Sabtu, 29 September 2012

Fajar Baru Film (Laga) Indonesia



Hai filmholic..
Kali ini saya ingin menyambung artikel saya “pada kemana aktor-aktor lagaIndonesia?” cukup terlambat bila dikaitkan dengan momen suksesnya The Raid: Redemption, memang. (Mohon maaf, karena saya baru sempat meluangkan waktu untuk menulis saat ini L )

Sobat filmholic,
Cukup banyak perkembangan terjadi dalam industri film kita sejak saya memposting artikel itu. Satu yang sangat menggembirakan—terlalu indah untuk jadi sebuah kenyataan, bahkan—adalah munculnya sebuah film nasional yang sukses di peredarannya di seluruh dunia. The Raid. Serbuan Maut.
Film itu seolah menjadi jawaban atas kerinduan saya untuk menyaksikan para aktor film laga nasional berjaya di layar perak.
Tidak cuma 5-10 fighter, tetapi puluhan!
Tidak cuma 40-50% adegan fighting, tetapi 90%!
Tidak cuma pencak silat, tetapi bermacam ilmu beladiri!
Tidak cuma sukses di tingkat nasional, tetapi internasional!
Tidak cuma para aktornya menjadi idola di masyarakat Indonesia, tetapi langsung bermain di film Hollywood! ...
Luar biasa. Fantastis..

Walau itu bukan 100% karya anak bangsa, tetapi kita tetap boleh berbangga bahwa 95% pemain dan kru adalah sineas dan aktor lokal. Diproduksi di Indonesia, dan menampilkan kehebatan akting, keahlian beladiri dan karya artistik orang Indonesia.

Filmholic, artikel ini saya tulis selain untuk mengapresiasi The Raid, juga untuk mengulik sedikit proses pembuatannya, serta tentunya untuk memotivasi kita semua untuk meniru—tentunya melebihi kalau bisa—kesuksesan produksi film laga fenomenal itu.

Niat yang sungguh-sungguh dan profesionalisme untuk menghasilkan karya film yang hebat dan sukses di pasaran.
Itu penyebab utama kesuksesan The Raid, saya rasa. Bagaimana tidak?
Mengkreasi ide cerita yang out of the box, yang ‘gila’, tentu membutuhkan olah pikir yang ekstra dan keberanian untuk mengeksekusinya nantinya.
Menciptakan koreografi laga yang dahsyat selama 3 bulan, untuk aksi selama 1 jam lebih,
meng-casting 70an fighter,
lalu mengajarkan koreografi tersebut kepada 70an aktor dan fighter, tentu membutuhkan effort yang sangat besar.
Hunting lokasi, lalu menciptakan set & tata artistik yang sesuai kebutuhan cerita dan pengadeganan laga, jelas membutuhkan keahlian khusus.
Lalu memasarkan film itu ke masyarakat Indonesia yang gemar membeli film bajakan, jelas membutuhkan keberanian besar untuk ‘berjudi’ dengan bujet yang telah dikeluarkan.

Namun tak ada sebuah filmpun yang sempurna.
Walaupun mengagumkan, ada beberapa kejanggalan adegan yang sebenarnya cukup mengganggu:
ü  Adegan penembakan brutal terhadap sopir mobil pengangkut pasukan
Nampaknya ini diakibatkan kelengahan pada saat syuting. Bila diperhatikan, ada lalu lintas kendaraan didekat lokasi adegan ini berlangsung. Bagaimana mungkin sebuah pembunuhan brutal dengan suara senapan mesin membahana tidak menarik perhatian pengguna jalan yang berjarak sekitar 20an meter dari TKP?
Selain itu, adegan ini menjadi janggal juga karena pada awal dan akhir film, diperlihatkan bahwa pasukan Raka cs. Masuk dan keluar melalui jalan kecil menuju/ keluar gerbang. Kenapa tidak melompat pagar dari jalanan disampingnya saja? Jelas, ‘kebocoran’ suasana lalu lintas jalan ini seharusnya tidak terjadi.
ü  Adegan perkelahian final
Adegan ini sangat menarik. Adu jotos dan tendangan, bantingan selama beberapa menit nonstop. Tetapi, ini agak diluar nalar. Seandainya ini terjadi di kejadian nyata, pastilah gigi sudah bertebaran kemana-mana. Pastilah sudah ada tulang rusuk yang patah sejak di sepertiga perkelahian. Lalu bagusnya bagaimana? Mungkin intensitas pukulan dengan kepalan tangan bisa dikurangi, diganti dengan sentakan telapak tangan, misalnya. Atau cara yang lain, para ahli beladiri tentu lebih tahu.

Saya pribadi bukan anti film bermuatan adegan kekerasan. Tinggal bagaimana mengemasnya. Tetapi di The Raid, seharusnya kekerasan yang ditampilkan tidak perlu se vulgar itu. Adegan peluru melubangi kepala, senjata tajam merobek tubuh, seharusnya bisa ditampilkan secara lebih estetis. Adegan Tama (Ray Sahetapi) yang menghunjamkan palu ke kepala anak buahnya di awal film, itu contoh yang cukup baik. Gambar diedit dengan pace cepat untuk menghindari adegan palu menghantam kepala, tetapi penonton pasti tahu bahwa maksudnya itu. Menunjukkan kesadisan seseorang, it’s OK. Tetapi bisa secara lebih estetis. Justru disitu tantangannya, menampilkan adegan tanpa terlihat nyata 100%, tetapi penonton tahu maksudnya itu, & terpuaskan visualnya. Ibarat adegan ML tidak harus ditampilkan layaknya film biru, tetapi bisa ditampilkan lewat siluet di dinding misalnya, & kilasan-kilasan si aktor mencium tubuh pasangannya.

Selain itu, ini masalah yang boleh dibilang sepele, tetapi dimata saya sedikit mengurangi kesempurnaan film. Seragam pasukan khusus polos tanpa badge kesatuan. Mungkinkah ada pasukan khusus yang demikian? Saya rasa nggak deh. Saya yakin Mr.Gareth Evans bermaksud untuk tidak menampilkan kesatuan secara spesifik berasal dari mana, mungkin selain masalah perizinan, bisa saja ia khawatir image buruk yang bisa saja disandang kesatuan tersebut mengingat kekerasan-kekerasan hebat yang dilakukan para personilnya di keseluruhan film. Saya mengerti dan menghargai keputusan itu. Tetapi seharusnya, bisa diganti dengan badge “asal”. Maksudnya, diperlihatkan saja ada badge, tetapi gak pernah disorot secara dekat apalagi Close Up. Bentuknya pun gak harus meniru bentuk badge pasukan khusus Indonesia matra apapun.

Semua analisis diatas saya kemukakan tanpa bermaksud sok pintar, tentu saja. Sekedar memberikan sedikit kritik konstruktif semata dari sudut pandang seorang penikmat (dan pemimpi pembuat) film. Apalagi adegan dalam sebuah film memang tak harus sesuai dengan ‘hukum-hukum’ peristiwa di kehidupan nyata.
Berikut ini adalah kisah dibalik layar film ini. Saya ambil dari situs Youtube:

Bagian 1:

Bagian 2

Bagian 3

Bagian 4


Akhirnya, salut dan semua jempol tangan dan kaki saya untuk Mr.Gareth Evans, Yayan Ruhiyan, Iko Uwais dan segenap kru produksi.

Semoga perfilman laga kita, dan secara umum perfilman nasional kita semakin maju dan mendunia.

Semoga kita bisa membuat film yang minimal sama hebat dan suksesnya seperti The Raid suatu saat nanti. Harus bisa!
Makanya, ayo buruan bikin film.. !

situs resmi The Raid.
review The Raid