Selasa, 04 September 2018

Wiro Sableng 212: Keren, Tapi..

 Wikipedia

Akhirnya.. setelah lama ditunggu, pendekar kapak maut Naga Geni 212 beraksi juga di layar bioskop.
Tak sabar rasanya untuk segera menonton sepak terjang pahlawan slebor ini. Disamping karena kami adalah penggemar genre film action, mas Wiro ini adalah sosok yang populer di saat kami tumbuh dewasa dulu :) Khususnya saat ditayangkan dalam format sinetron oleh sebuah stasiun TV swasta dulu pada tahun 90an dan diperankan oleh Ken Ken.
Jadi seolah ada keinginan bawah sadar untuk membandingkan visualisasinya dalam film, dengan saat di sinetron dulu. Yah.. harap maklum ya. Begitulah resiko suatu karya yang sudah populer di sebuah medium, sebelum akhirnya diangkat ke dalam film. Harus rela dibanding-bandingkan.
Tetapi kalian boleh yakin kok, kami dari Fakta Film akan berusaha sejujur dan seobyektif mungkin me review film ini. Tanpa tergoda oleh subyektifitas naif seorang fans :)

JALAN CERITA
Diangkat dari serial novel sukses karya Bastian Tito, jalan cerita film Wiro Sableng ini sebenarnya klise dan ringan. Khas jalan cerita film-film dan novel-novel silat zaman dulu: seorang anak orangtuanya dibunuh pendekar jahat, anak itu lalu berguru kepada pendekar baik, saat sudah dewasa/sudah cukup ilmunya si anak itu lalu membalaskan kematian orangtuanya. Ringan dalam arti, sudah tertebak endingnya. Bahwa si anak pastilah akan sukses melakukan misinya itu, setelah mengalahkan si pendekar jahat. Tidak banyak intrik dan twist.
Balas dendam. Atau, penegakan keadilan dengan upaya fisik.

Namun faktanya kisah sejenis ini tetap tak membuat bosan para penikmat genre action. Apalagi pada akhirnya memang semuanya tergantung kepada kepiawaian penulis dan filmmaker yang mengolahnya. Bila mereka memang story teller yang ahli, pola umum ini tetaplah bisa tampil sebagai sebuah karya yang menarik dan disukai.
Wiro disini dikisahkan sebagai si anak malang itu. Orangtuanya dibunuh oleh Mahesa Birawa. Ia diselamatkan oleh Sinto Gendeng, yang lalu mendidiknya bertahun-tahun hingga menjadi seorang pendekar tangguh. Saat sudah menguasai semua ilmu dari Sinto Gendeng, nenek sakti tersebut membekali Wiro dengan senjata berjuluk kapak Naga Geni 212, dan mengutusnya untuk membasmi kejahatan Mahesa Birawa dan kelompoknya. Cerita lalu dijalinkan dengan cerita lain, yaitu seputar upaya seorang raja bernama Kamandaka dalam mempertahankan tahtanya dari pengkhianatan sekelompok bawahannya.
Seperti kami sampaikan diatas, kekuatan utama kisah-kisah sejenis Wiro Sableng memang bukan pada keindahan jalin jemalin alur ceritanya (kendati jalan ceritanya juga tak bisa dianggap asal-asalan). Jadi sudah selayaknya saat hendak masuk bioskop kita tidak berekspektasi pada hal itu. Khususnya bagi mereka yang belum pernah membaca versi novelnya. Apalagi mengingat ini media film yang pasti berdurasi maksimal 2,5 jam saja. Beda dengan media novel yang bisa ratusan lembar menjabarkan kisah.
Lebih tepat untuk berekspektasi pada hal-hal lain seperti kehebatan visualisasi adegan-adegan laga, special effect, keindahan dan keagungan istana dan kehidupan kerajaan, serta tingkah polah koplak si Wiro. Boleh juga berharap tampilnya paras-paras bening yang biasanya ditampilkan sebagai penambah daya pikat sebuah film.
Pada hal-hal diatas, sutradara Angga Dwimas Sasongko beserta jajarannya cukup berhasil memuaskan harapan besar penonton. Kita sebagai penonton cukup terhibur menyaksikan khususnya 2 unsur utama sekaligus daya tarik kisah ini: laga & humor.

PENOKOHAN
Jujur, hanya Wiro Sableng seorang yang ditampilkan lumayan dalam penokohannya dalam film ini. Bahwa dia anak seorang kepala desa, dimana kedua orangtuanya dibunuh, lalu ia diselamatkan & dididik oleh seorang nenek pendekar. Kenapa dia sableng (senang bercanda dengan gaya kekanakan), sebab gurunya juga sableng. Tetapi karakter-karakter lain, tidak terlalu tergali. Ada 2 kemungkinan penyebabnya.
Kemungkinan pertama, disebabkan banyaknya tokoh yang harus ditampilkan dalam durasi film yang terbatas.
Kedua, kita penonton seolah digiring untuk membaca versi novelnya juga, agar sutradara lebih leluasa untuk memberi penekanan pada unsur-unsur lain seperti ke adegan-adegan laga.

Sebenarnya ini tak terlalu menjadi masalah. Setiap tokoh ditampilkan secara proporsional sesuai tuntutan peran dalam cerita, agar tokoh-tokoh lain cukup jelas terceritakan.
Namun ada tokoh yang seharusnya bisa sedikit lebih dalam lagi diceritakan karakternya atau cerita seputar dirinya. Seperti misalnya tentang Ranaweleng & Suci, orangtua Wiro. Dikisahkan saat hendak beradu kesaktian dengan Mahesa Birawa, mereka sudah mengenal lawannya itu. Namun tidak diceritakan lebih jauh, peristiwa apa yang membuat mereka saling mengenal dan saling benci. Lalu contoh lain, tentang seorang tokoh yang numpang lewat: Kakek Segala Tahu yang diperankan Yayu Unru. Pada awal film dia seperti narator pengantar cerita. Namun perannya terputus hingga tampil lagi di akhir film. Tidak diceritakan samasekali siapa dia.

Memang, mengadaptasi novel serial dengan banyak karakter adalah tantangan yang bisa jadi tidak ringan bagi penulis dan sutradara. Tetapi seharusnya 2 tokoh kunci storyteller ini bisa meminimalisir timbulnya pertanyaan-pertanyaan seputar penokohan ini.
Toh tidak ada kewajiban penonton film untuk harus membaca novelnya juga kan?

AKTING
Semua pemain tampil cukup bagus. Namun sejalan dengan cerita yang tak terlalu memberi ruang untuk tampilnya akting yang mumpuni, bagi kami rasanya cuma 4 pemeran yang bermain diatas rata-rata. Vino G. Bastian sebagai Wiro yang begitu kocak dan gokil, Ruth Marini sebagai Sinto yang juga sama kocaknya, Rifnu Wikana sebagai Kalasrenggi yang licik dan berbahaya, serta sang villain Mahesa Birawa yang ditampilkan dengan angkuh, sangar, dan garang menakutkan oleh Yayan Ruhian. Melihat kegarangan Mahesa Birawa, kita jadi teringat kepada tokoh Mad Dog di The Raid yang juga diperankan oleh kang Yayan.

Unsur humor tampil lumayan kental pada sebagian besar adegan. Kita sangat terhibur dengan polah Wiro yang kadang kekanakan, sembarangan, suka mengerjai orang, santai tetapi bisa juga serius & tangguh saat dibutuhkan. Sinto yang bijaksana, sakti namun tak kalah gokil dengan anak didiknya. Bujang Dewa Tapak Sakti yang gendut dan suka kentut. Dewa Tuak yang sembarangan dan setengah mabuk. Untuk yang terakhir ini, jujur kami surprised dengan Andi/rif yang ternyata bisa berakting dengan cukup baik. Kami pribadi tidak menyangka, penyanyi terkenal itu ternyata bisa juga bermain peran :) Terlihat tak ada kecanggungan sedikitpun, seperti layaknya aktor senior lainnya. Yah memang tak sempurna, sebab sebagai pendekar berjuluk Dewa Tuak ekspresi mabuknya kurang kentara. Tetapi karakternya yang slengean tetap bisa ia tampilkan dengan baik.

ADEGAN LAGA
Dirancang oleh Yayan Ruhian dan Chan Man Ching yang pernah menjadi penata laga film-film Jacky Chan (!), adegan-adegan silat di film Wiro Sableng ini sudah pasti jaminan mutu. Mantap, seru, berkelas dan.. indah. Bahkan, di beberapa adegan mengundang decak kagum. Sangat mendebarkan, khususnya saat para tokoh protagonis berhadapan dengan banyak tokoh villain sekaligus. Seperti misalnya saat adegan perkelahian di sebuah warung, dimana kawanan penjahat 4 Brewok dan Kalingundil cs. berhadapan dengan Wiro Sableng & Rara Murni. Perkelahian berkelompok ini sangat dinamis, keras dan mendebarkan, membuat kita sebagai penonton jadi terbawa khawatir akan nasib para tokoh protagonis saat harus bertahan mati-matian di ruangan warung yang sempit. Setiap aktor terlihat benar-benar menguasai skill beladiri yang tinggi.
Setelah menonton production diary film ini, menjadi maklum tentang kualitas yang hebat ini. Sebab ternyata proses latihan mereka memakan waktu berbulan-bulan. Wow!
Bahkan Vino Bastian sendiri telah masuk kamp pelatihan 1 bulan lebih awal dari rekan-rekannya..

SPECIAL EFFECT
Cukup bagus, berkualitas dan menarik ditonton. Tidak berlebihan, khususnya bila dibandingkan sinetron-sinetron laga ‘kolosal’ yang pernah ditampilkan sebuah stasiun televisi nasional. Salah satu yang paling mengagumkan bagi kami, adalah saat Wiro cs berhadapan dengan Kala Hijau. Saat Kala Hijau mengeluarkan ilmu Nyanyian Halu Pencabut Raga, bayangan-bayangan si Kala Hijau bisa berkelebatan hingga terkadang tak terlihat wujudnya. Special effect disini, tak kalah dengan di film-film silat Hongkong! Kentara sekali bahwa semua efek dibuat dengan teliti dengan kreativitas yang tinggi yang pasti direncanakan dengan seksama. Melihat penjelasan dari CEO Life Like Pictures Sheila Timothy, ini membuat kami mengerti. Sebab ternyata proses pembuatan efek2 di film ini melibatkan sekitar 10 studio animasi di dalam negeri. Salut..

KOSTUM
Dirancang oleh beberapa desainer diantaranya Tex Saverio, ini adalah salah satu poin plus dari film ini. Semua kostum pemeran yang terdiri dari 350 jenis ini begitu indah, dan cocok untuk setiap karakter. Semua perancangnya adalah desainer pilihan, seperti Tex Saverio yang pernah merancang busana untuk film Hunger Games (!) Untuk karakter Wiro sendiri sih tak banyak beda dengan versi aslinya. Tetapi untuk karakter2 lain, nampak kreatifitas tinggi yang seharusnya diikuti oleh film-film silat lainnya. Jangan terpaku mengikuti ‘pakem’ berbusana tradisional. Toh kisah ini pun bukan kisah nyata.
Desain kostum yang tepat oleh Tex dkk menjadikan karakter ratu terkesan anggun, untuk raja begitu membuat berwibawa, dan untuk para ksatria serta penjahat membuat mereka nampak gagah dan tangguh.
Desain kostum masih menunjukkan identitas cerita yang terjadi di abad lampau, tetapi dengan sentuhan kreativitas modern.
Catatan khusus dari kami untuk kostum Rara Murni. Kostum coklat ketat yang dikenakannya membuat karakter Rara menjadi betul-betul layaknya pendekar wanita sejati. Menguatkan kesan karakter yang tangguh, namun sekaligus indah dan seksi :)

PROPERTI & BANGUNAN
Semua dirancang dengan baik, menunjukkan setting abad yang lampau. Namun yang paling menonjol mungkin setting interior istana. Indah, mewah dengan dominan warna keemasan.

BACKSOUND
Seru! Musik bernuansa etnik sesuai zaman yang ditampilkan. Saat adegan action, berdentam-dentam sesuai irama adegan yang membawa penonton semakin terbawa menghayati suasana cerita.

EDITING
Sangat penting juga rasanya menyertakan editing sebagai unsur yang dibahas disini. Sebab seperti banyak terjadi, editor ibarat sutradara kedua. Kenapa? Sebab editing punya andil cukup besar terhadap perwajahan sebuah film (dan karya audio visual apapun).
Editing di film ini cukup dinamis. Bisa menguatkan kesan yang ingin ditampilkan kepada penonton. Misalnya saat adegan Wiro nyaris kalah oleh Mahesa Birawa, editing lalu flashback ke peristiwa masa lalu dimana orangtua Wiro terbunuh oleh si Mahesa ini. Hal ini bisa semakin membawa penonton kepada emosi yang sedang dirasakan Wiro.

KRITIK & SARAN
Sebagus apapun sebuah karya, tak ada yang sempurna. Untuk film Wiro Sableng 212 ini, kami mencatat ada beberapa hal yang menurut kami layak sebagai bahan masukan bagi tim produksi:
- Masalah Sling
Seperti kami ulas diatas, adegan laga adalah salah satu poin plus film ini. Namun jujur, beberapa adegan lompatan masih terasa seperti diangkat dengan sling/kawat baja. Yah, mungkin memang sangat sulit untuk menyiasati hal ini. Namun tak ada salahnya untuk terus berupaya menyempurnakan karya dari waktu ke waktu.
- Sherina & Marcell Siahaan kelihatan kurang cocok dengan semesta cerita.
Entahlah, bagi kami kedua tokoh ini berasa kurang masuk dengan semesta cerita. Untuk Marcell, mungkin karena karakter wajahnya yang terasa jauh dengan karakter wajah pemain-pemain lain. Pemain-pemain lain berasa wajah ‘asli’ Indonesia, wajah Marcell ini.. mungkin ada campuran bule? Apalagi bila melihat keturunannya dengan Happy Salma adalah wajah Vino bastian. Terasa kurang cocok..
Untuk Sherina, wajahnya nampak terlalu modern untuk wajah zaman itu. Terkesan kurang nge-blend dengan semesta cerita film.
- Tampilnya Kenken sebagai apa? Nggak jelas
Pemeran Wiro Sableng versi sinetron, Ken Ken (Herning Sukendro), menjadi satu unsur kejutan yang menyenangkan. Kami merasa terhibur oleh kehadiran sosok itu, dan memahami bahwa mungkin itu suatu cara tim produksi film ini untuk menghormati sosok yang pernah berjasa mempopulerkan karakter Wiro di layar kaca. Namun jujur kami bingung mengenai peran yang diberikan kepadanya. Dikisahkan Ken Ken adalah seseorang yang beristirahat di warung, dimana kemudian di warung tersebut terjadi pertarungan sengit antara Wiro cs melawan komplotan Mahesa Birawa. Tokoh yang diperankan Ken Ken ini tiba-tiba membantu Wiro menghalau musuhnya. Tak dijelaskan sedikitpun siapa dia, dan kenapa membantu Wiro.

NILAI
Secara keseluruhan, Wiro Sableng 212 adalah sebuah film yang bagus. Samasekali jauh dari kesan murahan. Namun demikian, film ini belum bisa dibilang sangat bagus dalam semua aspeknya. Menarik, namun kurang ‘berisi’. Dalam artian, bobot/kualitas ceritanya masih kurang. Film ini baru sebatas ‘sebuah film laga yang menarik, lucu dan menghibur’ semata.
Untuk itu nilai 8 dari 10 kami berikan untuk film ini.

Demikian filmmania, pembahasan singkat saya seputar film Wiro Sableng 212.
Mungkin kamu nggak setuju dengan sudut pandang saya. It’s OK, tentu saja. Namanya juga review film. Beda kepala bisa beda sudut pandang :)
Tulisan & blog ini memang bukan bertujuan untuk sok tahu, apalagi menghakimi. Melainkan sekedar berbagi wawasan seputar dunia film yang kita cintai bersama.

Kami ucapkan terima kasih kepada Lifelike Pictures dan Fox International Productions yang berkenan menghidupkan karakter Wiro Sableng ini ke layar kaca. Dengan bujet fantastis pula, yaitu lebih dari 26 Milyar rupiah! Semoga ini semakin menguatkan motivasi para filmmaker nasional untuk memproduksi film-film berkualitas setiap tahunnya.

Akhirnya, semoga bermanfaat dan.. selamat menonton!