Minggu, 11 Maret 2012

Pengorbanan Heroik Prajurit Remaja


Hai filmmaker mania..
Kali ini saya mau membahas sebuah film berjudul 71 Into The Fire, produksi Taewon Entertainment, Korea Selatan. Bukan, bukan film drama atau komedi romantis, teman-teman. Tetapi sebuah film perang. Ya, negeri ginseng itu kembali membuktikan kemajuan industri perfilmannya, dengan memproduksi genre film yang terkenal tinggi tingkat kesulitan & kompleksitasnya itu. Mereka berhasil membuatnya dengan sangat baik, sehingga hampir menyamai kualitas film sejenis produksi Hollywood. Apalagi mengingat latar belakang film ini adalah masa perang dunia kedua, yang tentunya membutuhkan riset mendetail untuk mendapat tingkat akurasi yang tinggi.
Garis besar ceritanya adalah sebagai berikut:
Tahun 1950, Korea Selatan yang didukung Amerika Serikat baru 5 tahun merdeka. Pertentangan ideologi dunia antara komunis & demokrasi begitu kental terasa antara negara itu dengan tetangganya, Korea Utara. Kontak senjata sesekali terjadi. Seperti pada bulan Juni, tentara yang didukung Soviet itu telah mendekati perbatasan Korea Selatan & menyerang dengan kekuatan besar. Walau didukung Amerika, tentara Selatan yang kalah jumlah tetap kesulitan mempertahankan diri. Jumlah korban sangat banyak, sehingga banyak tenaga sukarela terpaksa dikerahkan untuk membantu. Tak terkecuali remaja belasan tahun para pelajar SMA. Oh Jung Bum (diperankan member boyband Big Bang, T.O.P) satu diantara mereka. Di medan perang, tugasnya mengantar tambahan amunisi bagi para prajurit di garis depan pimpinan kapten Kang (Kim Seung Woo). Ditengah deru senapan mesin, peluru yang berterbangan & ledakan bom, ia mati-matian mengalahkan rasa takutnya demi melaksanakan tugasnya itu.

Tak berapa lama datang bala bantuan, para pelajar sekolah menengah sejumlah 65 orang. Mereka ditugaskan di SMP Wanita Pohang. Datang pula 3 narapidana remaja yang divonis karena kasus pembunuhan, yang dipimpin Kap Jo (Kwon Sang Woo) yang kasar & sombong. Oh Jung Bum bersama 2 rekannya ditugaskan memimpin mereka. Bukan karena lebih ahli, melainkan karena telah pernah terjun ke medan perang. Disinilah perjuangan yang sesungguhnya dimulai. Suatu saat, daerah sungai Nakdong yang vital untuk pertahanan benar-benar membutuhkan tambahan pasukan. Mau tidak mau, pasukan kapten Kang harus membantu. Seluruhnya, tanpa 1 orangpun bisa tinggal. Terpaksalah, 71 orang itu harus bahu membahu berusaha mempertahankan daerah sekolah itu agar tak jatuh ke tangan musuh. Minim pengalaman, usia yang masih sangat muda, bahan makanan yang terbatas dengan musuh didepan mata, menjadi tantangan yang berat bagi Oh Jung Bum dkk. Terlebih lagi karena ulah Kap Jo & 2 temannya yang sering bertingkah sembrono & memancing keributan. Tetapi, mereka tak punya pilihan lain. Terpaksalah mereka berusaha maksimal mengatasi keadaan pahit itu, & siap bertahan mati-matian saat pasukan Utara akhirnya sampai didepan mata. Dengan segala bangku, meja & apapun yang bisa didapat dari sekolah, mereka membuat barikade sederhana di halaman sekolah. Bom-bom molotov juga dipersiapkan. Pasukan dibagi menjadi 2 divisi. Satu bertahan didalam sekolah, satu lagi dibelakang barikade. Akhirnya, pasukan Utara menyerang, pada 11 Agustus 1950. Dengan keberanian mengagumkan, para remaja itu bertahan mati-matian. Namun, kuantitas maupun kualitas pasukan Utara jelas tak tertandingi oleh anak-anak muda yang sebelumnya hanya pernah memegang buku & pena itu. 71 prajurit remaja itu nyaris habis terbantai, saat pasukan Kang akhirnya berhasil tiba membantu. Betul-betul sebuah kisah yang sangat heroik & menyentuh nurani..
Menurut saya, sutradara Lee Jae Han (John H. Lee) berhasil menyuguhkan kombinasi drama & action dengan pas tanpa dramatisasi yang berlebihan. Kepolosan & keriangan anak-anak remaja berhasil ditampilkan natural, tanpa merusak suasana ketegangan di saat-saat genting yang terus dijaganya sepanjang cerita. Akting para pemainnya juga cukup baik, terutama.. yang memerankan Kap Jo. Setting Korsel dimasa perang dunia II terbangun dengan apik. Satu hal yang cukup menonjol, tentu, pada adegan perangnya yang mengingatkan saya akan film sejenis seperti Saving Private Ryan. Dahsyat, & nyata. Peluru-peluru beterbangan, ledakan terjadi dimana-mana, para prajurit yang terlontar terkena granat, bahkan mobil yang terbang terkena mortir. Skenario perang digarap dengan rinci: siapa-siapa dulu yang tertembak, apa reaksi rekan korban, siapa & disisi mana berikutnya yang beraksi, dst.. sehingga langkah demi langkah perang bisa begitu dramatis & nyata ditampilkan. Menunjukkan kegigihan prajurit remaja dalam bertahan menghadapi pasukan lawan yang terus membombardir & maju sedikit demi sedikit.
Bicara tentang kekurangan, dalam film sebagus apapun juga pasti ada. Tak terkecuali film ini. Dalam adegan perang misalnya, saya melihat sedikit kejanggalan. Para tentara yang terlatih bertahun-tahun nampak begitu mudah terbantai oleh anak-anak yang sangat minim pelatihan perang. Seperti dalam salah satu adegan terlihat, Kap Jo nampak begitu lihai berlari sambil menembakkan senapan mesinnya meninggalkan lawan-lawan yang bergelimpangan. Apalagi sebenarnya salah satu kakinya sedang sakit karena tertembak. Beberapa ledakanpun hampir terlihat seperti sekedar efek, karena sesekali terlihat ledakan itu hanya memberikan “cipratan”/terpaan material saja pada pemain tanpa menimbulkan cedera pada yang bersangkutan. Karakter seorang perawat wanita yang hadir diawal cerita cukup ‘menyegarkan’ film yang kental dengan kekerasan ini. Namun disayangkan, kehadirannya hampir seperti sekedar tempelan, karena tak mempunyai andil signifikan terhadap keseluruhan jalan cerita.
Singkat kata, saya memberikan 3 setengah bintang untuk film ini, dari 5 bintang untuk kualitas ‘sangat bagus’. Sekali lagi saya katakan, film ini sekali lagi membuktikan keunggulan industri film Korea yang lambat laun menjadi ‘macan Asia’ menyaingi Hongkong, yang kini justru menurun bila dibandingkan kejayaan Andy Lau dkk di tahun 90an dulu..

Note: jangan nonton bajakan ya.., dosa ☺. Rental video seperti Ultradisk menyediakan film ini.