Salam, film mania!
MILES Films kembali
menghentak dunia perfilman Indonesia dengan karya berkualitasnya. Duo sineas MiraLesmana-Riri Riza untuk kesekian
kalinya membuktikan totalitas mereka dalam menghasilkan karya yang berharga
untuk bangsa ini.
Kembali membuktikan, bahwa tak ada yang salah
dengan lahir di Indonesia, menjadi anak bangsa Indonesia. Sebab ternyata banyak
orang Indonesia termasuk mereka, bisa menghasilkan karya-karya hebat. Apalagi
dengan warna lokal Indonesia yang kental. Jadi kalaupun saat ini bangsa
& negara ini jatuh dalam keterpurukan, itu karena mental sebagian OKNUM
saja; para produser yang mementingkan keuntungan instan tanpa mempedulikan
kualitas karya (nggak mau susah2 riset & buat sesuatu yang beda, maunya
ikut arus trend), para pembajak & pembeli barang bajakan, para
pengkritik yang nyinyir tanpa mau memahami beratnya perjuangan membuat sebuah
film, para koruptor, dsb.. dsb..
PENDEKAR TONGKAT EMAS
Tayang pertama kali di bioskop tanggal 18
Desember 2014 yang lalu.
Sebuah film bergenre laga dengan warna budaya
& lanskap alam Indonesia yang sangat jarang diangkat ke layar lebar,
pulau Sumba.
Pasti sebagian besar dari anda para movie
enthusiast, cukup terkejut dengan keputusan Miles mengangkat genre ini.
Mira Lesmana & Riri Riza mengangkat tema
laga?
What!?.. Nggak salah tuh?
Bukankah mereka selama ini lekat dengan
film-film berkualitas (bahkan sebagian termasuk ‘berat’) macam Ada Apa Dengan
Cinta, Gie, Laskar Pelangi, Atambua 39 derajat Celsius, Sokola Rimba, dll..?
Tapi ternyata, memang kita tak salah dengar, tak
salah lihat.
Mereka memang memproduksi genre yang sudah ‘mati
suri’ selama sekitar 20 tahun itu. Genre yang—maaf—bisa dibilang lekat dengan
citra sebagai tontonan kelas B tersebut (film yang hanya mengandalkan ‘otot’,
tanpa mengedepankan kualitas cerita & artistik yang baik).
Namun tentunya, dengan KUALITAS. dan IDEALISME.
Di tangan kedua orang ini plus sutradara Ifa Isfansyah yang
juga dikenal sebagai sutradara film-film berkualitas, film laga klasik nyaman dinikmati
sebagai film yang indah secara artistik, berkualitas secara teknis, &
cukup kuat di cerita.
CERITA
Di suatu masa di pulau Sumba, hiduplah Cempaka.
Seorang pendekar sakti pemimpin perguruan Tongkat Emas yang sangat disegani di
dunia persilatan. Ia memiliki 4 murid: Biru (Reza Rahadian), Dara (Eva Celia),
Gerhana (Tara Basro) & Angin (Aria Kusumah). Semua mereka menjadi murid
Cempaka karena alasan tertentu. Cempaka memiliki senjata ampuh berupa tongkat
emas. Saat tiba saatnya menurunkan tongkat itu, Cempaka ternyata memberikannya
kepada Dara. Bukan kepada Biru sang murid tertua. Hal ini memicu kecemburuan
Biru & kekasihnya Gerhana, sehingga mereka tega membunuh Cempaka
& melarikan tongkat emas. Kisah selanjutnya merupakan perjuangan Dara
dibantu Elang (Nicholas Saputra) si pendekar misterius untuk merebut kembali
tongkat emas.
Banyak hal yang menarik untuk dinikmati
sekaligus dicermati dalam film yang menghabiskan dana 25 Milyar rupiah ini. Ya,
25 M. Membuat Pendekar Tongkat Emas menjadi salah satu film termahal di
Indonesia. Diantara hal-hal menarik tersebut adalah:
Keindahan alam lokasi syuting
Sutradara Ifa bersama Sinematografer/DOP GunnarNimpuno mengeksplor habis keindahan sabana Sumba yang memang luar
biasa. Luasnya padang rumput yang kuning keemasan, pepohonan rimbun menghijau,
bukit batu yang megah & sungai yang jernih sampai ke dasar
mengundang decak kagum. Kembali menyadarkan kita akan indahnya alam bumi
pertiwi. Seolah mengajak para penonton untuk berkunjung, & semakin
menyadarkan para sineas bahwa tempat syuting yang menarik tidak hanya Jakarta
& Jawa saja.
Keindahan visual
Keindahan alam hanyalah sebagian faktor pembuat
film ini memuaskan mata. Kepiawaian Gunnar Nimpuno menggunakan kamera canggih Red Epic Dragon 6K resolution dalam
bermain dengan cahaya, memberikan andil yang sangat besar dalam menghasilkan
gambar-gambar yang tak hanya jernih, tapi juga ‘keluar’ warnanya &
jelas kedalaman teksturnya. Sebagai seorang filmmaker wannabe, saya
sering berpikir; bagaimana ya, menghasilkan gambar seindah itu? Siluet-siluet
yang cantik dengan pendar sinar matahari, warna hamparan rumput keemasan
bergoyang ditiup angin.. indah sekali..
Akting para pemeran
Salah satu kekuatan film ini. Semua pemeran
berperan dengan sangat baik. Masing-masing sepenuh hati beradu akting. Kredit
tertinggi saya berikan untuk artis senior Christine Hakim, yang walau hanya
tampil beberapa menit saja, namun berhasil menunjukkan kelasnya sebagai pelakon
berkharisma kuat. Reza Rahadian & Tara Basro ‘betul-betul jahat’, Eva
Celia tampil mempesona walau nyaris tanpa make up. Tidak meremehkan juga akting
Nicholas Saputra & nama-nama besar teater seperti Landung Simatupang
& Whani Dharmawan.
Koreografi laga
Hebat. Dahsyat. Sangat bagus..
Terutama pada adegan laga final di penghujung
film.
Sulit dipercaya bahwa koreografi sedahsyat itu
ada di film Indonesia. Tentu saja, sebab Miles meng-hire penata
laga asal Hongkong yang mantan pemeran pengganti Jet Li. Xiong Xinxin, veteran
koreografer laga dengan pengalaman lebih dari 30 tahun. Memang akhirnya bisa
ditebak hasil akhirnya. Pasti kental dengan cita rasa kungfu. Sebenarnya patut
disesalkan, mengingat negeri ini punya pencak silat sebagai ilmu beladiri.
Tetapi dilain pihak keputusan Mira & Riri ini harus dimaklumi. Sebab
untuk menghasilkan adegan laga yang dahsyat, dibutuhkan koreografer & stunt
double dengan keahlian sangat tinggi. Sedangkan mau tidak mau harus
diakui bahwa untuk urusan koreografi laga, Hongkong memang nomor 1 di
DUNIA.
Dengan kata lain, secara ilmu beladiri maupun
seni, saya percaya silat tak kalah hebat dibanding kungfu. Tapi dari segi industrialisasi
(maaf kalau ngawur istilah ini)/pemanfaatannya di bidang industri hiburan,
silat jelas kalah jauh dibanding kungfu. Dalam dunia kungfu berlimpah
orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk penggunaan seni ini dalam film
maupun panggung pertunjukan. Sementara pencak silat? Film nasional saja baru
sekitar 1 dekade yang lalu bangkit setelah cukup lama mati suri. Apalagi film
yang bergenre silat. 20 tahunan tak diproduksi.
Keindahan narasi
Seno Gumira Ajidharma yang
sastrawan menjadi kunci keindahan kata-kata dalam narasi pengantar cerita, yang
disuarakan dengan begitu berkarakter oleh Christine Hakim & Slamet
Rahardjo Djarot. Kata-katanya indah puitis, sekaligus bermakna sangat dalam.
Selain hal-hal menarik seperti diatas, sebagian
orang memberikan kritik bahwa cerita yang skenarionya ditulis Jujur
Prananto ini terkesan dangkal, & klise film silat di masa
lalu:
Ada seorang pendekar mumpuni yang memiliki
senjata/pusaka hebat > pusaka itu direbut musuh & ia dibunuh
> muridnya berlatih keras untuk membalas dendam & merebut pusaka
> murid berhasil.
Saya pikir, ada benarnya juga.
Namun saya pikir-pikir lagi.. so what?
Jalan cerita boleh simple, sepanjang pesan moral
yang ditampilkan dalam. Juga dibuat dengan cita rasa seni yang tinggi. Bukankah
dalam kehidupan nyata masalah juga jarang datang dalam skala kolosal, namun
seringkali memberikan efek yang kolosal di hati & pikiran orang-orang
yang mengalaminya?
Sebagai penonton, saya punya subyektifitas.
Kalau boleh mengungkapkan, disamping banyak hal
yang saya kagumi dari Pendekar Tongkat Emas, ada juga beberapa hal yang saya
kurang suka:
Warna pakaian & set yang kurang cerah
Penata artistik Eros Eflin berusaha
maksimal dalam menampilkan unsur budaya lokal Sumba. Rumah, tarian, aksesoris
& ‘batik’ Sumba. Bagus, tentu. Namun warna-warnanya kurang ‘berani’,
kurang cerah. Sebagian didominasi warna-warna coklat, krem & hitam.
Kemungkinan besar, itu memang warna yang banyak dipakai di budaya Sumba. Hanya
saja akhirnya, film ini kelihatan suram.
Setting lokasi yang kurang kolosal/kurang megah
Seperti sedikit disinggung diatas, jalan cerita
film ini memang cukup sederhana. Salah satu faktor yang membuat set juga
menjadi terbilang sederhana. Yang menonjol hanya beberapa rumah kayu &
sebuah panggung kayu tempat kompetisi bela diri.
Penampilan Pemandangan Alam Yang Terlalu Banyak
Oke, nampaknya para pembuat film ini ingin mempromosikan tanah Sumba yang memang sangat elok. Namun, apa yang nampak di pengamatan saya, sedikit kebanyakan ditampilkan. Hampir tiap beberapa menit sekali, lanskap padang rumput atau sungai atau perbukitan, dsb. muncul sebagai intercut. Membuat cerita terasa seperti kurang 'padat'.
Adegan ciuman bibir yang terang-terangan
Oke, nampaknya para pembuat film ini ingin mempromosikan tanah Sumba yang memang sangat elok. Namun, apa yang nampak di pengamatan saya, sedikit kebanyakan ditampilkan. Hampir tiap beberapa menit sekali, lanskap padang rumput atau sungai atau perbukitan, dsb. muncul sebagai intercut. Membuat cerita terasa seperti kurang 'padat'.
Adegan ciuman bibir yang terang-terangan
Maaf, boleh katakan saya kuno. Tapi, bagi saya
itu penting. Masalahnya kita adalah orang beragama, dimana menurut petunjuk
kitab suci kita tak boleh melakukan itu sebelum menikah—sedangkan kedua tokoh
yang memerankan itu tidak dalam peran mereka sebagai suami istri.
Sudah selayaknya agama & seni harus bisa
kita selaraskan dalam kehidupan, khususnya karena ini adalah media yang sangat
besar pengaruhnya dalam mempengaruhi penonton. Jangan sampai hal yang tidak
tepat menjadi sesuatu yang lumrah/wajar di masyarakat, okay? :-)
Figuran & Pemain cilik wanita yg kurang
menghayati peran
Mungkin ini memang bukan hal yang krusial. Namun
tetap saja mengganggu kenikmatan kita menghayati adegan yang sedang
ditampilkan. Dikala para pemeran utama terlarut dalam emosi, ekspresi mereka
nyaris datar-datar saja. Bisa dimaklumi bahwa para figuran adalah masyarakat
lokal yang buta akting, sementara sutradara ingin melibatkan mereka agar film
ini tak terkesan sebagai “filmnya orang Jakarta yang syuting di Sumba”, tetapi
betul-betul film tentang kehidupan masyarakat di Sumba. Namun saya rasa, di
situlah salah satu letak tantangan bagi sutradara.
Segala kritik & pendapat subyektif saya
diatas tentu tak sedikitpun bermaksud untuk meremehkan kerja keras seluruh
pemeran & kru yang terlibat. Pendekar Tongkat Emas tetaplah sebuah
karya anak bangsa yang bagus, & sangat layak untuk disaksikan di
bioskop, maupun kelak dalam format DVD original.
Ia membawa pesan moral yang bagus, visual yang
menyejukkan mata, & pengetahuan yang bermanfaat.
Juga teladan dari balik layar, disebabkan film
ini adalah cerminan totalitas yang harus diapresiasi. 8 bulan para pemeran
berlatih bela diri bersimbah peluh, luka & lebam, & mega bujet
25 Milyar! Wow, hebat !!!
Salut untuk siapapun yang terlibat dalam
produksi film Pendekar Tongkat Emas, & saya berharap suatu saat dalam
waktu dekat ini, bisa bergabung bersama anda semua dalam produksi film-film nasional
berkualitas. :-)
Amin!
Berikut saya tampilkan Video Diary / Behind The
Scenes dari Pendekar Tongkat Emas. Mudah-mudahan bisa semakin bisa memberikan
gambaran lengkap mengenai proses produksi film ini.
Review lain: Dunia Silat Pendekar Tongkat Emas
Pendekar
Tongkat Emas (The Golden Cane Warrior)
Produksi : Miles Films & KG Studio
Sutradara : Ifa Isfansyah Penulis Skenario : Jujur Prananto, Seno Gumira Ajidarma,
Mira Lesmana, Ifa Isfansyah.
Producer : Mira Lesmana
Co-Producer : Riri Riza
Executive Producers : Agung Adiprasetyo, Bimo Setiawan
Co-Executive Producers : James F. Entong, Niken Rahmad
Associate Producer : Robin Moran
Action Choreographer : Xinxin Xiong
Sinematografi : Gunnar Nimpuno
Penata Artistik : Eros Eflin
Editor : W. Ichwandiardono
Penata Musik : Erwin Gutawa
Penata Suara : Satrio Budiono, Yusuf Patawari
Penata Kostum : Chitra Subiyakto
Penata Rias : Jerry Oktavianus