Minggu, 23 Desember 2018

Review Film BUMBLEBEE


Pasti inget kan sama adegan2 khas film2 Transformers ala sutradara Michael Bay ini?
Seneng ngeliatnya?
Kalau dalam porsi yang pas sih, seneng ya.
Tapi menurut saya, dan banyak juga yang sependapat, porsi adegan2 dahsyat penuh special effect tadi udah berlebihan sehingga jatuhnya malah bikin pusing.
Nah apakah di film Bumblebee yang adalah prekuel kisah Transformers ini, ada banyak adegan sejenis tadi? Bagusan mana sih film Bumblebee ini dengan Transformers?
Berikut ini review saya.. 

BUMBLEBEE..
Bagi kalian para pecinta franchise film Transformers pasti tahu ya karakter ini.
Sebuah robot berwarna kuning dari golongan Autobot pimpinan Optimus Prime. Karakternya baik tentu saja ya, cukup humoris dan punya sifat kemanusiaan yang tinggi.
Kita bisa melihat dari berkali-kali upayanya yang luar biasa dalam melindungi Sam Witwicky dan kekasihnya.

Nah, di akhir tahun 2018 ini Paramount Pictures mengangkat karakter Bumblebee ini menjadi sebuah film tersendiri. Kabar baik ya buat kalian para penggemar karakter ini. Bukan sebuah reboot, tapi sebuah spinoff dan prekuel. Spinoff tahu ya: jadi semacam pengembangan dari kisah sebelumnya yang berfokus pada salah satu karakter.
Sebuah prekuel juga, yaitu menceritakan awal mula dari peristiwa yang diceritakan dalam film2 Transformers yang sudah rilis sebelumnya. Jadi, menceritakan kejadian sebelum Bumblebee ini bertemu dengan karakter Sam Witwicky.

Sutradaranya Travis Knight, seorang sutradara nominator Oscar yang biasa menggarap film animasi stop motion. Jadi film ini adalah film live action pertama dari Travis. Michael Bay masih terlibat di film ini, yaitu sebagai produser.

CERITA
Pertama kali seperti biasa, yang saya bahas adalah ceritanya.
Kisah film Bumblebee ini terjadi pada tahun 1987 atau 20 tahun sebelum peristiwa film pertama Transformers terjadi.
Jadi ceritanya, kaum Autobots sedang dalam keadaan terdesak dalam peperangannya melawan Decepticons di planet asal mereka, Cybertron. Optimus Prime lalu mengutus Bumblebee atau nama aslinya B-127, ke bumi untuk mempersiapkan tempat atau base bagi para Autobot untuk bersatu kembali setelah pergi dari Cybertron.
Dalam perjalanannya ke bumi, bumblebee ini dihadang oleh robot Decepticons bernama Blitzwing.

Mereka bertarung hebat.
Bumblebee berhasil selamat dan mendarat ke bumi, tapi dalam keadaan rusak. Yang rusak adalah komponen suaranya serta memorinya.

Dalam keadaan rusak demikian, Bumblebee ini kemudian dikejar2 oleh pasukan Amerika yang salah mengira bahwa ia adalah robot jahat.
Bumblebee melarikan diri sambil merubah bentuknya menjadi Volkswagen Beetle atau yang biasa kita kenal sebagai VW kodok.
Jadi kebetulan ada sebuah VW tak jauh darinya saat melarikan diri, Bumblebee lalu menscan VW itu sehingga membuat dirinya bisa bertransformasi menjadi wujud mobil itu.

Sementara itu ada sosok seorang gadis remaja bernama Charlie Watson, seorang pecinta musik dan otomotif yang akan merayakan ulang tahun ke-18. Charlie ini sedang sedih akibat kehilangan sosok ayahnya dan sedang kurang akur dengan ibunya. Charlie ini mendapat sebuah mobil VW tua berdebu sebagai hadiah ulang tahunnya dari seorang teman, dimana kemudian ternyata VW ini bisa berubah menjadi sebuah robot, yang adalah Bumblebee tadi. Jadi rupanya Bumblebee tadi lari bersembunyi ke tempat ini. Sebuah tempat penjualan barang bekas.

Keakraban lalu terjalin diantara mereka berdua. Kendati Bee tak bisa bersuara serta amnesia. Bumblebee yang begitu polos dan harus beradaptasi dengan kehidupan di bumi, membuat Charlie harus mengajarkan berbagai hal pada Bumblebee.
Mereka saling bantu, saling support, dan saling membutuhkan satu sama lain. Charlie sangat menyayangi Bumblebee layaknya saudara, begitupun sebaliknya.

Ini semakin terlihat saat keberadaan Bee ini tercium pasukan Amerika yang sudah terpengaruh oleh fitnah dari 2 robot Decepticons: Shatter & Dropkick.
Berdua dengan temannya, Memo, Charlie menolong saat Bumblebee ditangkap para musuhnya tadi.

Singkat cerita mereka bertiga bekerjasama dalam membantu Bee melaksanakan misinya.

Salut untuk penulis naskah Christina Hodson, yang membuat kisah Charlie dan Bumblebee sungguh mengena di hati dan memberikan warna baru di franchise film Transformers.


SPECIAL EFFECT & SINEMATOGRAFI
Tentu nggak diragukan ya, special effect untuk film besar dari studio besar seperti Paramount Pictures, yang rela menggelontorkan uang senilai 100-137 juta dolar.
Wah, kalau dirupiahkan berapa tuh.. kalau kursnya 14 ribu/dolar, berarti senilai sekitar 1,9 TRILYUN! Wow.. !!!

Apalagi ini masih berhubungan dengan film2 Transformers yang efeknya dahsyat gila2an itu. Sudah jelas, special effect Bumblebee pasti juara juga.

Dan memang demikian.
Misal seperti detail body logam Bumblebee maupun robot lainnya, begitu rumit dan nyata seperti benar2 robot asli dan bukan CGI. Pergerakannya yang luwes, warnanya yang menyatu dengan lingkungan sekitarnya dan tidak terlihat seperti tempelan, adegan peperangan yang dahsyat mendebarkan dengan roket dan bom berdentum-dentum.. ya seperti kualitas film kelas 1 lah ya. Sempurna, bisa dibilang.

Oleh sebab itu saya lebih tertarik untuk membandingkannya dengan film2 Transformersnya sutradara Michael Bay.
Bagus mana? Sama sih bagusnya.
Lalu kalau sama, saya lebih suka mana? Yakin saya jawab, saya lebih suka Bumblebee.

Kenapa?
Seperti saya bilang di awal, dan mungkin kamu juga sependapat dengan saya, bahwa film2 Transformers terdahulu itu, khususnya 3 film terakhir, itu.. bombastis kalau saya bilang.
Berlebihan. Bom-bom berledakan dengan begitu banyak dan begitu dahsyat, pertarungan di tengah kota yang riuh!.. menghancurkan ribuan gedung tinggi.. bongkahan beton berseliweran sana sini. Pesawat-pesawat robot yang terbang berseliweran.. Dsb..
Lalu jalan cerita yang cepat, membuat kita keteteran kalau meleng sedikit aja,
Aksi dan tindakan para pemeran yang juga cepat, baik itu agen2 pemerintah maupun tokoh utama, sehingga meminimalkan sisi manusiawi dari kisah itu.

Dengan kata lain, menurut saya seolah2 film2 transformers terdahulu itu lebih menonjolkan kehebatan teknologi modern. Serta betapa superpowernya pemerintah Amerika.
Itu: 2 hal yang dominan di semua film Transformers.

- betapa menakjubkannya teknologi para bangsa robot
- betapa cekatannya organisasi pertahanan negara dalam menghadapi serangan musuh
- betapa hebatnya para serdadu Amerika
- sampai: betapa cerdas, berani dan luhurnya karakter seorang remaja Amerika, yang di usia sangat muda dipercaya oleh pimpinan bangsa alien dalam membantu misi mereka dan menyelamatkan bumi.

Itu yang dominan, sehingga entah disadari entah tidak oleh Michael bay cs., bahwa unsur dramanya justru kurang kuat. Maksudnya, drama yang terjadi antar pribadi menjadi kurang kuat, kurang menyentuh. Ini paling saya rasakan di film ke 3 Dark of The Moon.
Saat nonton, saya memang kagum atas efek2nya, tapi sekaligus juga pusing atas visual yang terlalu ramai itu.

Nah di Bumblebee ini, syukurlah, hal itu tidak terjadi lagi.

Visual Effect masih special, tapi drama juga kuat.
Kisah kedekatan antara Charlie dan Bumblebee sangat menarik dan menyentuh. Bagaimana Charlie yang bersedih atas kematian ayahnya dan kemarahannya pada sang ibu yang menikah lagi, sedikit demi sedikit terbangun lagi keceriaannya setelah berinteraksi dengan si robot kuning itu. Dan mengetahui masalah yang dihadapinya.
Bagaimana rasa sayang antara kedua karakter itu tumbuh, semakin kuat dari hari ke hari lewat peristiwa-peristiwa kecil, sampai perjuangan Charlie dan rekannya membebaskan Bee dari siksaan musuh.
Dan pada akhirnya setelah gemuruh konflik itu mereda, Charlie bisa lebih menerima kematian ayahnya dan mengerti pilihan ibunya, serta ikhlas menerima kepergian Bee.

Begitu.
Jadi antara drama dan visual effect tak jauh porsinya. Satu sama lain mendukung dengan porsi yang pas. Tetapi bagi kalian yang kangen dengan adegan penuh aksi, nggak akan terlalu kecewa, karena meski tak dominan, adegan pertempuran antara Bumblebee dan para decepticon tetap tersaji dengan seru.
Itu menurut saya.

Untuk sinematografi dan visualisasi Bumblebee bisa dibilang sangat bagus. Detail CGI seperti ekspresi wajah Bumblebee dan proses perubahan bentuk para Transformers dari mobil menjadi robot dan sebaliknya terlihat lebih detail dibandingkan film-film Transformers sebelumnya.  


MUSIK & LIFESTYLE
Disebabkan film ini mengambil latar cerita tahun 1987, otomatis semua elemen pendukung juga disesuaikan dengan era 80an. Gaya busana, musik, film, mobil dsb. Berhasil membuat penonton masuk menikmati era itu. Untuk musik antara lain ada lagu dari Rick Astley dan band rock The Smiths,  dimana itu semua berasa pas, catchy, untuk didengar mengiringi adegan-adegan yang disajikan di film.

KEUNGGULAN & KEUNIKAN FILM
ü Yang pertama, adalah yang saya jelaskan tadi ya. Yaitu bahwa ceritanya lebih menyentuh.
ü Yang kedua, adegan laganya tak dipenuhi special effect berlebihan
ü Yang ketiga, adalah bahwa kisah film ini lebih berfokus pada beberapa karakter saja.
Ini menurut saya strategi yang baik ya, sebab cerita menjadi lebih fokus pada inti dan pesan yang ingin disampaikan. Jadi tidak seperti beberapa film Transformers sebelumnya yang selalu menghadirkan begitu banyak karakter sehingga selain range cerita terlalu lebar, juga membuat film terasa terlalu riuh.
ü Yang kelima, film ini cukup ramah anak. Tak ada adegan sadis atau kata-kata yang kelewat kasar, juga karakter para tokohnya yang lebih bisa dijadikan role model. Mungkin para filmmakernya teringat bahwa Transformers itu sejatinya film anak-anak, jadi harus dibuat dengan lebih elegan, lebih humanis dan perlu diselipi unsur humor.
ü Bicara mengenai humor, hal ini juga menjadi keunggulan lain film ini. Tokoh pemimpin militer yang diperankan John Cena, apalagi Memo yang diperankan Jorge Lendeborg Jr., cukup bisa memancing tawa kita dengan celotehan mereka. Juga si Bumblebee itu sendiri. Bagaimana dia berusaha menyamankan diri di rumah Charlie yang pada akhirnya justru membuat suasana rumah menjadi berantakan disebabkan ukuran tubuhnya yang sangat besar, atau saat transformasinya menjadi robot membuat Charlie bermandi pasir, cukup menyegarkan film ini.

KESIMPULAN
Berdurasi 113 menit, film Bumblebee ini terasa lebih baik dibanding pendahulunya.
Lebih humanis, lebih tenang, lebih dewasa dalam pesan2 yang hendak disampaikan, tapi sekaligus lebih cocok untuk semua umur.
Menurut saya pribadi, Bumblebee adalah film terbaik dari film2 Transformers sebelumnya.


Jumat, 14 Desember 2018

Review Film MORTAL ENGINES

Halo.. selamat datang di Fakta Film.
Kali ini saya akan membahas mengenai film Mortal Engines, yaitu sebuah film bergenre science fiction adventure movies, keluaran dari Universal Pictures.
Film ini disutradarai oleh Christian Rivers, yaitu seorang ahli visual effect yang sering bekerjasama dengan sutradara Lord of The Rings, Peter Jackson.

Peter Jackson disini juga ikut berperan, yaitu sebagai produser sekaligus penulis skenario bersama 2 rekannya yang dulu sama-sama menulis The Hobbit, Fran Walsh & Philippa Boyens.

CERITA
Latar kisah film ini adalah suatu masa beberapa ratus tahun di masa depan, sesudah terjadinya perang besar antara kerajaan Amerika & Cina, perang 60 menit. Begitu hebatnya dampak perang ini bagi peradaban manusia, sehingga di masa itu gedung-gedung dan perumahan yang berpijak pada tanah menjadi sangat langka didapati. Tanah telah tercemar sehingga beracun. Akibatnya, kota-kota kemudian dibangun diatas roda atau melayang dengan balon di udara. Benar-benar bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Bisa dibayangkan, betapa luar biasa besarnya kota diatas kendaraan tersebut. Melihatnya membuat kita merasa kagum, sekaligus ngeri. Seperti melihat monster raksasa.

Bervariasi ukuran kota-kota itu, ada yang besar dan kecil. Saling memangsa satu sama lain, disebabkan saling berebut sumber daya untuk bertahan hidup. Satu yang terbesar adalah kota London. Di tokohi oleh Thaddeus Valentine yang jahat, kota ini kerap memangsa kota kecil. Cara memangsanya epik sekaligus menakutkan: pihak kota London menembakkan rantai raksasa ke kota kecil, lalu menarik kota itu kedalam perutnya. Mirip binatang predator melahap mangsanya. Warga kota itu lalu dipekerjakan sebagai pekerja dengan kasta terendah disana. 

Tokoh protagonis yang muncul adalah seorang wanita muda dengan bekas luka tergores panjang di wajahnya, Hester (Hera Hilmar). Memendam dendam atas kematian ibunya, Hester berusaha membunuh Thaddeus. Selain itu ada Tom (Robert Sheehan). Tom ini adalah seorang pemuda London yang semula hanya tinggal di kampung halamannya saja, tanpa kakinya pernah menyentuh tanah. Pertama kali ia tahu mengenai perangai buruk Thaddeus adalah saat ia dilempar jatuh ke luar kota oleh pria itu, padahal ia telah melindungi Thaddeus dari upaya pembunuhan oleh Hester. Berdua mereka lalu berjuang bersama, menjadi bagian dari perjuangan melawan Thaddeus  

SPECIAL EFFECT
Dahsyat!
Berangkat dari kisah novel yang idenya sendiri sudah dahsyat, yaitu kota-kota nomaden diatas roda-roda tank berukuran luar biasa besar, sutradara Christian Rivers seolah menemukan taman bermainnya di film ini. Sebagai ahli visual effect yang aktif berkomunikasi dengan produsernya yang juga sutradara film-film science fiction adventure, ia sukses memimpin timnya menghasilkan sebuah tontonan dengan visualisasi yang menakjubkan. 
Misalnya, saat jajaran kota bergerak melintasi sabana, tampak begitu megahnya. Lalu visualisasi keindahan Airhaven, kota persinggahan di antara awan, sukses disajikan dengan begitu detailnya. Salah satu adegan yang paling luar biasa adalah saat London mengejar kota tambang kecil di babak awal. Betul-betul penuh keseruan dan detail yang memesona, membuat momen ini terasa sangat berkesan. 2 jempol layak diberikan untuk Christian Rivers, yang memang udah berpengalaman dalam menyajikan visual memesona, seperti yang ditampilkan pada trilogi The Lord of the Rings (2001-2003) dan The Hobbit: An Unexpected Journey (2012).

ANALOGI
Menonton kehidupan diatas roda yang mengagumkan namun menakutkan ini, dimana pihak yang kuat seperti London selalu haus kekuasaan, nampaknya seperti menganalogikan apa yang sedang terjadi antara negara di dunia saat ini. Mungkin dimaksudkan sebagai kritik atas konflik antara kekuatan lama seperti barat yang dengan keangkuhannya berusaha menguasai negara timur dengan berbagai cara. Nggak tahu sih ya maksud penulis sebenarnya, tapi kalo saya sih menangkapnya begitu.


KRITIK
Dikutip dari situs Internet Movie Database (IMDb), “Mortal Engines” mendapat rating sebesar 8.1 dari 10.  Walaupun demikian, ada beberapa hal yang bagi kami agak mengganjal:
Pertama, bahwa keindahan visual film ini tak sebanding dengan kekuatan ceritanya.
Bisa dibilang tak ada drama yang cukup untuk membuat penonton masuk ke dalam kisahnya.
Nampaknya ini disebabkan oleh kualitas penulisan yang baik. Hasilnya, film ini jadi pincang dalam urusan perkembangan karakter dan chemistry antar pemainnya. Agak sayang untuk film yang kemungkinan besar akan memiliki sekuel di masa depan.

Selain itu, aksi dan efek visual yang begitu dominan tanpa drama yang cukup kuat ini cenderung membuat mata dan pikiran menjadi lelah. Ini mengingatkan kami akan pengalaman serupa saat menonton film Transformers: Dark of the Moon dulu. :-( Bukankah sebenarnya, cerita antar manusia yang lebih menyentuh hati & pikiran kita?

Salah satu hal lain yang bagi kami cukup mengganggu adalah, bahwa penonton seolah dipaksa untuk mencermati latar belakang dari sekian banyak karakter di film ini. Resikonya bila kita tak konsentrasi dalam menonton, kita bisa bingung akan tokoh-tokoh yang menurut kita seolah tiba-tiba muncul. Alangkah baiknya menurut kami, bila durasi yang berharga itu dipakai untuk fokus pada kisah beberapa tokoh utama saja sehingga drama antara mereka bisa terbangun dengan lebih baik.

Tentang ending, Mortal Engines kurang menampilkan ending yang mengejutkan. Bagi kami, sudah tertebak sebelumnya. Kendati begitu kami bisa memakluminya. Selain bahwa membuat ceita dengan twist mengejutkan itu tidak mudah, harap diingat bahwa film ini adalah sebuah kisah yang menjadi bagian dari sebuah trilogi. Bisa jadi ini sudah direncanakan sang penulis novelnya, sebagai bagian dari dramatisasi perjalanan cerita yang diarahkan ke twist besar di akhir trilogi. Siapa tahu?
Selain itu sebenarnya, bila kisah drama sudah tergarap dengan baik, tanpa twist di akhir pun film ini tetap menjadi tontonan yang memuaskan.
well, semakin pintar, penonton semakin tak mudah dipuaskan. Tapi lepas dari segala kelemahan, saya sih maklum bahwa nggak udah bikin twist.
 film ini masih menyajikan tontonan yang cukup menghibur. Pertempuran melawan kota raksasa berhasil disajikan dengan penuh ketegangan.

Dengan bujet 100 juta dolar, sanggupkah Mortal Engines melebihi kualitas & kesuksesan Lord of The Rings & The Hobbit? Menurut kami, melebihi belum. Baru mendekati.. :)

Tapi, itu semua pendapat kami semata. Silahkan tonton di bioskop untuk mendapatkan pendapat Anda sendiri. :)

Terima kasih telah membaca.
Sampai jumpa di artikel kami berikutnya..

Jumat, 07 Desember 2018

Ini Nih.. Strategi Cina kalahkan Hollywood. Jenius!

Cina kini terus memantapkan diri sebagai superpower ekonomi dunia.
Dengan jumlah penduduk sekitar 1,4 milyar jiwa (lebih dari 5 kali lipat jumlah warga Indonesia) dan pertumbuhan ekonomi yang pesat sejak awal abad 21 ini, jelas potensi Cina secara ekonomi sungguh dahsyat.
Amerika dibuat kerepotan dengan melejitnya ekspansi ekonomi negara ini.
Bahkan diperkirakan pada 2030 nanti Cina akan menyalip Amerika dan menjadi nomor satu di dunia. Perang dagang antar kedua negara adidaya tersebut tak terhindarkan, yang dampaknya begitu kuat dirasakan banyak negara lain.

klik gambar untuk versi videonya di Youtube channel Fakta Film

Diantara bidang yang tumbuh pesat di Cina adalah perfilman & pertelevisian.
Seiring meningkatnya jumlah penduduk yang mapan secara ekonomi, semakin besar pula jumlah penduduk yang menonton film di bioskop. Hal itu mendorong semakin meningkatnya jumlah bioskop yang dibuka. 

Hal ini di satu sisi membawa kegembiraan bagi insan perfilman Hollywood. Sebab dengan meningkatnya jumlah bioskop dan penonton tersebut, tentu membuat semakin banyak penonton film-film produksi mereka.
Apalagi mengingat bahwa Cina adalah pasar tunggal terbesar untuk film-film Hollywood. Namun faktanya, hal tersebut belum bisa sepenuhnya terjadi.

Sebagai bagian dari upaya melindungi industri film domestik mereka sendiri, pemerintah Cina memberikan kuota bagi film-film asing untuk tayang di negeri tirai bambu itu setiap tahunnya (ingat, film asing ya, jadi bukan hanya buat film Hollywood saja). Sejak tahun 2012 hanya 34 film asing yang boleh beredar di bioskop-bioskop Cina per tahun. Belakangan kuota itu ditambah menjadi 38 film pada tahun 2016 dan diperbanyak jadi 40 film pada 2018.

Hollywood tentu khawatir dengan fakta ini. Apalagi melihat bahwa kualitas film-film buatan para sineas Cina semakin berkualitas dari waktu ke waktu. Untuk itulah pemerintah Amerika terus melakukan segala cara agar film-film mereka bisa mendapat tempat yang lebih luas di pasar Cina.

Namun Amerika kini tak hanya memandang Cina sebagai pasar bagi produk-produknya. Booming ekonomi Cina yang menelurkan banyak konglomerat baru, membuat Cina juga makin mantap sebagai produsen.
Melihat potensi pasar dunia termasuk pasar domestik negaranya sendiri yang dahsyat itu, investor Cina dengan percaya diri kini mulai merambah Hollywood.
Tentu bukan perkara mudah untuk menaklukkan pusat perfilman dunia itu.
Berbagai strategi mereka lakukan, diantaranya:

1. Membeli saham di perusahaan-perusahaan film besar
ü Tahun 2016, konglomerat Wang Jianlinlain dari grup Dalian Wanda membeli saham mayoritas Legendary Entertainment. Perusahaan yang terkenal dengan Godzilla& Jurassic World itu dibeli dengan harga 3,5 miliar dolar Amerika.
ü Dalian Wanda juga mengucurkan 2,6 miliar dolar Amerika untuk membeli AMC Entertainment, perusahaan rantai distribusi bioskop di Amerika Utara.
ü pada Januari 2017, Shanghai Film Group (SFG) dan Huahua Media telah resmi berinvestasi $1 miliar ke Viacom Inc's Paramount Pictures. Kesepakatannya, kedua perusahaan tersebut akan mendanai 25 persen dari semua film Paramount untuk tiga tahun ke depan.

2. Mendanai pembuatan film
The Mummy: Tomb of the Dragon Emperor yang dibintangi Jet Li, The Forbidden Kingdom yang dibintangi Jackie Chan, The Revenant, film peraih 3 nominasi Oscar pada 2016, juga franchaise Transformers, Mission Impossible, dan Fast and Furious adalah sebagian dari film-film Hollywood yang didanai oleh perusahaan-perusahaan hiburan asal Cina.

3. Kerjasama pemasaran film
ü Tahun 2015, Alibaba Pictures Group Ltd bekerjasama dengan Paramount untuk mempromosikan Mission Impossible: Rogue Nation di Cina.
ü Tahun 2016, Columbia Pictures menangani distribusi internasional untuk film The Mermaid, film dengan kesuksesan finansial terbesar Cina.

Bahkan sebenarnya, terdapat peraturan di Cina bahwa siapapun yang bermaksud memasarkan atau memproduksi film di negara itu, harus bekerjasama dengan perusahaan setempat.
Sungguh strategi yang hebat ya?..

4. Membuat studio-studio film terbaik
 
Hengdian Studio - Wikimedia Commons

Hengdian World Studios salah satunya. Dengan luas 330 hektar, studio ini adalah situs produksi film terbesar di Asia sampai-sampai dijuluki ‘Hollywood Cina’.
Di tempat ini, dibangun 12 lokasi syuting film termasuk set istana kerajaan, sungai kuno buatan, dsb. dengan ukuran dan detail yang sangat mirip dengan aslinya. Bahkan ada juga patung Buddha setinggi 30 meter yang terletak di dalam set dalam salah satu ruangan.
Wah.. bener2 totalitas ya usaha mereka dalam produksi film !

Cina memang bangsa yang totalitas dalam meraih prestasi. Masih segar dalam ingatan kita bahwa bangsa ini menduduki peringkat pertama dalam pesta olahraga se Asia yaitu Asian Games & Asian Para Games. Jadi tak cuma dalam hal film dan pertumbuhan ekonomi, dalam segala bidang kehidupan bangsa ini terus menunjukkan bahwa semangat kerja keras mereka luar biasa.

Kita harus mencontoh kerja keras & cerdas, kreativitas serta totalitas mereka.
Bila kita bisa melakukan itu, sangat mungkin bila kelak kita menyamai bahkan menyalip prestasi-prestasi raksasa mereka..





Selasa, 04 Desember 2018

COLORIST FILM, Apa Manfaatnya?

Apa sih Colorist itu?
Sinetron, FTV dan Film layar lebar adalah sarana paling mudah untuk menggambarkan peran seorang Colorist. Coba, Anda perbandingkan ketiganya. Apakah ada perbedaan dalam warna visual 3 jenis tontonan tersebut?
Tentu ada ya!
Film terlihat jauh lebih artistik. Suasana dalam film seperti senada dengan jalan ceritanya. 

klik gambar untuk versi videonya di Youtube channel Fakta Film

Misalnya sebuah film horor, biasanya suasana kehidupan dalam fim itu tergambar dalam warna-warna gelap/dark. Sementara kalau film itu bergenre drama remaja yang ceria, suasana tertampil dalam warna-warna yang serba cerah. Dsb.

Sementara itu warna visual tayangan sinetron & FTV biasanya hampir sama dengan warna suasana di kehidupan nyata kita sehari-hari. Apa adanya. Hanya mungkin terlihat lebih cerah.

Nah, seorang colorist-lah yang berperan dalam membuat tone-tone warna tersebut. Tujuannya untuk memperkuat pesan, mood atau suasana hati yang hendak disampaikan kepada penonton. Jadi, memperkuat elemen film lainnya seperti dialog & akting para aktor.
Colorist secara digital memproses gambar akhir sebuah tayangan visual, semisal film layar lebar, iklan sampai film pendek. Perannya adalah semacam gabungan antara kerja visual effect dan sinematografi. Ia bekerja setelah video editor selesai dengan tugasnya.

Seorang Colorist biasanya mengerjakan beberapa proyek sekaligus dengan berbagai sutradara dan Produser. Terkadang ia berhubungan langsung secara personal dengan klien2nya yaitu para sutradara & produser itu, tapi bisa juga secara internasional melalui video call, dsb. Skala dan jenis proyek biasanya menentukan jumlah sesi yang diperlukan untuk menyelesaikannya.

Beda pekerjaan Color Correction & Color grading
Sebenarnya color grading adalah bagian dari proses color correction.
Namun banyak orang menganggap bahwa color correction adalah mengoreksi warna gambar yang terlihat kurang sempurna. Misalnya, terlalu terang atau terlalu gelap, terlalu kekuningan (yellowish), kebiruan (bluish), kemerahan (reddish), dsb. yang bisa diakibatkan kesalahan kamerawan saat pengambilan gambar maupun keterbatasan kondisi lingkungan saat pengambilan gambar.

Biasanya pekerjaan color corrector antara lain:
- membenahi pencahayaan (exposure) yang kurang pas
- membenahi pengaturan white balance agar lebih pas
- mengurangi noise yang berlebihan akibat pengaturan ISO yang kurang tepat, dsb.

Sedangkan color grading adalah proses memberi nuansa warna tertentu pada keseluruhan gambar, dengan tujuan memberi sensasi perasaan tertentu kepada penonton sesuai tujuan cerita.
Selain itu, seorang colorist juga melakukan:
- Shot matching
Yaitu memastikan bahwa penonton jangan sampai menyadari bahwa sebuah adegan telah diedit/dimanipulasi, gara2 ada perbedaan antara sebuah shot dengan shot-shot lainnya (yang mana hal ini bisa mengganggu kenyamanan penonton itu sendiri dalam menonton).
- Removing distractions
Mengisolasi dan memanipulasi elemen-elemen yang mengganggu, yang bisa membuat sebuah shot jadi tidak konsisten dengan shot-shot lainnya.
- menggunakan teknik-teknik tertentu semisal shape masks, untuk mengarahkan pandangan pemirsa ke titik fokus yang diinginkan.
- membuat tampilan khusus dari adegan-adegan tertentu, yang dibedakan dengan tampilan visual keseluruhan film. Misalnya tampilan adegan mimpi, adegan flashback, dsb. 

Software yang dipakai
Ada beberapa merk software yang dipakai untuk melakukan pekerjaan color grading ini seperti Baselight, Nucoda, DaVinci Resolve, SpeedGrade, dsb. Namun selain itu, ada pula yang berjenis plugin (tambahan, pelengkap) dari software video editing seperti misalnya Synthetic Aperture's Color Finesse yang adalah plugin untuk Final Cut Pro, Adobe Premiere & After Effects.

Asosiasi internasional
Saat ini profesi Colorist ini sudah ada organisasi internasionalnya lho, yaituColorist Society International yang didirikan pada tahun 2016 di NAB Show di Las Vegas.

Cara menjadi seorang Colorist
Cara yang paling umum adalah dengan masuk kuliah jurusan Film & Televisi. Di sini bisa Anda dapatkan informasi mengenai sekolah-sekolah film terbaik, baik di Indonesia maupun dunia.

Namun bila Anda cukup sabar & gigih, keahlian color grading juga bisa didapat dengan otodidak. Browsing di internet, membaca buku serta rajin menonton film. Serta tentunya, sering-sering berlatih.
Software gratis yang cukup powerful untk dipakai berlatih salah satunya adalah DaVinci Resolve, yang bisa dipakai baik di platform Macintosh maupun PC.  

Peluang kerja di Indonesia
Hingga saat video ini dibuat, profesi Colorist masih cukup langka di Indonesia. Lebih langka bila dibandingkan profesi lain di bidang perfilman seperti Sutradara, Editor Offline, dsb.
Jadi, masih tersedia banyak peluang bagi kalian yang ingin menekuni profesi Colorist.
So.. ayo semangat belajar & berkarya! 💪😊


sumber:
Patrick Inhofer, https://learning.linkedin.com