Kamis, 16 Mei 2019

PROFESI PENTING DI DUNIA FILM YANG JARANG DIHARGAI


Banyak sebenarnya, profesi di dalam proses pembuatan film yang tidak populer, tetapi sebenarnya sangat penting dan tak sadar dinikmati hasil kerjanya oleh kita penonton. Cara mudah untuk mengetahuinya adalah dengan melihat tulisan credit title di akhir sebuah film. Ada nama-nama profesi seperti grip, key grip, gaffer, focus puller, second unit, greensman, sound designer, dll. Ada bayangan nggak, apa yang mereka kerjakan?
Salah satu sosok yang menggeluti profesi tak terkenal itu adalah Khikmawan Santosa. Seorang sound designer yang baru saja wafat 11 Mei kemarin akibat kecelakaan lalu lintas. Khikmawan adalah salah satu sound designer terbaik negeri ini, dan menjadi langganan meraih piala Citra. Namanya pun mudah kita temukan di poster-poster film nasional. Ya, saking kurang dikenalnya profesi sound engineer, jumlah pemain lokal di profesi ini memang sangat kurang sehingga pemainnya nyaris itu-itu saja.

Kali ini kami coba membahas profesi tersebut; sound designer.
Bagi kalian yang awam pada dunia filmmaking, mungkin beranggapan bahwa merekam suara di film itu simple ya. Cukup dengan memasang mikrofon saat syuting, beres. Faktanya, tidak demikian. Cukup panjang dan rumit jalan untuk menghasilkan suara jernih dan detail yang bisa kita dengarkan dengan nyaman saat menonton film. Suara decit pintu pagar saat digeser, suara langkah kaki di tanah, suara kerumunan dan lalu lalang orang di tempat umum, hingga suara binatang, dsb.. itu semua tidak bisa ditangkap secara detail bersamaan dengan dialog para tokoh. Ya, microfon paling canggih sekalipun belum (dan mungkin nggak akan pernah) mampu menyamai telinga kita dalam menangkap suara sesuai komposisi volumenya dengan tepat. Analoginya, sama seperti kamera yang nggak mampu menyamai mata dalam menangkap gambar/visual. Buktinya, setiap pindah syuting dari indoor ke outdoor atau sebaliknya, kamera harus di white balance dulu.
Jadi, kita harus ekstra bersyukur dikaruniai banyak piranti yang sangat canggih di tubuh kita. 😉

Kembali ke perekaman suara, karena keterbatasan microfon tadi, banyak suara-suara pendukung yang harus direkayasa dengan bermacam cara, menggunakan bermacam benda. Misal suara atmosfir pasar, direkayasa memanfaatkan beberapa orang yang bersuara khas orng-orang di pasar. Ada yang menawarkan dagangan, ada yang ngobrol seputar harga, dsb., yang nantinya oleh sound designer dipadukan dengan suara-suara pendukung yang lain semisal suara bajaj, suara motor, klakson motor, dsb.  
Kasus lain, suara binatang yang sudah punah seperti dinosaurus, misalnya. Bagaimana kita tahu suara asli dinosaurus yang telah punah jutaan tahun lalu itu? Inilah sisi kreatifitas sound designer diuji. Bagaimana ia harus bisa mencari suara yang bisa diyakini penonton sebagai suara seekor dinosaurus. Untuk film Jurassic Park, sound designer Gary Rydstrom menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk ‘berburu’ suara dari berbagai macam binatang. Akhirnya ia memutuskan, menggunakan suara dari kura-kura yang sedang-maaf-kawin, untuk suara Velociraptor (salah satu jenis dinosaurus). Lalu untuk suara si ‘Blue’, dinosaurus setengah jinak hasil training Chris Pratt di Jurassic World: Fallen Kingdom, sound designer Al Nelson mengambil suara dari penguin yang kemudian dinaikkan pitch-nya di studio rekaman. Nggak nyangka kan? Well, itulah hasil kerja hebat dari para perancang suara ahli.


Intinya, profesi sound designer bertanggung jawab untuk menyediakan suara apa pun yang diperlukan untuk melengkapi elemen visual sebuah film. Mereka menambahkan efek suara setelah pembuatan film selama proses pengeditan untuk memberikan film rasa lokasi’ yang khas atau periode yang otentik, atau untuk memberikan suasana tertentu. Mereka bekerja sama dengan production mixer, sound supervisor, editor, dan sutradara untuk menciptakan suara yang tak hanya membuat film lebih menarik, tetapi bisa mencapai tujuan yang ingin disampaikan kepada penonton. Sound designer dapat bekerja dengan sutradara untuk membuat suara di keseluruhan film, atau disewa hanya untuk membuat satu jenis efek saja.

Sound designer dapat dipekerjakan oleh rumah pasca produksi audio, atau bekerja secara freelance di studio audio digital mereka sendiri. Mereka juga cenderung memiliki peralatan rekaman sendiri.

Dibutuhkan keterampilan komunikasi yang baik, bersama dengan imajinasi dan bakat kreatif untuk menghasilkan elemen dan efek suara yang terbaik untuk film. Sound designer harus memiliki pemahaman yang baik tentang akustik, dan pengetahuan ahli tentang rekaman suara dan teknik pengeditan analog dan digital.

Untuk menjadi seorang sound designer yang baik, sangat bagus bila dimulai dengan pendidikan yang tepat. Almarhum Khikmawan Santosa sendiri adalah alumnus FFTV Institut Kesenian Jakarta. Selain IKJ, di Indonesia ada beberapa sekolah film yang bagus. Sebagian diantaranya dapat kalian baca disini.

0 komentar:

Posting Komentar