Minggu, 17 Oktober 2010

PROFESIONALITAS KERJA ALA INDUSTRI FILM TELEVISI AMERIKA

Foto diambil pada tgl 9 Maret 2007 di Burbank, California, USA. Di kompleks ini Warner Bros Studios sebelah menyebelah dengan Universal Studios, Walt Disney Studios, & stasiun televisi ABC.


          Dunia pertelevisian di seluruh dunia adalah sebuah dunia yang sangat dinamis. Padat kerja, padat modal, dan padat teknologi. Beragam acara ditampilkan stasiun-stasiun televisi selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu nyaris tanpa henti. Diantara semua acara tersebut, salah satu yang tak pernah absen adalah tayangan sinetron atau serial drama televisi. Tak peduli trend apa yang sedang berlaku atau kejadian seheboh apapun yang sedang terjadi di masyarakat yang menyita jam tayang, serial drama tetap tak pernah absen mengisi layar kaca. Selain karena lumayan efektif dalam mengisi slot waktu siaran disebabkan durasinya yang cukup panjang, tayangan jenis ini begitu digemari masyarakat pemirsa. Sejujurnya, salah satu andalan stasiun televisi untuk‘mengikat’ pemirsa secara emosional agar tetap menonton setiap hari, karena jalinan cerita drama yang umumnya bersambung.
Waktu 24 jam sehari, setiap hari, jelas membutuhkan pasokan acara yang kontinyu/berkelanjutan. Terlebih karena industri ini banyak berhubungan dengan bidang industri lain seperti periklanan, show-biz, dsb. Untuk itu, kerapihan manajemen adalah sesuatu yang mutlak dituntut dari semua pihak yang terlibat, baik dari stasiun televisi itu sendiri maupun dari para pemasok acara seperti rumah-rumah produksi pembuat serial drama. Misalnya, sekali saja terjadi missed dalam produksi 1 episode drama—sehingga mungkin menyebabkan penayangan ulang episode sebelumnya—kerugian sudah pasti akan dialami stasiun televisi disebabkan para pemasang iklan yang complaint dan mungkin meminta potongan harga atas penempatan iklan mereka.
        Berbicara mengenai kerapihan manajemen dan kualitas karya, sangat baik kiranya bila kita sedikit mengintip dapur produksi serial TV Amerika yang berkelas dunia. Perusahaan Warner Bros misalnya, produsen serial-serial ternama macam Emergency Room (ER) dan The West Wing. Sejak di gerbang masuk, atmosfer profesionalisme dapat langsung terasa. Para pekerja datang sebelum pukul 8 pagi, dan harus menunjukkan tanda pengenal mereka untuk bisa masuk. Tanpa kecuali. Sesampainya didalam, sudah siap angkutan bus untuk membawa mereka ke tempat kerja. Harap maklum, kompleks studio Warner Bros itu begitu luas, kira-kira seluas kompleks olahraga Senayan, Jakarta Pusat. Didalam kompleks itu berdiri puluhan bangunan besar mirip hanggar, yang diberi nomor urut. Didalam bangunan-bangunan itulah, dibangun set untuk produksi serial-serial TV. Misalnya, ‘hanggar’ 1 untuk produksi serial ER, ‘hanggar’ 2 untuk produksi serial The West Wing, dan seterusnya. Set-set itu berikut segala pernak-pernik perabotannya sangat mirip dengan kondisi aslinya. Misalnya set untuk serial ER, begitu mirip dengan ruangan-ruangan rumah sakit dari kamar operasi, kamar rawat sampai ruang kerja paramedisnya. Begitupun saat masuk set serial The West Wing yang berkisah seputar kehidupan seorang presiden Amerika (diperankan oleh Marthen Sheen), kita akan merasa seolah-olah sedang berada di Gedung Putih.
Serial-serial sukses Amerika bisa bertahan selama bertahun-tahun di televisi. ER bahkan sampai belasan tahun (!) Lebih mengagumkan lagi mengingat bahwa lingkup penjualannya tidak hanya di dalam negeri Amerika—yang tentu mencerminkan kehidupan sehari-hari warga Amerika—tetapi juga ke banyak negeri lain, yang sebagian besar tentu jauh secara budaya dan bahasa Amerika.
Semua hal itu tak mungkin dilakukan tanpa dukungan para pekerja yang profesional. Seperti para pekerja Warner Bros ini, yang bekerja dalam ritme kerja yang teratur 8 jam-an sehari, 5 hari seminggu, dan tentunya dibayar dengan sangat layak. Dibelakang mereka ada organisasi persatuan karyawan yang solid & selalu siap sedia membantu mereka dalam mendapatkan hak-haknya (perlu diketahui bahwa hampir setiap profesi di Amerika telah memiliki Asosiasi/Persatuan profesionalnya masing-masing, yang kuat dan dihargai oleh industri).
Ada lagi indikasi lain profesionalisme industri ini, berupa diselenggarakannya festival tahunan Emmy Award secara rutin, yang memacu setiap pelaku industri televisi untuk bisa menghasilkan karya-karya terbaik mereka.
        Kurang afdol rasanya bila tak membandingkan dengan industri serupa di negeri kita tercinta, walaupun secara umum. Di Indonesia, yang geliat pertumbuhan industri film serialnya—atau yang populer disini sebagai sinetron—sudah terasa sejak 20 tahun yang lalu seiring bermunculannya stasiun televisi swasta, kondisinya bisa dibilang masih jauh dari mapan. Indikasi yang paling kentara mungkin bisa dilihat pada sistem kejar tayang yang masih ‘dianut’ beberapa produsen sinetron kita. Bagaimana demi memenuhi target tayang harian, 1 sinetron durasi 48 menit bisa dikerjakan dalam waktu hanya 3 hari kerja (!) dan naskah skenario bisa tiba-tiba berubah di lapangan karena berbagai alasan, sebagai konsekuensi dari sistem ‘kejar setoran itu’. Sangat mudah ditebak, pastilah sebuah karya seapik dan sebrilian ER dan The West Wing tidak mungkin dikerjakan dengan sistem seperti itu. Indikasi lain yang juga dapat dilihat antara lain adalah:
  • Lenyapnya ajang penghargaan Festival Sinetron Indonesia sejak lama.
  • Nyaris tak adanya tema yang cukup ‘dalam’, kebanyakan hanya berkisar pada konflik keluarga yang tak jauh dari perebutan harta warisan, persaingan cinta dengan saling menyakiti secara fisik, amnesia, dll. Nyaris tak ada tema yang menuntut riset mendalam, yang pada akhirnya bisa memberikan pendidikan/pengetahuan kepada masyarakat. Para produser cenderung bermain aman dengan mengikuti arus pasar, dan malas atau takut dalam membuat terobosan kreatif. Sekedar wawasan, sinema Korea Hotelier adalah contoh yang cukup baik bagaimana memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang sebuah bidang industri (perhotelan), yang bersinergi dengan manis dengan jalan cerita.
  • Jarang sekali serial sinetron yang bertahan lebih dari 3 tahun.
  • Hampir tidak ada kompleks studio yang dirancang dengan baik dengan fasilitas lengkap untuk mengakomodasi keperluan syuting.
  • Kurang optimalnya peran persatuan karyawan televisi dan film. Kiprahnya nyaris tak terdengar dalam memperjuangkan hak para anggotanya. Rata-rata karyawan rumah produksi bekerja dengan sistem kontrak per project, yang tentu tak menjamin penuh hak-hak mereka sebagai pekerja.
        Itulah sekelumit gambaran tentang profesionalisme kerja ala industri film serial televisi Amerika, dengan sedikit perbandingan dengan kondisi serupa di Indonesia. Sebuah gambaran mekanisme kerja yang amat rapi, perwujudan dari dedikasi penuh para manusia yang terlibat didalamnya pada tugas dan tanggung jawabnya, yang berujung pada tingginya kualitas dan penghargaan dunia akan hasil karya mereka. Dan pada akhirnya, uang. Kemakmuran yang didapat.
Sebuah introspeksi seharusnya kita lakukan, meniru bahkan melebihi yang para sineas Hollywood itu lakukan, agar kualitas karya dan kemakmuran yang bisa mereka capai, bisa juga kita rasakan.

* Laporan tentang studio Warner Bros diatas mengutip reportase dari Bre Redana, wartawan Kompas.

0 komentar:

Posting Komentar