Kamis, 25 November 2010

'Mencari Penghidupan' di Industri Televisi & Film Peluang & Tantangan


News-The Russian Government

Baru-baru ini, Chairul Tanjung (CT), pemilik TransCorp yang menaungi stasiun televisi Trans7 dan TransTV membeli Carrefour Indonesia, cabang dari salah satu jaringan swalayan terbesar di dunia (!). Pembelian ini menambah panjang jejak rekam kesuksesan CT di dunia bisnis yang sebelumnya telah memiliki beberapa bisnis besar lain seperti kelompok Bank Mega, Bandung Super Mall, taman hiburan ala Disneyland Trans Studio Resort di Makassar, dan seabreg bisnis lainnya. Bahkan rumor beredar, ia juga sudah membeli stasiun televisi yang jauh lebih tua dari 2 stasiun televisi yang dikelolanya, Indosiar. Entah benar entah tidak rumor tersebut, yang jelas CT adalah salah satu konglomerat paling bersinar di negeri ini dalam 10 tahun terakhir. 
Dalam satu kesempatan CT pernah berujar bahwa salah satu penunjang utama keberhasilannya itu adalah kesuksesan TransTV & Trans7. Perlu anda ketahui, TransTV yang usianya masih kurang dari 1 dasawarsa itu sejak awal berdiri selalu menduduki peringkat 5 besar dari 10 stasiun televisi nasional baik dilihat dari rating & sharing maupun dari perolehan keuntungan. Bahkan mantan direktur utama TransTV Ishadi S.K. mengklaim bahwa kalau dilihat dari keuntungan bersih, bisa jadi TransTV menduduki peringkat pertama. 'Adik' TransTV, Trans7 pun secara perlahan namun pasti tumbuh menyusul 'kakak'nya. Jauh melebihi omzet usahanya yang semula saat dibeli dari grup Kompas Gramedia dan masih bernama TV7. Sebuah hal yang bisa dipahami karena bila sebuah program acara televisi sukses, keuntungan dari iklan bisa belasan sampai puluhan kali lipat dari biaya produksinya.

Raam Punjabi dan 'dinasti'nya adalah nama yang berkibar di produksi film dan sinetron. Sudah sejak lama Parkit Film, Multivision Plus & kini MD Entertainment merajai layar bioskop dan televisi negeri ini dengan produksi-produksi karya mereka. Sebagai hasilnya, Raam masuk dalam daftar orang terkaya negeri ini di peringkat ke 105 pada tahun 2007 menurut majalah Globe Asia. Sederet rumah produksi lain seperti Sinemart, Frame Ritz, dan sebagainya perlahan namun pasti mulai mengekor kesuksesan mereka. Belum lagi Miles Production yang fokus di film, yang hampir selalu membukukan jumlah penonton fantastis untuk karya-karya mereka.

Rekan-rekan pembaca, dengan sedikit penjelasan diatas saya bermaksud menegaskan kepada anda semua bahwa; dunia entertainment di Indonesia sedang tumbuh menjadi industri yang sangat menjanjikan. Menyerap banyak (dan akan semakin banyak) tenaga kerja, dan tentunya diharapkan akan mendistribusikan rupiah secara lebih merata dan melimpah kepada semakin banyak masyarakat Indonesia. Disini saya hanya membahas dunia entertainment sebatas lingkup dunia produksi film dan televisi saja. Tentu bukan berarti bahwa bidang hiburan yang lain tidak prospektif. 
Perhitungan kasarnya begini; di Indonesia ada 11 stasiun televisi nasional. Bila masing-masingnya mengudara selama 20 jam saja selama sehari, maka dalam seminggu akan tersedia 1540 jam tayang. Bila 80% dari itu diisi produksi lokal negeri ini, maka sekitar 1200an jam tayang akan tersedia. Angka ini belum termasuk jam tayang televisi lokal yang, walaupun sampai saat ini belum terlalu menggembirakan perkembangannya, tetap tak bisa dikesampingkan keberadaannya. Belum juga menghitung televisi kabel (televisi berbayar). Juga sistem TV Digital yang akan melipatgandakan jumlah kanal siaran televisi(!). 1200-an jam tayang per minggu di televisi itu tentu perlu diisi dengan karya. Dengan hasil produksi: sinetron, film, kuis, siaran berita, talk show, lawak, feature dan sebagainya. Siapa yang akan memproduksi? Tentu masyarakat Indonesia. Dan itu berarti lowongan pekerjaan yang besar, dan berkelanjutan—karena seiring waktu tentu dibutuhkan regenerasi rutin. Untuk industri film, memang tak sebesar televisi peluangnya. Disamping faktor belum berhasilnya pemerintah tuntas memberantas pembajakan, juga dikarenakan belum optimalnya keberanian dan kreativitas para insan film nasional dalam berkarya J, sehingga berakibat belum mapannya industri ini sebagai lahan penghidupan. Belum lagi faktor terbatasnya jumlah bioskop di negeri ini. Untuk negara dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa, rekor pencapaian jumlah penonton film nasional baru sekitar 3 juta orang, yang berarti baru sekitar 1,5% dari penduduk Indonesia. 

Namun begitu, penulis pribadi percaya bahwa industri film nasional akan semakin bersinar dari waktu ke waktu. Insan-insan film yang muda dan idealis seperti Mira Lesmana, Riri Riza, Nia DiNata, Hanung Bramantyo, Rudi Soedjarwo dll., juga insan film 'lawas' seperti Deddy Mizwar dan Chaerul Umam seolah telah menyadarkan para pemilik modal bahwa jutaan penonton dapat ditarik ke gedung-gedung bioskop oleh film-film nasional. Dan ini berarti juga, lowongan untuk berkarya bagi kita anak bangsa.

Rekan-rekan pembaca, berbagai cara bisa dilakukan bagi anda yang tertarik untuk masuk dan menjadikan industri film dan atau televisi sebagai tempat untuk menggantungkan hidup. Bisa dengan bekerja pada stasiun televisi atau rumah produksi (PH), bisa dengan mendirikan PH sendiri. Bila memilih menjadi karyawan, bisa dari jalur Fresh Graduate
program bagi anda lulusan pendidikan tinggi dari semua jurusan, atau jalur profesional bagi anda yang sudah memiliki pengalaman. Juga ada jalur reguler, biasanya bagi anda yang baru lulus kuliah namun berasal dari jurusan yang sesuai dengan industri ini seperti jurusan Broadcasting atau sejenisnya. Lebih bagus lagi bila anda sudah membuat beberapa karya pribadi sebagai portofolio, yang bisa anda tunjukkan kepada perusahaan. Ratusan macam ragam profesi pun bisa anda pilih. Dari pekerjaan kerah putih seperti staf kantor, produser, creative, dsb., semi white-semi blue collar job (maaf kalau persepsi & istilah penulis kurang tepat J ) seperti kamerawan, editor, penata lampu dsb., sampai pekerjaan kerah biru seperti sopir, office boy, cleaning service, ada semua di industri ini. 
Bagaimana dengan imbalan? Juga dengan sistem kerja di industri film dan televisi? Saudara, satu hal yang harus saya sampaikan kepada anda adalah; berhati-hatilah. Ada jenis pekerjaan yang menghasilkan remunerasi yang baik, bahkan sangat baik. Namun ada juga yang berujung pada gaji yang 'biasa saja'/standar, kemungkinan peningkatan gaji yang terbatas, hingga pengangkatan sebagai karyawan tetap yang tak kunjung terjadi. Semua ini tergantung di perusahaan mana anda bekerja, jalur apa yang anda gunakan untuk masuk sebagai karyawan, pada divisi apa anda bekerja, dan tentunya seberapa total anda mengerahkan daya upaya dan kreativitas anda. Gambaran singkat saja untuk di industri televisi (bisa berubah setiap saat, anda harus terus memperluas wawasan), untuk TransTV & Trans 7 dikenal sebagai perusahaan yang sangat selektif memilih karyawan, namun relatif mudah untuk diangkat sebagai karyawan tetap. Beberapa stasiun televisi yang lain cukup selektif menyaring karyawan, namun suka 'menggantung' karyawan pada status karyawan tidak tetap—kendati kabarnya imbalan yang mereka berikan lebih besar ketimbang yang diberikan TransTV dan Trans7. 
Untuk jalur Fresh Graduate Program biasanya relatif lebih mudah untuk diangkat sebagai karyawan tetap dibanding sesama karyawan lulusan baru yang masuk lewat program reguler. Sedangkan untuk divisi yang secara umum memberikan imbalan besar dibanding divisi lain adalah divisi Produksi dan divisi Berita (News). Bila anda di kedua divisi tersebut dan mengembangkan sebuah program acara yang berhasil mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat, biasanya anda akan mendapat bonus. 

Untuk di PH sinetron dan/film tentu sangat tergantung pada kesuksesan karya produksi mereka. Ada yang mengangkat karyawan tetap, namun juga ada yang mempekerjakan karyawan secara sistem freelance/pekerja lepas/pekerja borongan sesuai proyek. Ada yang memberlakukan sistem semacam 'beli-putus', artinya untuk suatu proyek diberi anggaran tertentu tanpa peduli kesuksesan produksi mereka nantinya. Namun ada juga yang memberikan bonus bila karya mereka laris manis di pasaran. Untuk masuk ke sebuah PH gampang-gampang susah. Pengalaman saya sendiri, pernah begitu lulus kuliah dulu saya mengirimkan lamaran untuk puluhan PH selama bertahun-tahun, namun hanya 1-2 yang dipanggil untuk diwawancara (!). Ternyata saya baru tahu alasannya setelah mengobrol dengan seseorang yang pernah bekerja di PH, juga dari pengalaman magang di sebuah PH yang lain; setidaknya ada 2 alasan. Pertama, biasanya seorang sutradara atau pimpro sebuah proyek pembuatan sinetron sudah mempunyai tim mereka sendiri. Jadi PH cuma tahu beres. Sepertinya PH hanya merekrut karyawan tetap untuk level manajemen atas dan staf kantor saja. Kedua, PH biasanya lebih suka mendidik karyawan blue collar mereka ketimbang merekrut karyawan lulusan perguruan tinggi atau profesional, kecuali untuk posisi-posisi kunci. Di sebuah PH yang penulis ketahui, ada beberapa orang yang tadinya adalah pengemudi (driver) atau office boy, beberapa tahun kemudian menjadi kamerawan. Penulis menduga, kemungkinan besar alasannya karena cara seperti itu lebih murah (apa lagi J). Jadi, terserah anda memilih cara yang mana untuk masuk bekerja di PH; apakah berusaha berkenalan dengan sutradara atau orang dalam timnya (semacam nepotisme J), atau berkarir dari posisi blue collar dulu. Bagi anda yang lulusan perguruan tinggi, tentu penulis tidak menyarankan alternatif yang terakhir. 

Cara yang paling 'terhormat' mungkin, semasa kuliah buatlah karya pribadi sebanyak dan sebagus mungkin—bisa film dokumenter, film pendek, iklan, animasi, dsb.—lalu sertakan bersama surat lamaran anda. Syukur bila karya anda itu berhasil memenangkan penghargaan di festival-festival yang kini marak digelar, itu akan menaikkan nilai anda di mata PH yang anda lamar.
Kalau anda ingin berkarir di bidang produksi film namun takut akan prospek masa depan dikarenakan sistem kerja PH dan kondisi dunia film yang belum sepenuhnya pulih, sangat baik bila anda melakukan introspeksi diri terlebih dahulu; apakah niat anda cukup kuat disini? Bila ya, majulah terus dan jadikan segala kondisi itu sebagai tantangan yang harus dimenangkan. Justru ini kesempatan, bisakah kita mengubah film menjadi ladang penghidupan yang membawa kemakmuran? Namun bila niat anda tidak cukup kuat, jangan coba-coba. Bidang ini memerlukan kerja keras dan kemauan kuat, dan itu akan jauh lebih mudah bila anda menyukainya.

Rekan-rekan pembaca, sekelumit penjelasan diatas hanyalah gambaran umum yang penulis ketahui. Hanya bermaksud membagi sedikit informasi kepada rekan semua. Semoga bermanfaat. Singkat kata, do the best dalam apapun yang anda lakukan, dan waspadalah karena kendati sedang 'bersinar' dan nampak glamour, apa yang tampak dari luar di industri produksi film dan televisi tidaklah selalu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Carilah informasi sebanyak mungkin tentang perusahaan yang hendak anda lamar. 

Oke, sampai jumpa di artikel berikutnya… Thanks for reading 🙏😊 

Jakarta, Selasa 20 April 2010.

Jakarta Miliki Gedung Teater Bertaraf Internasional

Beritajakarta.id

Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), resmi dibuka pada Sabtu malam pekan lalu. "Keberadaan gedung teater ini diharapkan dapat mengembalikan kharisma TIM dan Jakarta dalam peta budaya dunia," ujar Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo saat meresmikan pembukaan.

Gedung Teater Jakarta memiliki dua ruang pertunjukan, yaitu teater besar dan teater kecil. Bangunan gedung teater bergaya modern itu memiliki fasilitas bertaraf internasional. Pada panggung pertunjukan teater besar dilengkapi mesin hidrolik untuk efek pertunjukan. Lalu, efek visual dan sound yang modern melengkapi keberadaan dua ruang pertunjukan tersebut.

Selain itu, di belakang panggung dilengkapi dengan 10 ruang ganti artis dengan toilet, wardrobe, dan make up station, yang mampu menampung 10 orang sekaligus. Gedung juga dilengkapi dengan fasilitas khusus penderita cacat dengan adanya akses dan toilet khusus.

tamanismailmarzuki.jakarta.go.id
Kapasitas penonton di ruang teater besar mencapai 1.200 kursi. Jauh lebih besar dari kapasitas Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) yang hanya bisa menampung sebanyak 500 pengunjung. Sedangkan teater kecil bisa menampung 200 hingga 300 penonton. Kedua ruang pertunjukan itu dilengkapi dengan kursi mewah yang tertata membentuk anak tangga di depan panggung dan balkon.

tamanismailmarzuki.jakarta.go.id

Acara peresmian itu ditandai dengan pergelaran tari kontemporer Langkah, Bumi, dan Matahari yang bertempat di teater besar. Karya sutradara Tom Ibnur ini bercerita tentang kumpulan sketsa kehidupan manusia dan alam. Penampil khusus pada pergelaran itu, antara lain Wiwiek Sipala, Putu Wijaya, Ubiet, Maya Hasan, Gambang Kromong, dan penyanyi pop Titi DJ. Sebelumnya, terdapat beberapa pertunjukan musik perkusi dan instalasi menarik yang digelar di depan gedung tersebut.

Sastrawan Putu Wijaya menyatakan dunia seni Indonesia butuh pihak yang memiliki komitmen untuk menjual pertunjukan. Tak hanya mencari profit, tapi juga manajemen kesenian yang baik. Ia khawatir dengan banyaknya gedung pertunjukan dengan fasilitas memadai itu tidak menyerap jumlah penonton yang signifikan. "Tentu pertunjukan berkualitas bisa terus ada, tetapi kalau apresiasi penonton kurang, akan sama saja," ujar Putu seusai pembukaan. ISMI WAHID



sumber: Koran Tempo & www.jakarta.go.id

Selasa, 23 November 2010

Dibalik layar pembuatan film, bersama editor Walter Murch.

imdb.com

Dalam dunia pembuatan film, aktor dan sutradara mendominasi sorotan media. Namun demikian, sebenarnya banyak profesi lain yang tak kalah penting artinya dalam menghasilkan sebuah karya film, seperti misalnya DOP (Director of Photography), Production Designer, Editor dll. Saat ini saya ingin menampilkan salah seorang Editor film terbaik yang dimiliki Hollywood, Walter Murch.
Murch telah memenangkan tiga piala Oscar. Dia telah dinominasikan dalam kategori tata suara dan atau pengeditan sebanyak 8 kali. Film2nya meliputi Apocalypse Now, trilogi Godfather, The English Patient, The Unbearable Lightness of Being, Ghost, The Talented Mr Ripley, Jarhead & Cold Mountain.
Murch adalah seseorang dengan banyak minat. Dia mencipta karya musik, menerjemahkan puisi Itali disela-sela waktu senggangnya, & jika kita berbicara cukup lama dengannya, kemungkinan kita akan sering mendengar kutipan filsuf Perancis darinya. Tetapi definisi tentang apa yang dia lakukan adalah sederhana:
"Pekerjaan saya sebagai editor adalah untuk secara lembut mengarahkan perhatian penonton untuk melihat berbagai bagian dari frame," katanya.
imdb.com

"Dan aku melakukannya dengan memanipulasi, oleh bagaimana dan dimana saya memotong gambar kerja saya."

Suara sama pentingnya untuk bekerja Murch. Itu adalah "sebuah pengaruh yang besar pada perhatian orang," katanya.

Untuk mendemonstrasikannya, Murch berpaling ke komputernya, klik mouse beberapa kali dan langsung menarik sebuah adegan dari Jarhead. Jarhead, dibuat berdasarkan buku laris tentang kisah mantan anggota marinir Amerika Anthony Swofford, tentang perang gurun Persia. Karakter Swofford's, diperankan oleh Jake Gyllenhaal, yang maju kedalam pertempuran untuk pertama kalinya dimana terjadi sebuah serangan artileri. Semua orang mencari perlindungan, tapi ia berdiri. Kamera bergerak lebih dekat kepadanya. Kemudian di kejauhan, ada ledakan teredam diikuti oleh keheningan mati.

Keheningan ini sekilas merupakan momen emas bagi seorang editor - kesempatan untuk menempatkan penonton di sana, di medan perang. Sutradara film ini, Sam Mendes, awalnya ingin agar keheningan itu dibiarkan selama beberapa detik. Tapi Murch datang dengan ide yang lebih baik.

Potongan dari debu & pasir dari ledakan menerpa wajah aktor dalam gerakan lambat. Kemudian Anda mendengar suara dari partikel2 itu saat menerpa wajahnya. "Pertempuran saya telah dimulai," kata si karakter.

Murch mengatakan suara terkecil dapat membantu menciptakan rasa hening di film. "Dengan memanipulasi apa yang Anda dengar dan bagaimana Anda mendengar itu - dan hal-hal lain yang tidak anda dengar - Anda tidak hanya dapat membantu bercerita, Anda dapat membantu penonton masuk ke dalam pikiran karakter," kata Murch.

Ironisnya, Murch memulai proses editing dalam suasana hening (suara dimatikan).

"Kalau saya mendengar suara, itu akan cenderung untuk menyita semua perhatian saya ..." katanya. "Ini akan memancing kemungkinan munculnya suara lain Dan hanya setelah adegan telah menemukan bentuknya, maka aku menyalakan speaker dan membiarkan suara masuk Dan sering akan ada dua suara yang datang bersama-sama, dua baris dialog. dan saya akan berpikir, itu adalah sesuatu yang bagus, bahwa itu terjadi secara tidak sengaja. "

Proses editing adalah pekerjaan yang sebenarnya membosankan - melihat rekaman dengan durasi berjam-jam, kemudian merakitnya menjadi sebuah kesatuan. "Saya suka berpikir ini adalah semacam persilangan antara juru masak yang memasak hidangan berdurasi singkat (short-order cook) & seorang ahli bedah otak," kata Murch. "Kadang-kadang Anda melakukan hal-hal yang sangat halus. Dua frame yang berbeda akan berarti apakah film ini sukses atau tidak. ..."

Walter Murch mempunyai beberapa cara bekerja hingga orang2 menganggapnya unik. Selain tanpa suara di awal pengeditan seperti diatas, Murch suka bekerja sambil berdiri. “seperti dokter bedah yang sedang mengoperasi”, katanya. Deretan frame ia cetak & tempel didinding ruang kerjanya, untuk memudahkannya menentukan frame mana yang akan ia tempatkan sesudah frame yang sudah ia tempatkan di timeline software editing.


Penulisan ulang & terjemahan bebas dari karya Michele Norris & Steve Lickteig.

Senin, 08 November 2010

3 FILM MAHAKARYA


Halo friends..

Di hari yang indah ini saya ingin sekedar berbagi mengenai film-film yang ‘menyentuh’ saya. Sebagai movie freak, sesungguhnya cukup banyak film favorit saya. Dari bermacam genre. Namun, 3 film berikut saya rasa mempunyai pesan moral luar biasa yang membuatnya unggul diatas kebanyakan film lain. Menonton film ini, semakin yakin diri saya bahwa film memang bisa menjadi media yang ampuh untuk menyuarakan ide-ide kemanusiaan, & bahkan mendorong siapapun untuk membuat perubahan yang nyata.
The Pursuit of Happyness, 3 Idiots & My name is Khan. Itulah karya-karya besar terfavorit saya.

The Pursuit of Happyness, mengisahkan perjuangan seorang lelaki bernama Chris Gardner (Will Smith) dalam mengangkat kehidupannya & keluarganya dari lembah kemiskinan. Alkisah Chris yang memiliki seorang istri & anak kecil adalah seorang pekerja kelas bawah San Fransisco yang setiap hari harus berkutat dengan penghasilan minim yang tak cukup untuk menghidupi keluarganya. Sang istri yang membantunya mencari nafkah lambat laun bosan dengan segala keterbatasan yang dialami, hingga memutuskan untuk meninggalkan suami & putranya untuk mengadu nasib ke kota lain. Sejak itu, mulailah perjuangan Chris yang semakin berat. Mulai dari diusir dari apartemennya karena tak mampu membayar sewa, berpeluh menjajakan alat-alat kesehatan ke seantero kota, setiap hari berpacu dengan waktu agar mendapat tempat istirahat di ruang penampungan, dsb. Pembaca, cobalah untuk menghayati perasaan Chris saat terpaksa harus tidur di toilet stasiun kereta api bersama putra kecilnya, saat menyaksikan kesialan demi kesialan Chris dalam bekerja, saat hanya berpakaian seadanya saat menghadiri wawancara kerja gara-gara harus tidur di sel kepolisian malam sebelumnya, dst.

Saya jamin, air mata anda akan menetes haru. Akan terkesan anda dengan keteguhan hati seorang Chris yang hampir selalu bisa mengendalikan dirinya menghadapi masalah demi masalah yang datang bertubi-tubi. Dan akhirnya, di akhir film ini pasti rasa haru anda akan semakin membuncah menyaksikan ekspresi Chris yang kesulitan menahan gejolak emosinya tatkala akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaan impiannya.

3 idiots. Mengisahkan kisah persahabatan 3 mahasiswa sebuah institut teknik bergengsi di India; Farhan Qureshi, Raju Rastogi & Ranchoddas Chanchad. 2 dari mereka, yaitu Farhan & Raju adalah korban dari mimpi orang tua mereka yang menginginkan anaknya menjadi insinyur, sebuah profesi yang sangat terhormat di India. Padahal, keduanya tak memiliki minat di bidang itu. Jadilah, hari-hari mereka dilalui dengan setengah hati, mengakibatkan nilai-nilai kuliah yang jeblok. Namun sebaliknya, Ranccho adalah pribadi yang cerdas & kreatif. Langganan ia memperoleh juara pertama setiap akhir semester. Dengan banyak cara Rancho membantu teman-temannya mengatasi banyak masalah. Bertiga mereka kompak memusuhi rektor ‘killer’, Viru S. yang kolot. Waktu berlalu, semua itu tak bisa bertahan lama. Akibat sebuah penyusupan yang kurang ajar ke rumah sang rektor (kebetulan Rancho jatuh cinta dengan putri Viru), mereka bertiga terancam di DO. Raju yang menjadi tumpuan keluarganya yang miskin, putus asa & mencoba bunuh diri. Sekuat tenaga 2 rekannya menyelamatkan Raju. Sebuah proses yang berat, yang mengakibatkan keduanya melakukan hal-hal yang membawa pemahaman kepada mereka tentang arti hidup, persahabatan & cinta. Pola flashback menjadikan film ini semakin menarik, terlebih karena penonton diajak untuk mencari keberadaan Rancho yang hilang bak ditelan bumi 10 tahun setelah mereka lulus. Pembaca, bagi anda yang sudah antipati dengan film India karena mungkin merasa jenuh dengan melodrama berlebihan, tontonlah film ini. Pastilah, film ini akan membuat anda sangat terhibur, tertawa, sekaligus terharu & mengubah pandangan stereotip anda akan film-film negara Mahatma Gandhi ini.

Dan akhirnya, My Name Is Khan. Film yang menuai kesuksesan komersial luar biasa ini, memang benar sangat layak untuk ditonton & dikoleksi. Mengisahkan perjalanan seorang penderita autis bernama Rizwan Khan dalam menemui presiden Amerika, demi menenangkan hati istrinya tercinta yang sedang terguncang akibat meninggalnya anak mereka satu-satunya. Alkisah Rizwan Khan semula hidup bahagia bersama istri & anak tirinya itu di sebuah kota di Amerika. Istrinya yang Hindu dengan ikhlas menerimanya yang seorang muslim & mengidap autis. Namun, peristiwa pengeboman WTC menghancurkan kebahagiaan itu. Warga sekitar sontak menjauhi mereka, seiring rasa antipati mereka terhadap semua hal yang berbau Islam. Puncaknya, penganiayaan yang diterima oleh sang anak. Mandira sang istri shock berat, & menyesali keputusannya dulu menikahi seorang muslim. Perjalanan yang dilakukan Khan meneguhkan dirinya sebagai seorang muslim sejati yang anti kekerasan. Khan menebar benih kebaikan di diri setiap orang disetiap tempat yang disinggahinya, membuatnya menjadi sumber inspirasi seluruh negeri. Pemirsa, sebuah cerita yang brilian. Salah satu hal yang mengagumkan saya adalah, kepandaian pembuat film ini dalam menampilkan pesan perdamaian & cinta kasih dalam semua agama. Kata ibu Khan; hanya ada 2 jenis manusia di dunia ini, yaitu manusia baik & manusia jahat.

Pembaca, menurut penilaian saya belum ada film Indonesia yang menyemai ‘derajat’ ketiga masterpiece ini :-(. Padahal menurut saya, para filmmaker kita pasti bisa asalkan menaruh perhatian mendalam pada hal-hal krusial dalam hidup seperti moralitas & agama seperti yang dilakukan para begawan film Hollywood & India diatas. Mungkinkah ini cerminan masyarakat kita yang dari ke hari semakin larut dengan formalitas agama yang seringkali semu tanpa pemahaman & pengamalan yang sungguh-sungguh dari kitab suci? Entahlah. Semoga tidak.

Diatas telah saya katakan bahwa film bisa membuat perubahan yang nyata ke arah perbaikan hidup. Mungkin sebagian teman beranggapan pendapat ini berlebihan, namun pengalaman menonton ini memang sesuatu yang subyektif sifatnya. Jadi, terserah apa pun pendapat anda. Saya pribadi beranggapan itu benar adanya. Alasannya adalah, karena saya mengalaminya sendiri. Sehabis menonton 3 film diatas, saya makin termotivasi untuk menjalani hidup dengan ‘benar’ & untuk kelak membuat film-film sejenis :-). Mohon maaf, mungkin terdengar sok ya. Saya tidak bermaksud demikian, tentu. Tapi jujur, menyaksikan perjuangan para tokoh itu dalam menempuh kehidupannya membuat saya seperti tertampar akan segala kebodohan yang telah saya lakukan dalam menyia-nyiakan hidup dimasa lalu. Bahwa hidup itu memang indah, bilamana kita siap berjuang dengan ikhlas & penuh syukur. Pembaca, saya merekomendasikan dengan sangat 3 film diatas untuk anda semua. Jangan pedulikan tahun pembuatan—bagi anda yang new release mania, karena pesan moral yang terkandung disana akan abadi sepanjang waktu.

See you movie lovers..


Sabtu, 06 November 2010

MEMBUAT FILM VIDEO SENDIRI


Hai sobat filmmaker..
Kali ini saya ingin membagi sedikit pengetahuan yang ada pada saya tentang cara membuat film. ‘Cara membuat film’? emang udah pernah bikin film apa aja, trus, berapa yang box office?. Duh, jangan bertanya begitu dulu ya pembaca. Tentu, saya masih amat sangat jauh dibanding Hanung Bramantyo atau Riri Riza yang sudah malang melintang belasan tahun di dunia professional filmmaking. Saya tak lebih hanyalah seorang ‘professional filmmaker wannabe’ yang masih harus bergulat mengatasi rintangan-rintangan menuju cita-cita mulia itu. Maksud saya berbagi disini hanyalah sekedar demi mencari amal, teman, kepuasan batin sekaligus pahala dari Tuhan. Oleh karena itu bila kurang lengkap, silahkan ditambahi. Bila kurang sempurna, silahkan disempurnakan. Toh jelek-jelek begini & belum pernah bikin film bioskop, saya sudah ikut banyak workshop, kursus, sudah nonton ratusan film & 4 tahun kerja jadi editor di sebuah TV swasta nasional (eh, belum layak dibanggain ya? :-( )
Teman-teman, karena banyaknya hal berkaitan dengan tema ini, maka saya akan membaginya kedalam minimal 2 sub tema. Yaitu, membuat film sebagai hobi & membuat film sebagai karir profesional.

Membuat film sebagai hobi (video “rumahan”)
Puluhan tahun kamera foto still menjadi andalan masyarakat untuk merekam momen-momen berharga mereka. Dari yang semula hanya mampu menghasilkan gambar hitam putih, lalu berkembang menjadi dapat menghasilkan gambar berwarna. Dari yang semula menggunakan klise yang harus dicuci-cetak, sampai berkembang menggunakan hard disk sebagai penyimpan gambar. Seiring perkembangan zaman, kamera perekam gambar bergerak (kamera video)pun ditemukan. Sekarang,momen-momen indah bisa diputar kembali dibanding sekedar sebuah gambar diam.
Kamera perekam gambar bergerak sebenarnya ditemukan tak lama sesudah kamera foto, namun popularitasnya di masyarakat kalah jauh dikarenakan kamera video semula jauh lebih mahal harganya dibanding kamera still photo, sehingga tak terjangkau masyarakat luas. Baru sekitar dekade 80-an, kamera video mulai dibuat untuk keperluan home use.
Saat ini, dekade 2000an, kamera video rumahan semakin murah dan mudah didapat di pasaran. Dengan modal hanya 2 jutaan saja, kita sudah bisa mendapatkan kamera video yang cukup untuk sekedar mengabadikan momen-momen keluarga, misalnya. Bahkan perangkat telepon genggam pun sudah sangat umum dilengkapi dengan kamera video.
Seiring makin membudayanya kamera video, timbul kesadaran untuk menggunakan benda itu secara lebih efektif agar dihasilkan kualitas video yang lebih baik. Bila sekedar untuk merekam momen keluarga, misalnya, bagaimana caranya agar video itu dapat menghibur dan membangkitkan kenangan dengan baik bila suatu saat nanti diputar kembali. Sedangkan bila digunakan untuk membuat film, bagaimana agar film itu nantinya dapat dinikmati sebagai serangkaian gambar yang menampilkan cerita secara utuh layaknya film profesional.
Teman-teman pembaca, berikut beberapa tips agar rekaman video enak ditonton:

1. Buatlah cerita yang pendek & sederhana
Tentukan/rencanakan sebelum syuting, peristiwa penting apa & obyek apa yang mau direkam. Jadi, prioritaskan mengambil gambar itu, walaupun bisa jadi akan banyak improvisasi sesuai situasi & kondisi nantinya. Selain itu, jangan pernah merekam sebuah obyek yang sama lebih dari 2 menit, karena akan membosankan. Menggunakan banyak klip video pendek berdurasi 10-20 detik akan lebih efektif.
2. Perhatikan lokasi sekitar
Ambil suasana, gedung atau bangunan alami yang bisa bercerita tentang lokasi anda. Jadi, sesuatu yang khas lokai itu. Contoh bila hendak menggambarkan adegan romantis di Bali, perlihatkan pantai Kuta. Atau bila hendak menggambarkan kesemrawutan Jakarta, ambil gambar kemacetan pada jam kantor & orang-orang yang ramai berjalan.
3. Hindari zoom berlebihan
Banyak orang terpesona dengan fasilitas digital zoom camcorder digital yang sampai ratusan kali (200x, 700x), lalu berlebihan memakainya. Hal ini dapat mengakibatkan kepala pusing saat menyaksikan penggunaan zoom yang membesar & mengecil secara berlebihan & cepat. Jadi, gunakan zoom secukupnya saja, & perlahan.
4. Pergunakan Tripod (kaki tiga penyangga kamera)
Pengambilan gambar yang goyang tentu sangat mengurangi keindahannya. Walaupun hampir semua camcorder sudah dilengkapi image stabilizer, namun sebuah goyangan yang kuat tetap akan mengganggu. Cara mengatasinya, pakailah Tripod. Harga dipasaran cukup bervariasi, dari 200an ribu—jutaan rupiah. Bila tak ada, cobalah untuk bersandar ke sesuatu seperti dinding, atau meletakkan siku ke meja.
5. Pakai mikropon
Setiap camcorder sudah dilengkapi internal mikropon. Namun bila ingin hasil yang lebih baik, pakailah mikropon tambahan. Tancapkan jack dari kabel mikropon ke port in mic di camcorder. Namun, tidak semua camcorder dilengkapi port ini. Untuk menyiasatinya, pakailah perangkat clip on (mikropon tanpa kabel yang ditempelkan di pakaian aktor/pemeran) yang bisa disewa dari rental.
6. Perhatikan pencahayaan
Menyewa lampu untuk syuting tidak mahal. Paling-paling 50an ribu untuk 1 lampu Unomatt atau Red Hat, misalnya. Jadi, gunakan lampu bila memungkinkan. Namun bila terpaksa tidak ada, pakailah lampu camcorder. Tips penting, gunakan pencahayaan dari belakang anda untuk menerangi obyek yang direkam. Untuk rekaman saat matahari terbit, misalnya, pastikan matahari menyinari obyek yang anda rekam, & bukan lensa camcorder anda (karena akan menyilaukan mata pemirsa). Tips lain, mintalah lampu cadangan bila menyewa lampu, karena lampu seperti Unomatt rentan pecah.
7. Ubah sudut pandang
Jangan merekam hanya dari 1 sudut, agar ada variasi gambar. Dekati & bidik dari semua sudut. Bisa dari belakang, atas atau sembarang sudut yang menarik.
8. Hemat baterai
Jangan sampai kehabisaan baterai! Bawa cadangan paling tidak 2 baterai ekstra. Juga charger untuk mengisi ulang baterai bila memungkinkan. Lebih bagus lagi bila membawa juga perlengkapan untuk koneksi kamera ke sumber listrik rumah (PLN), jadi bisa menghemat baterai, bila syuting dekat sumber listrik.
9. Dimulai dari akhir
Trik lain agar rekaman menarik adalah, gunakan akhir cerita untuk memulai rekaman video. Saat membuat video pernikahan, misalnya, anda bisa memulainya dengan mewawancarai pasangan yang sedang berbahagia di pesta pernikahan. Baru kemudian kembali ke saat kapan mereka bertemu, bagaimana menjaga hubungan saat pacaran, dst.
10. Belajar dari film yang ada.
Saat menonton film, biasanya kita menikmati tayangan tanpa memikirkan pikiran sutradara. Coba perhatikan lebih kritis alur, cara merekam, pengambilan sudut, dll. Bisa jadi anda akan kaget melihat begitu banyak yang bisa dipelajari dari film.

Teman-teman pembaca, begitulah artikel singkat ini, semoga berguna. Bila ingin mendapat panduan yang jauh lebih lengkap dalam pembuatan video atau bahkan film, produk2 disamping bisa dicoba. Terima kasih..

Sumber: pengalaman pribadi & tabloid Digital Living.