Kamis, 30 Desember 2010

Teknologi di Balik Pembuatan Film "Avatar"


PENERAPAN teknologi 3 dimensi (3D) paling mutakhir di dunia perfilman serta pemanfaatan kemajuan teknologi storage menjadikan film "Avatar" yang disutradarai oleh James Cameron mampu menampilkan potongan-potongan gambar apik, yang membuat setiap orang begitu tercengang saat melihat hasil gambar yang ditampilkan, boleh dikatakan sangat sempurna.
Jika Anda beranggapan bahwa ras NaVi (makhluk non-manusia penghuni Pandora berwarna biru) yang ada di film ini merupakan aktor atau aktris dengan tata rias yang bagus, Anda harus berpikir ulang. Tokoh-tokoh NaVi yang ada di film ini sepenuhnya merupakan animasi CGI. Efek visual, animasi 3D, dan CGI yang sangat hebat. Film ini diproduksi oleh perusahaan yang berpusat di California, LightStorm Entertainment, bekerja sama dengan Weta Digital asal Selandia Baru. Keduanya berkolaborasi guna memproduksi efek visual dengan menggunakan teknologi CGI (computer-generated imagery).
Untuk memproduksi efek visual serta animasi CGI di film-film terlaris dunia, perusahaan membutuhkan storage dengan kapasitas dan performa yang sangat tinggi. WETA Digital, perusahaan efek visual digital yang bermarkas di Wellington, New Zealand, mengandalkan teknologi storage berperforma tinggi dari Ne-tApp dan Aspera Enterprise Server (AES) untuk menampung dan memproses render farm mereka yang sangat besar. Storage berperforma tinggi dari NetApp mampu mem-feed lebih dari 40.000 CPU Core dengan kapasitas RAM hingga 104 terabytes dan dapat mengoptimalkan backbone jaringan storage 10 GbE (Gigabit Ethernet). Gigabit Ethernet (GbE atau 1 GigE sebenarnya adalah 1,25 Gbps) adalah istilah untuk menjelaskan teknologi transmisiyhime Ethernet di ringkat gigabit per detik, seperti yang ditetapkan . oleh standar IEEE 802,3-2.005.
WETA Digital juga menangani efek visual, animasi, dan CGI untuk film trilogi "Lord of The Rings", "King Kong" (2005), "X-Men The Last Stand" (2006), "District 9" (2009), dan masih banyak lagi film-film top box office lainnya.Selain "Avatar", teknologi storage NetApp juga digunakan untuk mengerjakan film-film animasi dari studio Pixar, seperti "Up" (2009), "Wall-E" (2008), "Cars" (2006), dan "Finding Nemo" (2003). Selain Studio Pixar, film-film animasi besutan studio Dreamworks Animation, seperti "Shrek" (2001), "Shrek 2" (2004), dan "Madagascar" (2005), juga me-mercayakan storage-nya kepada NetApp.
Awal era ti dan Blu-ray
Apa dampak dari film karya James Cameron yang jadi hit di mana-mana bagi dunia hiburan rumahan? "Avatar" yang menelan biaya produksi dan pemasaran mendekati 500 juta dollar AS, menggunakan seni efek teknik tinggi 3 Dimensi untuk menghasilkan sebuah visual menakjubkan dari dunia lain. Latar belakang, bukan alur cerita, adalah titik penting yang dijual. Banyak pengamat menilai, Hollywood akan kebanjiran film bertema serupa yang memanfaatkan teknologi 3D.Dalam beberapa bulan terakhir, industri elektronik telah membangun kerangka guna menjual hiburan 3D untuk hiburan di rumah-rumah. Blu-Ray Disc Association (BDA) telah mengumumkan spesifikasi untuk konten io8op full Blu-Ray.
Sementara produsen TV besar lainnya berharap, TV 3D akan menjadi produk besar berikutnya yang akan dinikmati masyarakat. Sony, misalnya, meramalkan bahwa teknologi 3D akan merambah 30-50 persen dari semua produk TV sampai tahun 2012. Blu-ray yang akan menjadi penggerak dan pelopornya adalah film "Avatar" yang akan menggugah selera konsumen akan hiburan 3D rumahan. Memang, "Avatar" identik dengan 3D, meski sebenarnya film 3D bukanlah hal baru. Teknologi 3D digunakan untuk benar-benar mengubah pengalaman bercerita yang membawa penonton seolah-olah tengah mengunjungi lokasi film. Sementara 3D Blu-ray dapat menciptakan pengalaman mendalam yang sama, dengan totalitas 3D tinggi layaknya seperti "Avatar". Namun, apakah film 3D cukup siap untuk mengadopsi teknologi 3D yang memerlukan investasi dan daya beli konsumen yang signifikan, termasuk untuk HDTV, 3D Blu-ray player, beberapa pasang kacamata 3D, dan speaker surround-sound.
*** Toni Irawan, praktisi IT.
sumber: http://bataviase.co.id/21 Jan 2010

Jumat, 24 Desember 2010

Dari penulis 'Para Pencari Tuhan'

Hai filmmaker mania..

Sebentar browsing malam ini, saya menemukan sebuah artikel yang sangat, sangat menarik.. khususnya bagi rekan yang disamping suka film, suka juga membuat naskah skenario. Sebuah artikel yang ditulis pak Wahyu HS tentang pengalamannya menulis skenario dari serial sinetron yang sangat populer di negeri kita. Membaca artikel dari penulis senior kita ini (mulai terjun sebagai penulis profesional sejak tahun 1994!), saya sungguh merasa kecil. Betapa untuk membuat cerita menjadi menarik, beliau sampai harus memikirkan dengan sangat serius kata-kata apa yang harus/pantas diucapkan seorang tokoh sesuai dengan karakternya & kaitannya dengan jalan cerita, dimana kata-kata itu harus cukup kuat & memorable. Kalimat yang saya cetak tebal dibawah ini adalah hal-hal lain yang saya kagumi dari pemikiran pak Wahyu HS ini, yang semakin menunjukkan hebatnya kreativitas beliau. Sungguh seorang penulis (& seniman) yang sangat berbakat, & layak menjadi contoh bagi kita dalam berkarya.. Berikut artikel itu, saya salin dari situs Write.Inc.

Beberapa rekan penulis bertanya kepada saya, bagaimana dan dari mana saya bisa menuliskan adegan dan dialog-dialog yang, menurut mereka, kuat dan memorable dalam serial "Para Pencari Tuhan". Dengan bercanda saya jawab, "Ya harus bisa, dong. Saya kan penulis." Saya buru-buru minta maaf karena ternyata mereka serius dengan pertanyaan itu. Saya terpaksa mengingat-ingat kembali, bagaimana semuanya itu tertulis di dalam komputer saya. Sebagian besar saya sudah lupa prosesnya, tapi sebagian lagi saya masih ingat. 


Untuk pemilihan tema dan topik, biasanya merupakan hasil diskusi dengan tim kreatif saya (Bang Diding Jacob, HAMBA, Kang Arief, Albert Hakim, Farrel M. Rizqy, Amiruddin Olland, dan Veronica Grensilia), sebagian lagi dari diskusi informal dengan istri, teman, supir taksi, atau kru sinetron, yang bukan bagian dari tim kreatif, sebagian lagi hasil diskusi dengan diri saya sendiri.

Misalnya, pada episode yang memunculkan tokoh Asrul untuk pertama kalinya. Tokoh ini cukup terpelajar tapi tidak trampil mencari uang hingga kesarjanaannya hanya menghasilkan ijazah, bukan uang. Untuk menggambarkan betapa miskinnya tokoh ini, ada beberapa pilihan: banyak hutang, menjadi peminta-minta, atau dilanda kelaparan yang amat sangat. Pilihan-pilihan tersebut menurut saya sangat klise dan tidak menyengat. Lalu, saya tanya, jika kalian jadi orang miskin yang jobless dan nggak punya apa-apa lagi, mau jual apa? Ada yang jawab, jual anak. Menarik, tapi terlalu kejam. Tim kreatif saya mulai capek dan kesal, lalu ada yang nyeletuk, "Jual genteng aja." Saya langsung pilih itu. Maka, jadilah tokoh Asrul yang sudah frustrasi itu menjual dua potong genteng rumahnya sendiri untuk makan keluarganya. Pada momen ini, saya menemukan bahwa tokoh Asrul adalah orang yang tidak kreatif dan cenderung bersikap ekstrim. Logis jika kemudian dia (pada beberapa episode berikutnya) makin ngawur dan menjual imannya demi uang beberapa ratus ribu rupiah saja. Saya melihat tokoh Asrul belum sampai pada titik didih tertingginya dalam menghadapi kemiskinannya. Maka, di episode Nuzulul Qur'an (eps 17), saya arahkan tokoh ini untuk menawari istrinya bercerai dan mencari suami yang lebih baik. Sang istri yang solekhah itu menjawab sambil mengangkat Qur'annya, "Kalau saya tidak berpegang pada kitab ini, sudah saya tinggalkan abang, anak-anak, dan rumah buruk ini."

Tokoh Asrul menjadi kian frustrasi dan menganggap Allah hanya ingin mempermainkan dan mempermalukannya saja hingga terlontarlah ucapan, "Apakah Tuhan telah hilang? Laa illah!" Selebihnya adalah permainan dialektika yang saya sandarkan pada jawaban-jawaban Al Qur'an untuk merespon "gugatan" Asrul kepada Allah, yang diwakili oleh tokoh Bang Jack. Ia antara lain menjawab, "Tuhan tidak pernah hilang. Kitalah yang terpejam. Mata hati kita yang terpejam." Sebuah paksaan untuk melakukan introspeksi.

Ada pula plot menarik yang dipicu oleh keisengan, yakni plot Hansip menemukan bayi. Kami sedang iseng berencana "menjebloskan" Udin sang Hansip ke dalam situasi serius. Berhubung dia hobi mencari peruntungan di jalanan dengan berharap menemukan uang jatuh, maka langsung saja terlontar sebuah ide: Udin menemukan bayi. Muncul pertanyaan, bayi itu kemudian mau kita apakan? Tak butuh waktu lama untuk berpikir … pasangan Ustadz Ferry dan Haifa yang belum dikaruniai anak. Ini akan menawarkan plot tambahan yang menarik di episode-episode mendatang. Namun, momen penemuan bayi itu belum punya dialog yang bisa memperkuat atau memperlucu kesan yang ditimbulkan. Kami sudah punya adegannya, yaitu Hansip disidang oleh pengurus RW ihwal penemuan bayi itu. Alih-alih dipuji, sang Hansip malah seperti dipojokkan karena seharusnya dia tidak lewat jalan itu. Amir, anggota tim kreatif saya, punya jawaban lucu untuk sang Hansip, "Biasanya juga nggak nemu bayi!" Inilah dialog yang saya butuhan. Sederhana kalimatnya, tapi aneh pijakan berpikirnya. Hehehe ….

Tokoh Bonte merupakan ketidaksengajaan ketika "harus" diperpanjang episodenya. Awalnya saya hanya ingin menampilkannya satu episode saja untuk memberi efek tekanan emosional kepada tokoh Asrul dan Hansip dengan ledekannya "Cieee, ciee, cieee." Ternyata, banyak penonton yang menyukai tokoh Bonte. Ya sudahlah, kami perpanjang saja kemunculannya menjadi beberapa episode.

Salah satu plot yang menjadi favorit saya dalam serial "Para Pencari Tuhan" adalah percintaan tokoh Aya dan Azzam. Mereka adalah dua orang yang saling mencintai. Jika mereka berpacaran dengan penuh kasih sayang dan saling pengertian, maka saya akan sangat bosan menulisnya dan mungkin plot mereka hanya bertahan dua-tiga episode saja. Saya harus mendapatkan formula tertentu yang membuat hubungan mereka menjadi unik dan tidak membosankan, khususnya untuk saya sendiri. Apa yang bisa menyatukan mereka? Cinta? Semua orang berpikiran seperti itu dan tidak unik lagi. Hingga suatu saat, tak sengaja saya melihat foto Presiden Cuba, Fidel Castro, di sebuah majalah bekas. Castro adalah musuh bebuyutan para presiden Amerika, begitu pula sebaliknya. Kedua pihak senantiasa bertemu dalam konflik-konflik yang seakan tak berujung. Mereka dipertemukan, bersilaturakhim secara buruk, melalui kebencian, dari jaman ke jaman. Mereka saling serang, saling provokasi, saling benci, dan saling terobsesi. Tak penting lagi siapa yang akan muncul sebagai pemenang, tapi kisah Castro dan para presiden Amerika selalu menarik untuk dinikmati. Lalu, saya teringat pada PR saya tentang plot Aya dan Azzam.

Begitulah … kedua tokoh dalam "Para Pencari Tuhan" ini tampil sebagai dua pecinta yang selalu bertemu untuk saling menyerang, saling menyakiti. Aya dan Azzam dipersatukan bukan oleh cinta, melainkan oleh kebutuhan untuk membenci. Mereka adalah dua pecinta yang berpacaran dengan cara yang aneh. Wawasan agama, kekuatan kepribadian, dan intelektual merekalah yang kemudian membuat hubungan itu menjadi "indah". Sesekali tokoh Aya harus menampar Azzam yang kurang ajar, itu hanyalah alternatif kontak fisik untuk menggantikan adegan berciuman, yang tidak mungkin saya tulis di dalam sinetron-sinetron saya. Level agama dan intelektual yang sama dari kedua tokoh ini membuat mereka seimbang dalam perang dialog. Suatu saat Azzam menang, di saat lain Aya di atas angin. Kalaupun Aya harus membuka rahasia kecil hatinya dengan menangis, dia harus menangis dengan sangat indah. Dia kalah dengan kecantikan yang bertambah. Dalam konsep kreatif saya, tokoh-tokoh pria boleh tunggang-langgang berkubang lumpur porak-poranda dan menjadi sangat jelek, tapi tokoh-tokoh perempuannya harus tetap indah meski terpuruk sama dalamnya.

Menjelang episode-episode terakhir, saya berpikir keras mencarikan cara bagi tokoh Azzam untuk melakukan "pukulan telak" kepada Aya, yang sulit sekali ditaklukkan. Kedua tokoh ini terlanjur kuat dan nyaris sulit saya kendalikan. Jika tokoh Aya dan Azzam tak bisa dikendalikan lagi, maka saya sebagai penulis skenarionya akan tampak sangat tolol. Lewat tengah malam saya pulang kantor dengan tubuh letih dan pikiran kusut. Plot Aya dan Azzam macet dan terancam hambar justru di episode terakhir. Saya tahu, hanya butuh satu dialog kuat untuk mengakhiri plot mereka dengan manis hingga Aya mau mengalah. Tapi, dialog itu sedang jual mahal. Makin dicari, makin ngumpet. Saya jengkel sendiri dan menyandarkan jidat ke kaca jendela taksi dan berpikir iseng. Selama beberapa episode, Aya sudah banyak menangis. "Kalo dikumpulin, mungkin dapet seember. Bisa buat mandi." Saya tersenyum sendiri oleh bersitan dialog itu. Ini lucu, tapi lebih tepat diucapkan oleh tokoh Udin (Hansip). Bukan Azzam. Azzam lebih elegan, lebih berpendidikan, lebih beragama. Jika melihat airmata sebanyak itu, tentunya dia tidak berpikir hanya tentang "mandi". Dia akan berpikir tentang hal lain yang lebih "berarti". Menyiram kembang? Memberi minum anjing kehausan? Berwudlu?
Saya tersentak dan buru-buru menyuruh sopir taksi menghentikan mobil. Dengan perasaan heboh, saya tulis di buku catatan saya dialog terakhir untuk Azzam , yang akan menunjukkan kepada Aya bahwa Azzam sudah melakukan semua yang bisa dilakukan untuk menebus kesalahannya. Tidak layak lagi jika Aya belum mau memaafkan dan melupakan. Maka, dialog itu adalah, "Apalagi yang bisa kulakukan untuk memuaskanmu? Jika syariat membolehkan, akan kupakai airmatamu untuk berwudlu."

Malam itu saya bisa tidur nyenyak dan keesokan harinya selesailah skenario "Para Pencari Tuhan" episode terakhir. Ternyata, belum benar-benar berakhir. Tokoh Bang Jack jadi masalah. Bagaimanapun, Bang Jack adalah tokoh utama. Dialah yang harus mengakhiri serial ini dan saya sudah memutuskan untuk menghindari "a total happy end". Pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan, cerita harus dikembalikan kepada plot utama: Bang Jack dan ketiga muridnya yang mantan narapidana itu: Chelsea, Barong, dan Juki. Maka, Chelsea dijemput oleh utusan mantan istrinya untuk datang dan mendengarkan sebuah keputusan penting. Barong dikabari oleh Linda tentang abangnya yang ditembak polisi. Ia harus pergi menjenguknya ke rumah sakit. Hanya Juki yang berakhir lebih menyenangkan. Dia dipanggil pulang oleh emaknya yang sudah bisa menerimanya. Kepergian ketiga orang ini, bagi Bang Jack, menimbulkan rasa gamang. Ketidakpastian. Akankah mereka kembali setelah menemukan hal yang lebih "berarti" di luar sana? Mana pula seharian tadi mereka ngambek karena Bang Jack, yang sudah dianggap sebagai aba, tak bisa menyediakan hidangan khas lebaran seperti di keluarga normal. Bang Jack tertinggal seorang diri di mushola kecilnya, menata makanan yang sudah seharian tadi diimpikan dan diributkan oleh ketiga muridnya. Lalu lelaki tua itu melangkah ke teras memandang langit malam dan bergumam, "Anak-anak gue pulang nggak, ya?" Deddy Mizwar menambahkan alunan takbir dan membuat ending itu terasa meresap dan syahdu.

It's a wrap! Alhamdulillah ….
Seminggu telah berlalu dari episode terakhir, saya harus mulai menulis sekuel "Para Pencari Tuhan 2". Deg-degan sih, tapi dengan "bismillah" saya harap bisa menyelesaikannya dengan baik. Insya Allah. (WAHYU HS)

Selasa, 14 Desember 2010

SETENGAH HATI

Hai filmmaker mania...

Hari ini saya menemukan artikel bagus karya mas Raya Fahreza yang pas sekali menggambarkan spirit sebagian produser film nasional kita. Silahkan baca, hingga kita bisa mengerti alasan kenapa satu tema/genre film tertentu bisa merajai layar bioskop kita selama bertahun-tahun (!)

Berikut artikelnya:

Alkisah, jagoan kita seorang penulis muda menemui Pak Bos, sang produser eksekutif, untuk mengajukan skenario yang selama ini menjadi obsesinya. Bosan menulis genre yang sudah-sudah, kali ini penulis kita membuat yang beda. Ceritanya ia ingin sekali menunjukkan bahwa ia bukan cuma penulis cerita pocong dan kuntilanak. Dan karena Pak Bos ini kemaren sering bilang, “Ayo dong, kita bikin yang beda, yang baru,” penulis kita jadi merasa nggak terlalu muluk untuk mengajukan sebuah psychological thriller tentang makhluk luar angkasa yang mendarat di Jakarta dalam misi untuk menguasai bumi. Ahem. Oke deh.

Fast forward ke kantor sang produser, penulis kita sudah di sana. Karena mood mungkin sedang bersemangat, bos kita manggut-manggut membaca sinopsis yang diajukan.

“Bagus nih, menarik, belum ada kan film kita tema beginian?”

Ah. Tema beginian. Nggak apa, minimal dia lihat bedanya. Penulis kita tersenyum.

“Pastinya belum ada, Pak. Makanya, kan Bapak minta yang beda, nah ini usulan saya, dan kalau Bapak baca, ini sebetulnya genre psychological thriller, saya pingin seperti film David Lyn-...”

Belum selesai penulis kita bicara, Pak Bos sudah memotong lagi.

“Tapi ini mesti di… Apa tuh namanya, localize gitu, Mas. Penonton kita itu belum biasa kan sama tema alien-alien gini.”

Sudah menduga, penulis kita dengan yakin menyambut masukan Pak Bos.

“Setuju sekali, Pak. Saya kepikiran gitu juga, dan sama temen-temen udah riset tentang hal-hal sekitar UFO atau alien di Indonesia, ternyata banyak Pak, cerita-cerita tentang ini.”
“...intinya kan makhluk jadi-jadian lebih dekat sama budaya kita, tapi kan kamu bisa campurin unsur alien-nya di situ.”


Sambil berlanjut cerita, penulis kita menyerahkan kliping hasil print out keren berbagai artikel tentang UFO di Indonesia hasil browsing di internet. Dari artikel berita, blog, foto, sampai diskusi Kaskus lengkap di kliping itu. Cukup meyakinkan. Pak Bos melihat-lihat tiap lembar, ekspresinya tidak terlalu tertarik, manggut-manggut dan akhirnya mengutarakan pendapatnya.

“Ada juga ya rupanya, Mas. Tapi saya rasa mending kita bikin jadi ada hubungannya ke yang tradisional.”

Tradisional. Penulis kita mikir, lalu sambil tetap tersenyum dan percaya diri bertanya. Pembahasan yang sesungguhnya pun dimulai.

“Tradisional gimana pak? Maksudnya jangan terlalu modern?”
“Ya tradisional, kita bawa ke yang udah akrab sama masyarakat, kan banyak cerita makhluk-makhluk serem yang pernah kedengeran.”
“Ngg… Makhluk serem, tapi bukan klenik kan pak?”
“Yah, apalah namanya istilahnya, intinya kan makhluk jadi-jadian lebih dekat sama budaya kita, tapi kan kamu bisa campurin unsur alien-nya di situ”.
“Nggak malah jadinya horor lagi ya, pak? Saya kira kemaren bapak pengen yang beda.”
“Ooooh, nggak, ini tetep beda, saya suka konsepnya, cuma kita mesti bikin untuk pasar.”

Pasar. Mampus.

Penulis tersenyum manyun karena sudah bisa melihat arahnya ke mana. Mending coba cek dulu, seberapa serius pak bos untuk bikin yang beda. Saatnya bertanya soal budget. Pak Bos juga tahu pasti bakal butuh anggaran lebih untuk special efffects dan segala macemnya. Tapi belum sempat nanya, Pak Bos sudah ngomong duluan.

“Dan karena ini gambling banget, saya juga budgetnya nggak mau gede-gede ya.”

Dengan sigap penulis menyambut. Harus cerdik, bandingkan dengan film besar, supaya nggak terkesan mahal.

“Oh nggak kok Pak, nggak lah, jauh dibanding bikin film kolosal tentang sejarah atau perang kemerdekaan. Ini saya perkirakan cukup enam mil-…”

“Saya maunya kita bikin yang 300 ribu penonton udah aman balik modal. Budget sekitar 2 M lah. Jadi nanti nggak usahlah bikin scene-scene gede, terus efek yang simpel aja, yang penting orang tahu – ooh ini filem orang planet.”

Filem orang planet. Belum mau langsung menyerah, penulis kita masih berusaha. Dikit.

“Mmm… Sayang dong, Pak. Masak kayak efek di sinetron Jin dan Jun, he he he…”
“Nggak segitunya lah. Lagian Mas juga ngerti kan. Lihat kondisi perfilman tahun ini, sekarang dapet 300 ribu penonton aja udah sukur. Sementara ini bukan tie pasar, gambling saya makin gede dong, ya jangan mahal-mahal lah produksinya ya.”.
“Oke… Tapi dari sisi genre psychological thrillernya, Bapak oke ya.”.
“Yang penting bikin banyak adegan yang bikin kaget gitu. Juga sexy dikit.”.

Penulis kita tersenyum. Menunduk sebentar, menarik napas, lalu melanjutkan.

“Gimana kalau judulnya Godaan Alien Jadi-jadian.”.
“Cakep.”.

Yak, kita pun kembali dari nol.


Sumber


Hahaha... saya ngakak abis membaca tulisan ini. Boleh dong, kita percaya sama mas Raya  yang udah terjun langsung sebagai praktisi.. Gimana dunia film kita mau maju ya.. :-(

Bagi para filmmaker mania, terus berjuang yuk, untuk masuk ke dunia professional filmmaking Indonesia.
dan buat layar-layar bioskop kita lebih 'berwarna' dengan beragam genre yang menghibur & membangun. Semangat !!!

Kamis, 02 Desember 2010

PADA KEMANA AKTOR-AKTOR LAGA INDONESIA?

Hai filmholic..

Siapa aktor laga (action) dunia yang kalian kenal? Jackie Chan, Jet Lee, Sylvester Stallone, Arnold Schwarzenegger, Dolph Lundgren, Jean Claude Van Damme, Steven Seagal, Bruce Lee, Donnie Yen, dsb. Benar, nggak sampai sedetik pasti nama-nama diatas langsung melintas di benak kalian. Tapi, siapa aktor laga Indonesia yang kalian ketahui? Barry Prima, Advent Bangun, George Rudy,.. terus, siapa ya?
Ya, ternyata memang jauh lebih mudah menyebut nama aktor laga dunia (Hollywood & Hongkong) daripada aktor laga lokal kita. Dan sekedar mengingatkan, 3 nama yang disebut diatas adalah aktor laga lokal era tahun 70an—awal 90an(!). Pada kemana para aktor laga Indonesia di 15 tahun terakhir? Bertapa di padepokan di puncak gunung, atau menunggu bakat istimewa yang belum dilahirkan? J Memang sih, untuk kelas sinetron sempat muncul beberapa nama seperti Dede Yusuf, sang wakil gubernur Jawa Barat sekarang dengan serial Jendela Rumah Kita & Jalan Makin Membara-nya (kalau tak salah ingat judulnya). Ada juga Henri Hendarto dengan Kucing2 Hitam, Willi Dozan dengan Deru Debu, Ari Wibowo dengan Jackie, Marcellino Lefrandt dengan… & Irwan Chandra dengan Buce Li. Hanya itu seingat saya. Itupun hanya beberapa tahun saja, beberapa puluh episode tayang ditelevisi. Tak cukup eksis untuk membuat mereka disebut aktor laga terkemuka. Ari Wibowo & Marcellino Lefrandt yang potensial menjadi the next Barry Prima & Advent Bangun, malah kemudian beralih ke sinetron2 bergenre drama keluarga. Dede Yusuf jadi birokrat, Willi Dozan seolah larut dengan masalah keluarganya, sementara Irwan Chandra sibuk dengan karir modelling & memimpin sebuah kantor perusahaan asuransi.

Hai para pendekar, dimana dedikasi kalian pada kerajaan film & sinetron laga yang pernah membesarkan kalian..!? Masa kalian rela tanah negeri kalian ‘dijajah’ para pendekar tanah seberang seperti Donnie Yen, Jacky Chan, Jason Statham, dll..!?
Sebelum saya kelepasan mencak2 karena fakta yang memprihatinkan ini (maaf, lebay.. :-) ), mungkin ada baiknya sekilas mengingat kejayaan dunia persilatan perfilman Indonesia. Rekan pembaca, Barry Prima, Advent Bangun & George Rudy selama 15an tahun karir mereka, total telah membintangi 50an judul film & beberapa sinetron. Kalau dirata-rata, 3-4 film setahunnya. Berarti pukul rata, sekitar 6 film laga yang diproduksi dalam kurun waktu tahun 1975—1990, mengingat tak selalu 3 aktor itu bermain bersama dalam 1 film. Bayangkan teman, 6 film laga dalam setahun, hebat bukan!? Untuk lebih membuat rekan2 pembaca salut, artikel ini rinci menjelaskannya.
Oh ya, hampir lupa menyebut Saur Sepuh. Film yang diangkat dari serial sandiwara radio terpopuler era 80-an karya Niki Kosasih ini sempat membuat para pemain pendukungnya seperti Fendi Pradana, Candy Satrio & Murti Sari Dewi begitu terkenal. Namun sayang

masa popularitas mereka tak berlangsung lama. Serial drama radio lain yang juga hampir sama fenomenalnya, Misteri Gunung Merapi, juga pernah mempopulerkan nama pemerannya (lagi) yaitu Fendi Pradana dalam versi film & untuk sinetron, Marcellino. Namun lagi-lagi, tak bertahan lama difavoritkan pemirsa.
Nampaknya saya harus memperluas cakupan pembahasan ini menjadi tidak sekedar mengenai aktor yang mayoritas filmnya bergenre laga, tetapi juga aktor yang sering memerankan adegan perkelahian di film2 non laga. Rano Karno, nama yang cukup menonjol di ‘kelas’ ini. Mantan bintang cilik yang menjadi idola remaja dimasa mudanya ini kerap memainkan adegan perkelahian di film2nya, dalam peran yang biasanya menghadapi para pesaing dalam memperjuangkan cinta seorang gadis. Saya ingat dulu saat masih kecil, sangat senang kalau program Film Cerita Akhir Pekan di TVRI menayangkan film-film sang wakil bupati Tangerang ini. Saya bela-belain menontonnya demi aksi berantem-nya itu, tak menghiraukan saran nenek untuk jangan tidur malam-malam :-)

Rumah produksi (PH) PT Diwangkara & PT Genta Buana Paramita sempat konsisten membuat sinetron2 laga semacam Mahabharata, Karmapala, Angling Dharma, dsb. pada awal tahun 2000an & mengorbitkan aktor2 yang piawai beradegan laga. Namun, walaupun sempat disukai pemirsa, saya ragu bahwa banyak pemirsa yang masih hafal nama2 para aktor itu. Tanpa bermaksud merendahkan kualitas sinetron hasil produksi PH2 tersebut, secara obyektif cukup banyak pemirsa yang berpendapat bahwa adegan2 laga yang ditampilkan dalam sinetron2 itu kurang original (terlalu banyak special effect & pergerakan kamera) sehingga kurang memuaskan untuk ditonton. Kurang ditunjang pula oleh penggarapan cerita & skenario yang baik. Mungkin itu salah satu faktor yang membuat para aktor2 laga pendukungnya kurang memorable dalam benak pemirsa.

Merantau, ini dia gebrakan yang ditunggu-tunggu. Sebuah film laga yang ditangani dengan serius, juga melibatkan aktor utama yang asli juara pencak silat nasional, Iko Uwais. Tak heran, film yang disutradarai sineas Inggris Gareth Evans ini begitu sukses menjaring penonton di tahun 2009. Saya sempat berharap, kesuksesan ini segera diikuti oleh film2 sejenis. Tapi, mengapa tidak terbukti?
Rekan-rekan pembaca, mungkin ada baiknya kita coba analisis sedikit tentang alasan dibalik kemunduran produksi film & sinetron bergenre laga dalam 2 dekade terakhir ini, khususnya yang berkualitas baik & disukai pemirsa :

  • Pertama, pasti disebabkan oleh sempat mati surinya dunia perfilman Indonesia pada dekade 90an. Kenyataan yang bisa dibilang sebagai tragedi ini menghantam dunia perfilman nasional secara umum sehingga jumlah produksi film merosot drastis, misalnya dari 115 film di tahun 1990 menjadi hanya 37 di tahun 1993. Munculnya stasiun televisi swasta, kualitas film import (Hollywood & Hongkong) yang semakin baik, maraknya pembajakan yang tak tertanggulangi oleh pemerintah & semakin beredar luasnya peralatan pemutar video rumahan ditengarai menjadi faktor2 utama penyebab malasnya masyarakat kita pergi ke bioskop menonton film nasional. Seharusnya, media televisi yang menampung hijrahnya para filmmaker layar lebar ke sinetron, memberi kesempatan pada para insan berbakat itu untuk membuat tema sinetron yang bervariasi genre-nya, sama seperti film di masa jayanya. Namun terbukti, opera sabun & komedi ringan ala Multivision Plus yang merajalela di masa itu. Sesekali ada sinetron laga, namun tak bertahan lama.
  • Kedua, Lack of Creativity & Courage dari para produser film & penyelenggara televisi swasta. Kurangnya kreatifitas & keberanian untuk menciptakan sesuatu yang berbeda karena takut tidak laku dijual. Mohon maaf, mungkin tajam kritik ini, tapi saya rasa memang begitu keadaannya. Kita lihat saja di televisi, bagaimana acara sejenis reality show, komedi tradisional, atau pencarian bakat dsb. memenuhi layar kaca serempak di hampir semua kanal, di suatu masa tertentu. Di layar lebar, bagaimana kesuksesan genre religius seperti Ayat2 Cinta segera diikuti oleh film2 sejenis. Para insan industri ini mudah larut dalam arus trend, kurang berani membuat sesuatu yang berbeda. Padahal terbukti, siapapun yang berani membuat sesuatu yang berbeda—sepanjang itu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya—hampir selalu menuai sukses besar. Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, Ayat2 Cinta & Merantau contohnya. Si Doel Anak Sekolahan untuk sinetron. Nanti deh, rekan pembaca lihat, sekali ada sinetron laga yang sukses besar, pasti langsung diikuti produksi sejenis.. 
Rekan pembaca, sebenarnya saya pribadi yakin bahwa film laga bisa bertahan, lebih dari genre lain bahkan. Alasannya, karena pemirsa pasti lebih suka nonton film laga di bioskop daripada nonton CD-DVD bajakan di DVD player di rumah. Selain itu, genre yang tak memerlukan konflik yang njlimet atau akting pemain yang luar biasa untuk membuatnya menjadi menarik ini relatif lebih mudah dipasarkan karena bisa dinikmati semua kalangan; dari anak SMP sampai kaum manula, dari para pekerja kerah biru sampai kerah putih. Sepanjang unsur sadistis diminimalisir, namun tanpa mengurangi kehebatan aksi laganya. Apa bisa film laga memuat unsur sadistis yang minimal? Bisa! Justru disitulah tantangan kreativitasnya.

Oleh sebab itu, saya punya saran buat para insan industri perfilman kita:

  • Bagi bapak2/ibu2 para produser, beranilah berinovasi. Mohon, jangan cuma mencari profit (instan?) lewat film2 low budget seperti komedi & horor sex. 
  • Bagi para calon aktor, bekali diri dengan skill bela diri agar siap main di genre laga, 
  • dan bagi the haves (kaum berpunya) agar mau melirik bidang usaha ini dengan mengajak sutradara & PH yang capable untuk memproduksi film laga. Nggak usah yang mahal dulu, buat saja yang semi drama dengan 4-5 pemain laga profesional (susah mendapatkannya?, ada komunitasnya kok di internet). Lalu, sewa aktor2 kita yang sehat & mau dilatih laga selama beberapa minggu sebelum syuting. 
Memang, membuat film/sinetron laga mungkin membutuhkan keribetan lebih dibanding genre lain, tapi ingat bahwa sepanjang dibuat dengan kualitas sekaligus tema yang beragam, penggemar genre ini akan selalu ada. Pernah dengar film2nya Jacky Chan rugi? Ya, kualitas & keragaman tema, itu kuncinya. Toh walaupun butuh skill khusus, ada juga sisi kemudahan dibanding menggarap genre lain: kualitas akting. Bukan saya menyepelekan pentingnya kualitas akting para pemeran, akting bagus selalu HARUS dalam setiap produksi film. Namun maksud saya, tidak harus meng-hire aktor papan atas seperti Acha Septriasa, misalnya. Atau Christine Hakim, Nicholas Saputra, Dian Sastro, dsb. Cukup, misalnya, para pemenang kontes kecantikan atau kebugaran yang berbakat & sedang mencari jalan untuk masuk ke industri hiburan, beri training akting, lalu.. jadi deh, aktor/aktris pembantu dari tokoh utama. Syukur2 kalau sudah memiliki dasar ilmu beladiri. Dengan catatan, aktor pemeran sudah kuat imagenya sebagai aktor laga papan atas.
Ayo, bikin film laga. Masyarakat Indonesia sudah merindukan aksi baku hantam yang khas Indonesia!

Berikut dibawah ini adalah daftar sebagian aktor laga yang pernah sangat populer di negeri kita, minimal aktor yang pernah beberapa kali beradegan laga, berikut sebagian film laga atau ‘bernuansa’ laga yang pernah mereka bintangi.
Aktor laga (berikut film2nya):
§ Ratno Timur : Si Buta dari Gua Hantu, dsb.
§ Dicky Zulkarnaen : Si Pitung van Batavia, dsb.
§ Rano Karno : Gita Cinta dari SMA, Anak2 Malam, dsb.
§ Barry Prima : Menumpas Teroris, 
Pasukan Berani Mati, dsb.
§ Advent Bangun : Rajawali Sakti, Si Buta Lawan Jaka Sembung, dsb.
§ George Rudy : Lebak Membara, Serigala Terakhir, 
dsb.
§ Johan Saimima: Ganesha, Komando Samber Nyawa, dsb.
§ Teddy Purba: Gundala Putra Petir, Jaka Tingkir, dsb.
§ Benny G. Rahardja: Lara Jonggrang, Tutur Tinular, dsb.
§ Fendy Pradana : Saur Sepuh, Misteri Gunung Merapi, dsb.
§ Candy Satrio : Saur Sepuh, Panther, dsb.
§ Dede Yusuf : Jalan Makin Membara, Reinkarnasi, dsb.
§ Henri Hendarto : Jalan Makin Membara, Kucing-Kucing Hitam, dsb.
§ Willi Dozan : Deru Debu(sinetron), dsb.
§ Ari Wibowo : Jacky (sinetron), dsb.
§ Marcellino Lefrand : Jackie, Jaclyn 1 & 2, Deru Debu, 
dsb.
§ Irwan Chandra : Buce Li (sinetron)
§ Roger Danuarta : Preman Kampus, Pengorbanan Anggun, 
dsb.
§ Marcellino : Misteri Gunung Merapi, dsb.
§ Iko Uwais : Merantau, dsb.

§ Yayan Ruhian: Merantau, The Raid, The Raid 2
§ Al Fathir Muchtar & Vino G. Bastian: Serigala Terakhir, dsb.
§ Ayuni Sukarman

Mohon maaf bila banyak yang terlewatkan. Untuk lengkapnya bisa mengunjungi IMDB.com, Wikipedia, kapanlagi.com atau situs2 lainnya.

Terima kasih.. sampai jumpa di artikel berikutnya..

bersambung ke Fajar Baru Film (Laga) Indonesia