seru ya!
Pengalaman menonton akan jauh lebih berkesan.
Bagi kalian yang belum pernah, harus dicoba. Kalau di Jakarta ada di Gandaria City IMAX dan Kelapa Gading IMAX.
Apalagi untuk film-film kolosal semisal Avengers: Endgame, sangat disarankan untuk menonton di bioskop IMAX, untuk lebih mendapatkan kesan kemegahan yang ditawarkan film itu.

Namun sebelum menonton, ada baiknya kita nambah wawasan lebih dalam seputar IMAX itu. Berikut ini kami coba membahasnya.

IMAX (bahasa Inggris: Image Maximum) adalah sebuah proyeksi film yang memiliki kemampuan menampilkan gambar dengan ukuran dan resolusi yang lebih besar dari film konvensional lainnya. Standar layar IMAX adalah 22 meter lebar dan 16 meter panjang (72,6 x 52,8 kaki), namun bisa lebih besar lagi.
IMAX ini adalah Proyek Standar Perfilman yang dibuat oleh perusahaan Kanada, IMAX Corporation, dan dikembangkan oleh Graeme Ferguson, Roman Kroitor, Robert Kerr, dan William C. Shaw.

Apa perbedaan IMAX dengan bioskop biasa?

1. Ukuran Layar
Seperti telah kami sebut diatas, ukuran layar film bioskop jauh lebih luas dari layar bioskop pada umumnya. Sekitar 6 kali lipatnya. Dengan ukuran segitu besarnya membuat Anda merasa seperti bagian dari film.

gambar kiri: tampilan layar di bioskop biasa. perhatikan gambar yang terpotong di bagian atas dan bawahnya.
gambar tengah: tampilan layar di bioskop IMAX digital
gambar kanan : tampilan layar di bioskop IMAX digital yang mendukung format 70 mm.

2. Format Film
Format film biasa adalah 35 mm atau 70 mm. Sedangkan format film IMAX adalah 15/70 mm. Ini berarti bahwa setiap frame memiliki tinggi 70 mm dan lebar 15 perforasi. Ini juga berarti bahwa ukuran film sekitar 10 kali lebih besar dari film standar 35 mm, memberikan visual dalam kejelasan yang luar biasa.

3. Tata Suara

IMAX memiliki speaker digital 12,1 channel 15.000 watt yang sepenuhnya dipatenkan sepenuhnya dipatenkan dengan respons frekuensi yang lebih luas. Suara yang dihasilkan terdengar lebih kuat, serta lebih jernih. Ibaratnya ‘sebening kristal’. Suara juga seolah mengalir di seantero ruangan, membuat pengalaman menonton menjadi luar biasa berkesan.

4. Teknik Proyeksi
Sebagian besar bioskop IMAX menggunakan mesin sinar laser berdaya tinggi. Tidak seperti lampu xenon yang biasa dipakai di layar bioskop biasa, laser IMAX memiliki proyektor digital 4K kembar untuk menerangi layar IMAX yang besar, sehingga memberikan gambar layar paling tajam, paling terang, paling jelas dan paling jelas yang pernah ada.

5. Tingkat Detail
Sutradara film-film IMAX legendaris MacGillivray Freeman mengklaim bahwa pengalaman audiens yang diciptakan dalam hal pencitraan dalam IMAX jauh detail dari format biasa. Ya, memang terbukti bahwa menonton film IMAX, tingkat kedetailan gambar sungguh luar biasa. Bahkan terkesan, lebih indah dari apa yang kita lihat di dunia nyata.

6. Digital Remastering
Sebagian besar film IMAX melalui proses Digital Re-mastering atau DMR. Apa itu DMR? DMR adalah proses penyempurnaan film asli, dengan memperbaiki kelemahan-kelemahan teknis yang ada padanya. Nah, proses DMR ini menjadikan film asli menjadi film IMAX yang luar biasa dengan gambar dan suara yang disempurnakan untuk menciptakan pengalaman menonton yang sensasional.

Film-film terbaru yang menggunakan teknologi digital IMAX
Teknologi IMAX telah banyak dipakai di dunia perfilman Hollywood, sejak pertama kali digunakan pada tahun 1970 di film Tiger Child. Baik secara keseluruhan maupun sebagian shot-nya.

Sedangkan untuk teknologi IMAX digital, masih belum banyak.
Untuk yang menggunakan teknologi IMAX digital secara parsial atau sebagian, antara lain film-film seperti Transformers: Age of Extinction (2014), Gone with the Bullets (2014), Captain America: Civil War (2016), Sully (2016), Transformers: The Last Knight (2017), The Lion King (2019), 800 (2019), Detective Chinatown 3 (2020)

Sedangkan film Avengers: Infinity War tercatat sebagai film pertama yang di shoot secara penuh menggunakan kamera digital IMAX, dan film berikutnya Avengers: Endgame menjadi yang kedua.





Minggu, 12 Mei 2019

Kamera dan Lensa Di Balik Film Marvel Cinematic Universe


Image via Chuck Zlotnick/Disney/Marvel.

Avengers: Endgame masih hangat gaungnya hingga hari ini. Salah satu film terbaik Marvel, yang banyak dikagumi atas pencapaian kualitas teknis maupun artistiknya. Untuk mencapai kualitas tingkat ‘dewa’ seperti itu tentu dibutuhkan berbagai tools produksi alias peralatan syuting, editing, compositing, dll. yang terbaik pula. Pada artikel kali ini kami akan sedikit membahas seputar jenis kamera dan lensa yang digunakan dalam proses produksi film Avengers: Endgame, serta film-film lain dalam Marvel Cinematic Universe.

Produksi film digital telah membuat pilihan lensa merupakan salah satu keputusan paling penting yang dapat dilakukan seorang sinematografer dalam hal desain visual. Mengingat tren baru-baru ini terhadap produksi film large format dan kamera kelas profesional, pilihan lensa bahkan menjadi semakin penting. Para filmmaker mengatakan bahwa sensor kamera saat ini yang lebih besar, menghasilkan pengalaman menonton yang lebih mendalam bagi pemirsa. Hal ini disebabkan perubahan dalam optik dan geometri lensa yang terus dilakukan para pabrikan lensa, untuk mencakup area tangkapan kamera yang lebih luas, serta menghasilkan isyarat kedalaman dan sudut pandang yang dekat dengan penglihatan manusia.

Untuk mencapai kualitas visual yang tinggi seperti itu di film Avengers: Endgame, DOP (Director of Photography) atau sinematografer Trent Opaloch bersama duo sutradara Anthony dan Joe Russo menjatuhkan pilihan pada lensa Panavision Sphero 65 dan Panatar APO.


Panavision Sphero 65
Sedangkan untuk kamera, pilihan dijatuhkan pada kamera ARRI Alexa 65 IMAX. Sebuah kamera digital 65 mm dengan resolusi 6K.
(sekedar info, kamera berkualitas tinggi ini tak dijual oleh produsennya. Melainkan hanya bisa disewa melalui ARRI Rental Group seharga 12 ribu-16 ribu dolar seminggu, berikut asuransinya senilai setengah juta dolar).  😲


ARRI Rental Group
Semua kamera dan lensa tersebut tak hanya digunakan untuk Avengers: Endgame, tetapi juga untuk film sebelumnya yaitu Avengers: Infinity War. Hal ini disebabkan kedua film tersebut di shoot secara back to back (berurutan, dianggap sebagai produksi 1 film) demi meminimalisir biaya produksi.
Selama masa-masa puncak kesibukan syuting Infinity War, Russo brothers pernah menggunakan hingga 12 kamera ALEXA IMAX, untuk menangkap ensemble/barisan para superhero. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Tetapi, tidak semua film-film superhero dalam MCU menggunakan kamera ARRI Alexa 65 IMAX. Beberapa jenis kamera pernah dipergunakan, tergantung selera masing-masing DOP serta tentunya tantangan khusus yang dihadapi dalam masing-masing film. Berikut ini kamera-kamera yang pernah dipakai dalam film-film MCU, diurut dari yang paling banyak dipakai (1 film bisa memakai lebih dari 1 jenis kamera):
  • ARRI (23 Film)
  • Panavision (8 Film)
  • Phantom (8 Film)
  • RED (7 Film)
  • Canon (7 Film)
  • Photosonics (2 Film)
  • Blackmagic (2 Film)
  • GoPro (2 Film)

Rasanya pemilihan kamera dan lensa diatas adalah pilihan yang sangat tepat, sebab Avengers: Endgame telah terbukti tampil sebagai sebuah karya film yang menakjubkan.



Senin, 29 April 2019

Teknologi CGI dan Proses Pembuatan THANOS


Guys.. udah lihat Avengers:Endgame yang lagi rame di bioskop sekarang?
Atau kalo belum, pasti pernah lihat lah ya film2 blockbuster lain, yang dulu-dulu..
Sungguh mengagumkan ya, menyaksikan kemajuan teknologi animasi. Membuat visualisasi sedemikian indahnya atas apapun, yang dulu cuma ada di alam fantasi manusia.
Robot-robot raksasa yang bisa bergerak dan berbicara layaknya manusia, dinosaurus yang seolah sudah bangkit dari kepunahannya, para superhero yang bisa terbang dengan segala kedigdayaannya, dsb..
Kali ini kami coba sedikit bahas mengenai teknologi CGI atau Computer Generated Imagery.
Makanan apaan sih CGI?
Ya itu, teknologi yang dipakai untuk membuat keajaiban visual itu adalah CGI.
Singkatnya, CGI adalah penerapan grafis komputer dalam pembuatan berbagai bentuk seni visual. Bisa film, video game, iklan, acara televisi dsb.
Seringnya CGI merujuk kepada pembuatan adegan atau efek khusus dalam film atau acara televisi dalam bentuk 3 dimensi, walaupun CGI juga bisa dalam bentuk 2 dimensi.

Awal penggunaan dan perkembangannya
Animasi komputer dalam film dimulai pada 1970-an ketika efek visual dan animasi pendek dibuat menggunakan layering gambar 2D.
Pada tahun 1972 pendiri Pixar, Ed Catmull dan Fred Park, menciptakan prototipe pertama dari tangan 3D yang dibuat secara digital. Mereka menunjukkan hal tersebut dalam sebuah film pendek berjudul ‘A Computer Animated Hand’. Teknologi yang digunakan untuk membuat animasi tersebut menjadi dasar penting dalam perkembangan animasi komputer.

Pada tahun 1993 kita menyaksikan momen ajaib dalam sejarah film yang dihasilkan komputer, yaitu dengan penayangan film yang betul2 menampilkan dinosaurus persis seperti aslinya. Jurassic Park adalah film CGI 'bertekstur fisik' pertama, yang berarti dinosaurus itu tampil sangat realistis di layar.

Tim dari rumah produksi visual effect ILM mulai dengan menggambar desain dan prosthetics dari dinosaurus sebelum memindai mereka ke komputer. Perangkat lunak animasi digunakan untuk menunjukkan dan memanipulasi gerakan tangan dan kaki sebelum tekstur kulit dinosaurus dilukis/digambar. Setelah gambar terpisah ini disatukan, barulah dinosaurus ini ditempatkan dalam sebuah adegan dan dikombinasikan dengan aksi-aksi live dari para pemerannya.


Sampai akhir 1990-an CGI digunakan tidak dalam porsi penuh, maksudnya hanya dipakai untuk melengkapi sebuah film live action. Tetapi pada tahun 1995 Toy Story menjadi film pertama yang menggunakan CGI sepenuhnya. Dengan hanya tim kecil animator, semua karakter mainan seolah menjadi hidup kembali. Pixar mengikuti proyek terobosan ini dengan film-film seperti Monsters Inc., Finding Nemo, dll

CGI yang menciptakan adegan dari sejarah.
CGI kemudian digunakan lebih luas lagi untuk membuat film-film berlatar sejarah, menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau lengkap dengan ciri khas zamannya. Seperti di film Pearl Harbor pada 2001 dimana ditampilkan serangan Jepang di pangkalan angkatan laut AS dengan begitu realistiknya.

Motion capture.
Awal tahun 2000an CGI berkembang lebih pesat lagi dengan penggunaan teknik motion capture, yaitu teknik yang digunakan untuk merekam gerakan yang dilakukan oleh benda atau orang. Bisa gerakan fisik maupun ekspresi wajah. Karakter pertama yang dikreasikan dengan motion capture ini adalah Gollum, dalam film Peter Jackson tahun 2001, Lord of the Rings.

Selanjutnya film-film memorable untuk penggunaan CGI antara lain Avatar, Life of Pi, franchise Transformers, film-film superhero DC maupun Marvel. Hingga sekarang teknologi CGI masih dan akan terus berkembang seiring perkembangan teknologi komputer.

Bagaimana proses pembuatan CGI ini?
CGI di kreasikan oleh para ahli efek khusus, menggunakan beragam software seperti Autodesk Maya, Autodesk 3DS Max, Houdini, Blender, zBrush, dsb.

Untuk membuat karakter Thanos, pertama dilakukan dengan menggambarnya dan ‘membentuknya’ (ibarat seorang pematung membentuk patung dengan tanah liat) di software zBrush, hingga didapatlah model 3 dimensi sosok Thanos. Detail tekstur kemudian ditambahkan. Mulai dari kerutan, kekasaran, dst. Sehingga didapatlah hasil yang sangat mirip dengan sosok manusia.

Sementara itu Josh Brolin sang pemeran Thanos akan dipakaikan kostum khusus yang disebut motion capture bodysuit, dimana di kostum tersebut sudah diberi penanda-penanda untuk keperluan tracking atau pelacakan gerakan oleh komputer.
Lalu dia juga akan mengenakan helm dengan dua kamera HD yang disusun secara vertikal. Kamera2 tersebut akan menangkap gambar pada 60 frame per detik. Wajah Josh juga akan diberi titk-titik hitam sebagai penanda tracking.

Dengan mengenakan pakaian dan helm tersebutlah Josh akan beradu akting dengan para pemeran yang lain. Disebabkan tubuh Thanos yang digambarkan cukup jauh melebihi tinggi badan pemeran lainnya (kecuali Hulk), maka sebagai panduan bagi para lawan mainnya saat berdialog, di punggung Josh ditempatkan tongkat yang panjang. Jadi saat berbicara dengan Thanos, para aktor bisa menatap ujung atas tongkat tersebut.

Setelah proses motion capture selesai, hasilnya lalu digabungkan/dimasukkan ke model 3D tadi. Hasilnya lalu disempurnakan di tahap pasca produksi.

Biaya Produksi CGI
Eksekutif Sony Pictures, Penny Finkelman Cox mengatakan bahwa dibutuhkan 400 pekerja visual (yang bekerja) selama empat tahun untuk membawa (film) 2D ke bioskop. Sedangkan dengan CGI hanya membutuhkan setengah dari jumlah itu dan hanya membutuhkan tiga tahun untuk membuat film tersebut. Hasilnya, film digital umumnya memakan biaya sampai sebesar $80 juta, sedangkan film animasi tradisional dibutuhkan $150 juta. Lebih murah (tapi tetap saja biaya yang besar ya)
Dua hal yang membuat CGI mahal ialah biaya untuk membayar para ahli efek visual yang jumlahnya banyak, lalu waktu pengerjaan yang tidak bisa sebentar. Butuh waktu yang lama untuk membuat efek visual komputer yang hebat. Kombinasi jumlah ahli dan waktu produksi yang lama itulah yang membuat biaya produksi film-film ber-CGI mahal. Menurut laporan Forbes, sebuah film dengan 150 hingga 250 efek visual dengan 1 efek visualnya berdurasi 5 detik, setiap 1 efeknya membutuhkan biaya antara $70 ribu hingga $100 ribu. Film Hollywood berjudul Pirates of the Caribbean: At World’s End misalnya, memakan biaya senilai $1 juta per menit untuk membiayai efek visual komputer.

Perangkat Kerja Yang DAHSYAT
Menurut informasi dari Dave Clayton, penasihat animasi rumah produksi efek visual Weta Digital, dibutuhkan teknologi “raksasa” untuk membuat efek CGI. Pada awal tahun 2000an saja, saat pembuatan LOTR: The Return of The King, untuk memproses (efek CGI) rumah produksinya membutuhkan sekitar 2.300 CPU (Central Processing Unit) dan RAM bertenaga 5 terabytes.
10an tahun kemudian saat memproduksi The Hobbit: Desolation of Smaug, dibutuhkan 50.000 CPU dan RAM 170 terabytes. Itu semua setara dengan gabungan dari 30.000 laptop standard.

Dahsyatnya nggak kira-kira ya..!

Jadi, jelas bahwa penggunaan teknologi CGI bukanlah hal yang murah. Namun, film-film Hollywood tetap memakai teknologi ini disebabkan hasilnya yang mengagumkan, sehingga pada akhirnya kesuksesan penjualan bisa tercapai. 

Untuk film-film Indonesia, sudah ada lho yang memakai teknologi CGI ini. Sebagian diantaranya adalah bangkit!, Comic 8: Casino Kings Part 1 (2015) dan Part 2 (2016), Rafathar the Movie (2017) sampai The Raid 1 (2011) dan 2 (2014). Tentu belum sebagus film-film Hollywood ya. Tapi maklum lah, secara bujet juga ibarat langit dan bumi. Jadi, tetap patut untuk diapresiasi..
Demikian pembahasan singkat seputar teknologi CGI.

Thanks for reading.. 🙏🙏