Rabu, 13 Maret 2019

Cara Agar Film Horror Kamu Nggak Cuma Modal Jumpscare Murahan


Film horror adalah salah satu genre film yang paling banyak peminatnya dibanding genre film yang lain. Hal inilah yang menyebabkan sangat banyak film horror diproduksi oleh filmmaker lokal, dengan berbagai variannya. Dari horor berpadu kisah cinta remaja, sampai horor yang dibumbui komedi dewasa. Dari yang benar-benar diproduksi dengan kualitas tinggi macam Pengabdi Setan-nya Joko Anwar, sampai film-film yang hanya mengandalkan cerita dangkal dengan jumpscare-jumpscare murahan. Segala jenis hantu atau makhluk halus pun rasa-rasanya sudah pernah diangkat ke layar lebar. Dari kuntilanak, pocong, tuyul, suster ngesot dsb..
Para produser seolah tak takut film-film horor yang mereka biayai produksinya bakal anjlok di pasaran. Bahkan, seolah film-film horor menjadi ‘kuncian’ bagi terjaminnya kelangsungan hidup perusahaan mereka. Maksudnya, film horor akan selalu ada peminatnya dan bisa menjamin kelangsungan cashflow perusahaan di kala film-film dari genre lain belum pasti menghasilkan keuntungan.

Kenapa film horor begitu disukai?
Istri saya, yang peminat berat film horor, suatu ketika pernah beralasan bahwa menonton film horor memberinya sensasi sendiri yang tidak didapat saat menonton film lain. Rasa tegang, sekaligus penasaran. Tegang saat mewaspadai kemunculan sang hantu yang tiba-tiba, penasaran untuk mengetahui penyebab dari keberadaan atau kemarahan sang hantu tersebut.

Namun jujur, semangat para produser untuk membuat film horor terkadang tak diimbangi niat untuk menjaga standar kualitas film tersebut. Istilah kasarnya, ‘yang penting laku’. Tak perlu selalu menghasilkan untung besar. Yang penting buat banyak-banyak, asal ‘dapur perusahaan tetap mengepul’. Memprihatinkan, memang. Tetapi harus diakui, bahwa kendati makin banyak warga masyarakat yang semakin kritis akan kualitas film, sebaliknya masih cukup banyak warga lainnya yang mudah terpuaskan akan film-film yang bisa dibilang berkualitas B. Film-film yang hanya mengandalkan  dark tone, efek hujan dan petir di malam hari, kemunculan sosok hantu yang tiba-tiba diiringi sound effect membahana serta akting para pemain yang standar cenderung payah, tanpa dukungan bangunan cerita yang kuat dan elemen-elemen pendukung lain yang dirancang dengan matang.

Kali ini kami tak hendak menyoroti hal itu terlalu jauh, melainkan coba melihat aspek lain dari sebuah film yaitu proses produksinya. Satu pertanyaan yang muncul di benak kami saat menonton film horor adalah, mengapa sebuah film menjadi begitu bagus sementara lainnya, maaf, begitu payah dan jelas terkesan dangkal? Berikut ini kami coba bahas satu persatu, hal-hal apa yang perlu diperhatikan agar sebuah film horor bisa nampak lebih ‘berisi’, menakutkan tanpa kesan membodohi penontonnya:

1. Please, jangan munculkan sosok hantunya terlalu jelas hingga pertengahan film
Film Jaws karya Steven Spielberg menjadi salah satu film horor legendaris sepanjang masa. Tapi tahukah Anda, kalau jalannya sejarah film ini kemungkinan besar akan berbeda seandainya robot hiu tak tenggelam di awal produksinya? Ya, robot seharga 250 ribu dolar tenggelam tepat di awal produksi film, mengharuskan Spielberg untuk memutar otak untuk menyiasatinya. Ia lalu teringat perkataan sutradara Alfred Hitchcock yang kira-kira berbunyi, “Hal yang akan membuat kamu sangat ketakutan adalah hal yang tidak kamu lihat.”. Berdasarkan kata-kata Hitchcock ini, dengan setengah terpaksa Spielberg memutuskan untuk tidak sering menampilkan sosok sang hiu pembunuh pada para penonton. Spielberg hanya menggunakan kekuatan sinematografi, galon air, serta musik untuk membangun ketegangan dan ketakutan.
Di luar dugaan, ternyata treatment ini berhasil membuat penonton ketakutan. Penonton jadi berimajinasi sendiri tentang betapa berbahayanya sang ikan hiu. Dan memang ketakutan tanpa objek seperti yang terjadi di dalam pikiran kita biasanya akan menjadi semakin berlipat ganda efek menakutkannya.
Perkataan Alfred Hitchcock terbukti. Kalau sesuatu yang akan paling menakuti kita adalah sesuatu yang tidak kita lihat wujudnya. Jadi, begitupun dengan hantu pada film horor. Kalau sudah ketahuan wujud hantunya (apalagi kalau make up nya gagal), apalagi yang kita takutkan?  
    
2. Hujan badai? Bagus, tapi nggak harus selalu begitu kok.
Formula paling umum dijumpai dalam film horror adalah, peristiwa terjadi disaat hujan bahkan badai di malam hari. Klise? Bisa ya, bila penulis dan sutradara kurang lihai dalam meramu formula tersebut dengan kreatif. Namun apakah selalu harus demikian? Tentu tidak. Texas Chainsaw Massacre contohnya. Ketegangan, darah dan kengerian bisa terwujud dengan sempurna di siang hari yang terang benderang.

3. Jumpscare jangan dijual begitu murah
Pernah merasa kesal menonton film, saat sedikit-sedikit muncul sosok hantu secara mengagetkan dengan sound effect menggelegar? Pasti iya, sebab cukup banyak film-film yang mengandalkan hal begini untuk memperkuat nuansa horornya. Kalau sekali-sekali atau dalam proporsi yang wajar sih, nggak apa-apa lah ya. Malah memang bisa membuat film tambah menakutkan. Tapi kalo berlebihan.. yang ada malah membuat film terkesan murahan. Terkesan menutupi kegagalan kerja penulis dan sutradara dalam menampilkan kengerian dalam adegan-adegannya.  

4. Jangan kontraskan sound effect begitu dahsyatnya
Seperti disebutkan diatas, beberapa film lokal menggunakan taktik ini untuk memperkuat nuansa seram. Sound effect pengiring kemunculan hantu yang tiba-tiba, sengaja diatur agar volumenya sangat keras, sangat kontras dengan volume suara lainnya seperti suara atmosfer (suasana sekitar) dan dialog pemain. Sampai-sampai saat menontonnya di televisi atau DVD player, kita harus siap menekan tombol volume di remote. Sebab level volume yang nyaman didengar saat adegan dialog, akan terasa terlalu besar saat sang hantu muncul. Sebaliknya level volume yang nyaman didengarkan saat sang hantu muncul, akan mengakibatkan dialog pemain jadi kurang terdengar saat adegan 'normal'. Mengganggu sekali rasanya. 😠

5. Make up untuk hantu, wajib ‘sempurna’

Pernah kan, kecewa karena menyaksikan sosok hantu yang ‘masih terlihat sebagai aktor yang didandanin dengan make up yang buruk’? cuma aktor yang dikasih bedak pucat, contact lens karakter, wig, darah buatan dan kulit bersisik yang jelas terlihat sebagai buatan? Bikin illfeel kan? Udah satu jaman dibela-belain nonton, eh saat hantunya muncul, malah gagal bikin takut. So, jangan ragu untuk menyewa seniman pembuat karakter yang betul-betul ahli, walaupun tentu membutuhkan biaya yang lebih tinggi.  

6. Gunakan backsound dengan tepat dan proporsional
Backsound atau musik latar, jelas bisa membangkitkan atmosfer yang mendukung mood cerita. Namun film-film horor yang sukses menunjukkan, tak harus selalu demikian ternyata. Kadangkala suara suasana yang asli (atmo) tanpa musik latar justru bisa menimbulkan kengerian yang lebih mencekam. Sutradara dituntut jeli disini, pada adegan apa harus ditambahkan musik latar, dan adegan apa yang harus dibiarkan apa adanya.

7. Pilih properti dan elemen-elemen visual lainnya dengan seksama
Pajangan kepala rusa dengan mata merah melotot, foto-foto hitam putih leluhur dengan ekspresi datar dan dingin, bentuk furniture yang bergaya gothic, dsb. adalah contoh elemen-elemen visual yang bisa mendukung kesan horor. Pertimbangkan dengan cermat pemilihan hal-hal ini.  

8. Kejutkan penonton dengan kreatif
Seperti kami bahas diatas, jumpscare dalam porsi yang tepat bisa berhasil mencapai tingkat horor yang diharapkan. Namun tak hanya itu. Masih ada teknik-teknik lain yang bahkan bisa lebih berhasil untuk menakuti penonton. Plot twist misalnya, dengan penyisipan detail-detail adegan yang mengejutkan dan tak diduga penonton. Adegan-adegan ‘spontan’ atau tiba-tiba yang dilakukan oleh seseorang karakter protagonis, diluar sifatnya yang telah dikenal penonton sebelumnya (yang menjadi awal tersingkapnya sebuah misteri). Atau teknik kamera memfollow karakter dalam menemukan kenyataan-kenyataan yang mengerikan misalnya, dengan gradasi backsound dan ekspresi aktor, dsb. Banyak cara. Terbuka sangat luas kemungkinan kreativitas disini. Film The Others bisa anda tonton kembali sebagai contoh film yang sangat kreatif mengagetkan penonton dengan ending yang tak terduga.

Demikian sebagian hal yang harus diperhatikan para filmmaker genre horor agar bisa menghasilkan film-filmyang berkualitas. Masih banyak metode lain. Menjadi tantangan bagi para filmmaker untuk selalu berkreasi untuk menghasilkan karya2 berkualitas..

Thanx sudah membaca 😊


Rabu, 06 Maret 2019

Leo the Lion, Sang Singa Legendaris Maskot MGM

Foto "Leo the Lion" saat direkam aumannya untuk awal film MGM, th 1928. Singa ini adalah Jackie.

Adegan opening film berupa seekor singa yang mengaum dengan suara berat pastilah familiar bagi Anda. Ya, itu adalah opening dari film-film produksi sebuah perusahaan yang memang banyak menghasilkan film-film populer, Metro Goldwyn Mayer (MGM). Singa itu dikenal dengan nama Leo si singa atau Leo the Lion. Tetapi tahukah Anda, bahwa sebenarnya ada 7 singa berbeda yang ditampilkan dalam semua opening film-film MGM tersebut? Ya, bukan 1 tetapi tujuh, dan Leo adalah nama singa yang paling terakhir difilmkan sebagai maskot. Tepatnya sejak 1957 (total 60 tahun).

MGM sendiri menggunakan singa sebagai maskot mereka sejak 1916 (dan saat studio tersebut dibentuk oleh penggabungan studio Samuel Goldwyn dengan perusahaan Metro Pictures dan Louis B. Mayer milik Marcus Loew pada 1924)
Syuting dilakukan oleh pengarah seni Paramount Studios Lionel S. Reiss.

Mengapa menggunakan singa?
Howard Dietz sebagai salah satu pendiri MGM memilih singa sebagai penghormatan kepada almamaternya Universitas Columbia, yang julukan tim atletiknya adalah The Lions.
Klub The Lions tersebut ternyata memiliki nyanyian "Roar Lion Roar!" yang artinya "Mengaumlah Singa Mengaum!" Semangat itulah yang digunakan Dietz dalam MG.

Berikut 7 singa-singa ‘bersejarah’ tersebut:
1. Singa Goldwyn Pictures (1916-1923) dan Slats (1924–1928)

Slats adalah singa pertama yang digunakan untuk studio yang baru dibentuk. Slats digunakan pada semua film MGM hitam-putih antara tahun 1924 dan 1928. Logo aslinya dirancang oleh Howard Dietz dan digunakan oleh studio Goldwyn Pictures Corporation dari 1916 hingga 1924 (lihat kiri). Tidak seperti para penggantinya, Slats tidak melakukan apa-apa selain melihat-lihat di logo. Slats meninggal pada tahun 1936. Kulitnya saat ini dipajang di Museum McPherson di McPherson, Kansas.

2. Jackie (1928-1956)
Jackie adalah singa kedua yang digunakan untuk logo MGM. Dia adalah singa liar yang dibawa dari bagian Nubia di Sudan,dan singa MGM pertama yang mengaum. Jackie muncul di semua film MGM hitam-putih dari tahun 1928 hingga 1956 (menggantikan Slats). Jackie meninggal pada 26 Februari 1935 dan kulitnya saat ini dipajang di Museum McPherson di McPherson, Kansas.
Selain muncul dalam logo MGM, Jackie muncul di lebih dari seratus film, termasuk film Tarzan yang dibintangi Johnny Weissmuller. Singa ini juga dikenal karena selamat dari beberapa kecelakaan, termasuk dua kecelakaan kereta api, gempa bumi, dan ledakan di studio. Kasus yang paling terkenal, Jackie selamat dari kecelakaan pesawat, dan terdampar di hutan belantara Arizona selama empat hari dengan air dan roti lapis. Oleh sebab itu singa ini mendapat julukan "Leo the Lucky".

3. Telly (1928–1932) dan Coffee (1932–1935)
Coffee, salah satu dari dua singa yang digunakan untuk logo uji Technicolor pada produksi warna MGM awal 1932-1935.
Singa pertama, Telly, muncul di semua film MGM berwarna antara tahun 1928 dan 1932. Singa kedua, Coffee, muncul di film berwarna antara tahun 1932 dan 1934 (dan 1935 untuk serial kartun Happy Harmonies),



5. Tanner (1934–1956), juga digunakan pada 1960-an
Tanner adalah singa MGM ketiga terlama yang dipakai sebagai logo MGM (dengan total 22 tahun), setelah Jackie (yang telah digunakan selama total 28 tahun) dan singa saat ini (yang telah dipertahankan selama 62 tahun). Selain digunakan sebagai maskot singa MGM, Tanner juga tampil di film pendek Three Stooges berjudul Hold That Lion! (1947).

6. George (1956–1958)
Singa keenam, George diperkenalkan pada tahun 1956, dan tampak lebih jantan daripada singa lainnya. Dia memiliki raungan yang sama dengan Tanner. Logo ini akan memiliki latar belakang hitam atau coklat gelap / keabu-abuan, meskipun varian latar belakang biru telah terlihat di The Wings of Eagles (1957). Logo ini juga akan muncul di film hitam putih.

7. Leo (1957 – sekarang)
Leo, singa ketujuh, adalah singa yang paling lama digunakan MGM.
Selain digunakan sebagai singa MGM, Leo juga muncul di produksi lain seperti epik religius Kings (1961) dan Napoleon dan Samantha (1972); iklan TV dan beberapa film serial.